29. Marah?

57.3K 9.9K 5K
                                        

Sayang deh, hehe

****

Allard membuka helm miliknya, menaruhnya diatas motor. Cowok itu memasuki rumah dengan wajah datar. Dia baru saja mengantarkan Seina pulang kerumah. Memikirkan tentang Seina yang menjadi bulan bulanan tetangganya membuat Allard pusing. Biar bagaimanapun juga Allard masih peduli tentang itu meskipun dia sendiri selalu berkata pada Seina untuk mengabaikan mereka.

"Bi." Senyum Allard perlahan mengembang melihat Bi Ika yang duduk di kursi roda sambil menonton televisi seorang diri.

"Kirain udah lupa sama rumah sendiri," sindir Bi Ika.

Allard hanya mengangguk tak jelas. Tanganya menggapai kursi roda Bi Ika. "Tidur ya? Allard antar ke kamar, udah malem loh," ujar Allard lembut. Dia tau dari asisten rumah tangganya yang lain kalau Bi Ika suka menunggunya sampai larut malam sambil menonton televisi.

Bagaimana Allard tak menyayangi wanita ini? Seseorang yang merawatnya dari kecil sampai sekarang. Semenjak Mamanya pergi 5 tahun lalu hanya Bi Ika yang selalu menemaninnya.

Allard membuka pintu kamar Bi Ika, cowok itu dengan perlahan memapah Bi Ika untuk berdiri kemudian membantunya untuk tidur diatas ranjang. Allard berjongkok setelah menyelimuti Bi Ika.

"Anak kecil yang kamu temuin dulu gimana?"

"Sama Allard, tapi tidur dirumah temen Allard." Allard tersenyum tipis.

"Cewek?" tanya Bi Ika. Bukan apa-apa, jika seorang anak kecil dititipkan dengan remaja laki-laki seumuran Allard, lebih baik dititipkan kepadanya. Kebanyakan dari mereka tidak tau mengurus anak kecil yang benar.

Allard menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Hehehe, iya cewek. Besok Allard bawa kesini deh," ujar Allard. Cowok itu berdiri menatap Bi Ika yang menyamankan tubuhnya. "Bibi tidur ya, Allard keluar."

Allard menutup pintu kamar Bi Ika. Cowok itu berjalan santai, matanya menangkap siluet Aurel yang berada di dapur. Tak peduli tentang itu, Allard berjalan menaiki tangga satu persatu. Lagipula mana sudi Allard menanggapi Aurel.

"KAK!!"

"Kak Allard bentaran!!" teriak Aurel membuat Allard menghembuskan nafas lelah. Cowok itu berbalik menatap Aurel yang menaiki tangga satu persatu.

Gadis itu merogoh sesuatu dari saku miliknya. "Nih dari Mama," ujar Aurel menyerahkan satu kertas terlipat kepada Allard.

Allard menaikkan satu alisnya sambil tersenyum remeh. "Buat apa?" tanya Allard sinis.

"Gak tau, gue harus buka dulu biar gue tau? Gitu?" balas Aurel tak kalah sinis.

Allard menerimanya. Tapi tanpa aba-aba cowok itu merobek kertas yang terlipat itu, tanpa membacanya sama sekali. Allard membuang potonganya asal membuat Aurel harus benar-benar menjaga emosinya.

"Bisa gak sih lo hargain Mama?" tanya Aurel pelan. "Gue gak papa kalau lo benci gue, tapi bisa gak sih hargain orang yang udah besarin lo juga?!" teriak Aurel langsung.

"Nggak, kenapa?"

"Lo emang gak punya hati ya?" Aurel menatap Allard sesak. Bagaimanapun dia juga bisa marah jika Allard terus terusan berlaku seperti itu pada Mamanya.

"Buat kalian, nggaklah. Buat apa? Dan juga, Mama lo ngerawat gue emang? Gue sama sekali gak ngerasa. Lo tau?" Allard memajukan wajahnya menatap tajam Aurel.

"Gue benci sama lo," kata Aurel pelan.

"Terserah, lo gak suka sama gue ya lebih baik lo pergi dari sini. Ini rumah gue, bukan rumah lo atau rumah Mama lo. Kalian kan cuma pergunain ni rumah buat cari muka."

Our Destiny [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang