04. Balap, Lagi

187 18 17
                                    

"Tiga ratus juta, buat lo."

Robin menyodorkan sebuah amplop cokelat yang berisikan uang dengan nominal yang tidak sedikit. Sedang laki-laki di depannya, yang terhalang meja bundar, terus diam tanpa menanggapinya.

"Lo udah terima tawaran dari gue, ambil!"

Meski ragu, tapi tangannya terulur untuk mengambil barang yang Robin berikan. Dia merasa jadi orang yang paling jahat, menerima uang dengan cara yang tidak baik.

"Gue minta pilihan lain."

Robin meledakkan tawa, menertawakan laki-laki yang umurnya hanya selisih satu tahun di bawahnya itu. Bahkan dia tidak peduli meski banyak pasang mata dari pengunjung kafe yang menatapnya. "Bodoh. Pilihan lo cuma dua: utang lo lunas, nyawa ibu lo selamat; atau nyawa ibu lo dalam ancaman mereka? Kurang baik apa gue udah ngasih lo duit?"

"Nyogok gue lebih tepatnya."

"Gue gak bilang gitu. Karena di sini kita sama-sama untung," kata Robin.

"Kalo keadaan gak ngedesak, gak sudi gue nerima duit dari lo!"

Lagi, Robin tertawa. Dia pun berkata, "Gak usah belagu. Kalau gak ada gue, lo mau bayar hutang pake apa? Lo lupa caranya berterima kasih?"

Kedua tangan 'lelaki itu' terkepal. Giginya bergemelatuk. Sedang dirinya tengah menahan untuk tidak meledakkan api yang bergejolak dalam diri. Api yang akan menghanguskan masalahnya, api yang akan membakar laki-laki di depannya. Sayangnya, dia hanya bisa menahan karena tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata memang benar: kalau uang bisa membungkam siapa saja di bawah kendalinya.

"Malam ini, gue mau nantang Leon buat balap. Dan harusnya lo udah tahu mesti ngapain. Kalau sampai lo khianatin gue, lo tahu sendiri akibatnya!" ujar Robin, yang kemudian dia berlalu pergi meninggalkan lelaki itu.

Melirik ke jendela, 'dia' melihat Robin sudah pergi dengan motor sport-nya. Kenapa Robin harus terlibat ke dalam masalah pribadinya? Kenapa dia mengetahui semuanya? Kacau. Tidak ada harapan lagi untuknya bisa terbebas dari masalah.

---

"Leon, iiih, nyebelin banget, sih?!"

Salah satu hal yang disukai Leon adalah menjahili kekasihnya. Rautnya yang cemberut menambah kesan imut yang membuat Leon semakin gemas. Bahu Leon berguncang, laki-laki itu tertawa sangat keras. Apalagi gadisnya ini terus mendumel karena ulahnya yang menempelkan es krim di pipi gadis itu.

Eliza membersihkan pipinya yang kotor dengan menggunakan tisu. Bukannya bantu membersihkan, Leon justru malah terus menertawakannya. Menyebalkan sekali!

Sore ini, setelah pulang sekolah, keduanya mampir dulu ke taman kota hanya untuk membebaskan pikiran dari rumitnya mata pelajaran.

Tawa Leon langsung reda saat mendengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Cowok itu merogoh saku, mengeluarkan benda pipih yang canggih dengan logo buah apel digigit di bagian belakangnya.

Nama 'Liam Geraldy' berada di posisi paling atas dari deretan pesan di salah satu aplikasi. Saat Leon membaca pesan yang dikirimkan dari wakilnya itu, keningnya berkerut.

Robin nantangin lo buat balap nanti malam. Gue saranin, lo jangan terima ajakan dari dia.

Bibirnya mengukir senyum sinis, sementara jarinya bergerak lincah di atas papan ketik.

Bentar lg gue ke markas. Jgn dulu pulang sebelum gue datang.

Melihat raut wajah Leon yang tampak berubah, Eliza pun bertanya, "Kamu kenapa? siapa sih yang nge-chat?"

Benda pipih itu kembali Leon masukkan ke dalam saku celana abunya. Leon pun menatap Eliza dan menjawab, "Dari Liam, dia nyuruh aku ke markas. Ada hal penting yang mau diomongin."

Mendadak, wajah Eliza berubah menjadi masam. "Aku emang gak penting buat kamu."

Tangan Leon bergerak menggenggam tangan yang lebih kecil darinya itu. "Sayang, gak gitu. Kamu itu segalanya buat aku. Tapi ini penting banget, aku perlu kumpul sama mereka."

