44. Permainan

33K 5.7K 1.5K
                                        

Jam berapa kalian bacaa?

Koreksi typo ya!

*****

Allard diam kaku, cowok itu mencerna apa yang barusan diucapkan oleh Papanya. Darimana dia tau tentang ini? Suasana menjadi tambah canggung. Allard menghembuskan nafas pelan berusaha tak terpancing. Lagipula, kenapa dia heran? Dirumah ini ada orang yang sudah tau rahasianya kan?

"Kenapa?" tanya Allard. Berusaha tenang. Baru saja dia mengatakan hal itu, lampu rumah menyala terang. Dapat Allard lihat Papanya yang berdiri di samping sofa menatap tajam kearahnya dengan raut dingin.

"Papa benar-benar gak kenal kamu," ujar Bagas.

Allard tersenyum miris, merasakan sesak didadanya. "Bukanya karena Papa sama sekali nggak peduli sama Allard lagi? Sekarang, coba nggak usah ikut campur urusan Allard."

Tangan Bagas terkepal erat. "Kamu anak Papa Allard! Gimana Papa bisa bertingkah kaya gitu. HAH?!" Teriaknya marah. 

"Kenapa baru bilang ini sekarang? Dulu kemana aja? Papa cuma bisa marah-marah dengan alasan kecil. Apalagi dihasut sama dua orang sialan itu."

"Masalah kecil? DIA MAMA KAMU ALLARD!! MAMA KAMU!" Sudah tak habis pikir lagi dengan anaknya yang terus-terusan menutup hati tentang kondisi keluarga mereka sekarang.

"KAMU SELALU NYUDUTIN MEREKA!! SELALU NYALAHIN MEREKA, KASAR SAMA MEREKA!! KAMU PIKIR ITU PANTES?!"

Mata Allard memerah, cowok itu melihat kearah lain. Mengalihkan tatapanya dari Bagas. "Papa harusnya tau gimana sifat Allard. Papa udah hianatin Mama dari dulu sampai sekarang Mama udah gak ada. Papa pikir Allard bakal mudah nerima orang yang udah hancurin perasaan Mama?" ujar Allard langsung. Cowok itu mengusap air matanya yang mengalir. Beralih menatap Bagas tajam dengan raut muka yang kembali keras.

"Papa nggak pernah bisa dengerin apa yang Allard mau. Papa cuma mau kebahagiaan bagi hidup Papa sendiri. Papa pikir itu nggak nyakitin Allard?"

"Sekarang, mau Allard punya hubungan sama siapapun, nggak usah urusin lagi. Mau Allard ngerawat anak kecil atau enggak, itu urusan Allard. Karena dari dulu awal Papa nikah sama Mama Aurel, Allard udah netapin kalau Allard nggak bakal ikut campur dalam keluarga baru Papa," ujar Allard. Cowok itu menatap langit-langit rumah saat tak ada jawaban apapun dari Bagas, Papanya.

Cowok itu tersenyum miris. "Cuma satu, sampai kapanpun Allard gak sudi sebut dia sebagai Mama."

Bagas mengangguk pelan. Pria itu maju menatap Allard tajam. "Tau apa kamu? Anak kecil kaya kamu harusnya sadar. Apa Papa terlalu ngebebasin kamu sampai kamu jadi kaya gini?"

Allard memutar bola matanya malas, mulai tempancing emosi. Dia pikir, unek-uneknya selama ini akan ditanggapi dengan baik. 

"Ya itu karena Papa bener-bener ngelupain Allard, kenapa bisa sampai ngebebasin Allard?" tanya Allard. "Bahkan sampai Allard ngurus anak kecil."

"Oh, atau Papa mau lihat cucu Papa?" tantang Allard langsung. Tersenyum miring.

PLAAKKK!!

Pipi Allard memerah, cowok itu diam menatap tangan Papanya yang baru saja digunakan untuk menamparnya. Allard mundur. 

"Sorry, gue udah kebal. Mau ngapain lagi?" raut Allard berubah, cowok itu mengubah bahasanya.

"Kalau Papa bisa bahagia sama keluarga Papa, kenapa Allard enggak? Dan kalau Papa berniat ngehancurin kebahagiaan Allard, kenapa Allard enggak?" ujar Allard mengejek sambil menekankan kata Papa.

Cowok itu menatap lama wajah Papanya. Menghela nafas pelan. "Bukanya harusnya Allard yang bilang kalau Papa berubah?"

******

Our Destiny [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang