Yuhu! 9 hari gak uppYang nunggu?!
***
Seina membersihkan debu yang menanungi kamar lamanya di panti asuhan. Ranjang berukuran kecil—cukup untuk satu orang tersedia dipojok ruangan. Serta beberapa meja juga rak-rak yang memenuhi dinding.
Sudah lama Seina tak kesini setelah mempunyai rumah sendiri yang dibangun baru-baru ini, dibantu Bu Desi dan Mbak Ratna dalam masalah keuanganya. Ditambah tabungan Seina yang sedari kecil sudah bekerja, entah itu membantu Bu Desi, Mbak Ratna, dan terakhir berkerja di cafe.
Untuk cafe, Seina hanya jadi pelayan. Tapi sudah 1 bulan ini dia meninggalkan pekerjaan itu dan memilih fokus sekolah saat dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke SMA. Ditambah lagi beberapa Minggu ini ada Ares dikehidupanya, Seina lebih susah untuk membagi waktu.
"AMAAA!!"
Teriakan melengking itu memenuhi gendang telinga Seina. Cewek itu menoleh, berdecak melihat baju Ares yang dipenuhi pasir. "Baju apa pel?"
Ares tertawa lebar. "Ales ain ama Ghani au! Ain pasil!!" ujar Ares bercerita heboh. Memperlihatkan tanganya yang kotor.
"Ghani? Dulu aja berantem mulu, sekarang jadi bareng terus," cibir Seina berjongkok menyamai tubuh kecil Ares. "Jangan jorok jorok ya, kuman," ujar Seina meraih tangan Ares, membersihkan pasir di tangan balita itu.
"Apa mana?" tanya Ares mencari Allard ke sekeliling ruangan.
"Tau," balas Seina cuek. Gadis itu bangkit, mengambil kardus berisi barang yang tak dipakai lagi.
"Mama mau naruh ini ke gudang, kamu ikutin dari belakang ya," Seina menoleh kearah Ares yang langsung diangguki balita itu patuh, mengikuti Seina berjalan kearah gudang.
Langkah Seina berhenti didepan pintu ber-cat warna hitam yang terlihat sedikit mengelupas. Pintunya sedikit terbuka membuat Seina langsung mendorongnya menggunakan kaki karena kedua tanganya memegang kardus. Sedikit menoleh pada Ares yang memegangi bajunya.
"Ayo," ujar Seina. Tampak meja meja berjejer dipenuhi barang-barang yang sudah tak digunakan.
Seina menaruh kardus disana. Beralih membawa Ares kegendonganya. "Udah, sekarang pulang oke?"
Ares mengangguk, membuat gadis yang masih memakai seragam SMA itu tersenyum cerah, mengusap kepala balita yang sekarang menjadi anaknya itu.
"Apa mana?"
Menghela nafas pelan, Seina jengah saat Ares menanyakan itu berkali-kali padanya. "Cari duit," balasnya.
"Kelja?"
"Ngepet," tentu saja ucapan itu hanya dibatin Seina sambil tersenyum manis. "Iya, kerja," mungkin, atau kalau enggak lagi tawuran.
"Apa ndak ain sama Ales agi, Ales au ambe—"
"Gegayaan mau ngambek segala!!"
Mereka menoleh kearah pintu, seperti dugaan Seina. Luka memar diujung bibir serta seragam SMA yang masih melekat acak-acakan dan lusuh.
"AAAAAA, ANGEN AU!!"
Seina mencibir. Ini yang katanya mau ngambek? Matanya menatap Ares yang kini menyodorkan tanganya minta digendong. Allard diam, dengan raut datarnya mengambil alih gendongan Ares membuat balita itu berteriak kegirangan.
Yang membuat Seina heran, Allard hanya menatapnya datar tak mengucap satu patah katapun. "Kenapa sih?" tanya Seina saat mendapat tatapan tajam dari Allard.
Tak menjawab membuat Ares menepuk pipi Allard kencang. "Ama omong, Apa angan iem!!" teriak balita itu tak terima membela Seina.
"Mama kamu ganjen, gak usah ditemenin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny [END]
Fiksi RemajaNemu anak? Loh, yang tanggung jawab siapa dong? Putra Allard Aditama. Pangillanya Allard, bukan Putra maupun Tama. Si brandalan yang sialnya sangat tampan. Allard itu seperti bunglon. Kadang cuek, kadang galak, kadang gila, kadang dingin. Tapi yang...