"Ya udah, iya."

"Aku diriin Leo, bukan cuma buat dapet temen banyak. Tapi mereka itu keluarga buat aku. Karena cuma sama mereka, aku tahu apa itu arti kebersamaan. Kamu sama Leo itu sama-sama penting buat aku."

"Iya aku ngerti. Tapi anterin aku pulang dulu, ya?"

Leon mengangguk sekaligus tersenyum. "Jangankan nganterin sampai rumah, nganterin kamu ke penghulu juga aku jabanin, El."

Eliza menepuk pundak Leon sampai laki-laki itu tertawa. "Tunggu sampai aku lulus dan jadi sarjana, ya? Tunggu sampai aku nikah sama cowok lain."

Tawa Leon seketika sirna, berganti dengan wajahnya yang ditekuk. "Oh... udah mulai berani, nih?"

Eliza tertawa lepas. Dia langsung berlari yang kemudian Leon mengejarnya. Seperti anak kecil yang main kejar-kejaran, tanpa peduli kalau tubuh mereka sudah berselimut seragam putih abu.

Sore ini, semesta kembali menyaksikan kebahagiaan keduanya. Di bawah payungan langit sore yang berwarna kejinggaan; di atas hamparan rumput hijau; mereka membuktikan, kalau kebahagiaan tidak harus diciptakan dengan kemewahan.

"Singanya El, mau gak janji sama aku?" tanya Eliza.

Sebelah alis Leon terangkat. Dia pun bertanya balik, "Janji apa?"

"Janji buat gak ninggalin aku."

"Tanpa kamu minta, aku gak bakal ninggalin kamu, Sayang."

"Kalau nanti kamu ketemu cewek lain, terus kamu ninggalin aku, gimana?"

Leon melirik ke arah jalan yang ramai kendaraan hilir mudik. Tepat saat sebuah mobil besar melintas. "Kalau nanti aku ninggalin kamu, aku rela kelindas truk. Aku rela mati, daripada harus ninggalin cewek kayak kamu, Eliza Ravelina."

"Ya kalau itu, nanti kamu ninggalin aku selamanya! Aku gak mau!"

"Aku lebih baik kehilangan nyawa, daripada harus kehilangan kasih sayang kamu."

---

"Gue terima tantangan dari Robin," ucap Leon tanpa ada keraguan.

Sudah sepuluh menit Leon berada di markas Leopard--- sebuah rumah minimalis yang menjadi tempat mereka bercokol. Mereka semua duduk melingkar, membahas topik tentang Robin yang mengajak Leon balapan.

"Emang ya itu orang, udah kalah aja sok-sokan nantangin lagi. Belum kapok kayaknya dia malu," ledek Zayn.

Liam pun ikut menimpali, "Menurut gue, mending gak usah."

Sontak saja perkataan dari Liam mengundang semua pasang mata untuk menatapnya.

"Kok lo gitu, sih?" tanya Zayn dengan nada bicara yang terdengar tidak terima. "Kalau Leon gak terima tantangan ini, bukan cuma harga diri dia yang diinjek-injek, tapi kita juga! Lo kayak yang gak tahu si Robin aja."

"Justru itu, gue kenal siapa dia," kata Liam, "ya lo pikir aja, baru aja kemarin dia sama Leon balapan, dan sekarang giliran dia yang nantangin. Emang lo pada gak curiga?"

"Curiga apa sih, Yam?" Si pemilik mata sipit menyahut, Tristan Theo Adelard nama lengkapnya. Atau yang kerap disapa 'Theo'. "Zayn bener, nanti harga diri kita diinjak-injak sama dia."

"Iya, Bang. Nanti nama Leo yang jelek di kalangan anak motor," sahut Bagas. Anggota Leopard kelas sebelas yang bernama lengkap Bagas Bajradaka.

Liam berdiri. Dia berpendapat, tapi tidak ada yang terima dengan masukannya. "Terserah. Gue cuma gak mau Leon dijebak." Setelahnya, Liam langsung melenggang pergi.

Melihat kepergian Liam, Zayn pun berteriak, "Ngambekan banget lo, kayak cewek aja!"

"Terus, keputusan lo gimana, Yon?"

Leon melirik Theo. Dia sudah punya keputusan sendiri. Jadi, dia memutuskan, "Gue terima tantangan dia."

Salah seorang di antara mereka mengepalkan tangan. Kepalan tangan yang menahan kegelisahan.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang