Suara ketukan high heels menggema di sepanjang lorong saat si pemilik sepatu dengan hak setinggi tujuh sentimeter itu berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit, sedang pandangannya beredar guna mencari satu ruangan yang akan dia kunjungi.
Dia mempercepat langkah saat melihat ada segerombol remaja laki-laki yang berkumpul di kursi depan ruangan rawat pasien.
"Gimana sama keadaan Leon? Apa anak Tante baik-baik saja?"
Kompak semuanya menoleh dan mendapati seorang wanita dengan pakaian kerja yang membalut tubuhnya. Mereka pun berdiri, menyambut kedatangan wanita berumur 40 tahun tersebut.
"Malem, Tante Liana," sapa Liam, "Leon di dalem, dia lagi istirahat."
Liana kembali bertanya, "Kenapa bisa terjadi seperti ini sama Leon?"
Mereka saling melempar tatap seakan dari tatapan itu bertanya, "Gimana ini?"
"Ya sudah, Tante mau jenguk Leon dulu. Makasih udah mau nemenin dia." Setelahnya, Liana pun memasuki ruangan tempat Leon dirawat.
Tubuh yang terbaring lemah di atas brankar membuat Liana menatapnya sendu. Banyak alat medis yang terpasang di tubuh yang senantiasa mendekapnya itu. Mata yang selalu menyorotnya dengan lembut, kini mata itu terpejam. Tampaknya dia kelelahan. Tangan yang selalu terulur mengusap wajahnya, salah satu dari tangan itu terdapat selang infus.
Wangi parfum yang tak asing, menguar memasuki indra penciuman Leon. Dia sangat kenal sama si pengguna parfum ini. Mata Leon yang terpejam pun terbuka, bibirnya yang tertutup rapat pun terukir membentuk senyuman. "Mama?"
Liana membantu Leon untuk bersandar, dengan hati-hati dia membantu anak semata wayangnya itu. "Pelan-pelan, Nak."
"Ma, harusnya setelah dari kantor, Mama langsung pulang ke rumah. Leon udah ada temen-temen yang nemenin," ujar Leon.
"Apa yang sakit, Sayang? Pundak kamu pegel, atau kamu mau makan aja?"
Leon tampak tidak suka saat Mamanya mengalihkan pembicaraan ke lain topik. Dia tahu kalau sang Mama kelelahan karena seharian terus bergelut dengan kerjaan. "Ma?"
"Apa, Nak? Kamu mau apa? Biar Mama beliin." Pergerakan Liana terhenti saat Leon mencegahnya dengan menahan tangannya. Baru saja dia hendak keluar dengan tujuan untuk ke kantin, tapi Leon tidak membiarkannya berlalu begitu saja.
"Leon mau Mama istirahat di rumah. Leon tahu, Mama pasti capek."
Liana menggenggam tangan Leon, mata mereka pun saling beradu tatap. "Mama emang capek. Mama juga sering ngeluh. Tapi setiap Mama pulang ke rumah dan ketemu kamu, rasa capek Mama hilang. Waktu Mama denger kabar kalau kamu kecelakaan, Mama panik bukan main. Biarin Mama di sini nemenin kamu. Biarin Mama ngurus kamu seperti ibu yang lain. Maaf karena Mama terlalu sibuk kerja, kamu jadi kurang perhatian."
Mata memang tidak bisa berbohong. Leon dapat melihat rasa lelah dalam netra wanita di hadapannya. Mamanya, kasihan sekali harus menanggung semua ini sendirian. Mamanya memiliki dua peran sekaligus: menggantikan posisi mendiang sang Papa, juga mengurusnya.
"Kita bagi tugas ya, Ma? Biar Leon yang handle perusahaan Papa."
Penuturan Leon seakan menggelitik perut Liana yang membuat dia terkekeh. "Kamu masih anak SMA, tahu apa soal bisnis?"
"Ma...." Leon tidak suka sama perkataan Liana yang seakan mengejeknya. Padahal niatnya hanya tidak ingin melihat sang Mama kelelahan karena terus bergelut dengan pekerjaan.
"Nggak. Mama gak setuju kalau kamu yang handle. Tugas kamu ya belajar. Ngurus bisnis itu gak gampang, Sayang. Mama gak mau sekolah kamu jadi keganggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONARDO [SELESAI]
Teen FictionLeonardo Adiwalaga. Laki-laki yang terlahir dalam naungan zodiak Leo, membuatnya berambisi ingin menguasai dunia dan menjadi orang nomor satu. Si pemilik zodiak berlambang singa ini selalu jadi sorotan, baik di kalangan kaum Hawa yang mencoba untuk...