Terhitung sudah satu minggu semenjak kepergian Leon, sejak itu pula Eliza tidak menampakkan batang hidungnya di sekolah. Semuanya berubah. Membuat kedua sahabat gadis itu bersikap tak seperti biasanya. Mereka berdua kehilangan sosok Eliza.
"Eliza apa kabar ya, Na?" tanya Adel. Suaranya tampak lesu, seperti tak bertenaga.
Ana meresponsnya dengan menggeleng lesu. Gadis itu kemudian melirik ke tempat duduk paling pojok, tempat duduk Farel. Anak itu juga banyak berubah. Tak banyak tingkah seperti awal mula dia masuk.
"Pulang sekolah, kita ke rumah Eliza. Ajak Farel juga," ajak Ana yang mendapat anggukan setuju dari Adel.
---
"Leonardo Adiwalaga?"
Saat nama itu disebut, mereka serempak menoleh ke tempat duduk dekat tembok di barisan ketiga. Kursi itu kosong, tidak ada yang menempati.
"Maaf," ucap Pak Mamat. Dia melupakan satu kenyataan kalau si pemilik nama itu sudah tidak di sini lagi.
Pelajaran Ekonomi berjalan selama dua jam. Setelah jam pelajaran itu sudah habis, Pak Mamat pergi keluar dari kelas.
Zayn, Theo, dan Daniel, kompak mendekati tempat duduk Liam.
"Gue kangen Leon," ucap Daniel. Tidak ada keceriaan lagi di wajah laki-laki itu. "Biasanya dia yang pinjemin gue pulpen. Gak gue pulangin lagi juga Leon gak pernah nagih."
"Merelakan bukan berarti melupakan," kata Liam, "kita harus terbiasa tanpa Leon. Meski kita butuh waktu."
Ketiganya mengangguk, menyetujui perkataan Liam.
---
Setelah kejadian waktu lalu, saat ada seorang gadis yang mengungkapkan perasaan padanya, Theo tidak lagi bertukar kabar dengan gadis itu. Dan hari ini, dia juga belum melihat batang hidungnya.
Tempat ini, sudah lama tak Theo kunjungi. Dan sekarang, dia baru menginjakkan kakinya di sini lagi. Tempatnya masih sama, tidak ada yang berubah. Hanya saja, suasananya yang berubah. Tidak lagi manis seperti dulu. Theo tersenyum kecut, merutuki kebodohannya.
Biasanya, di samping Theo ada Ana. Tapi kali ini dia duduk sendiri di kursi yang tersedia di taman sekolah. Gadis itu, Theo tidak mengetahui bagaimana keadaannya.
"Gue udah kehilangan semuanya," kata Theo, "gue kehilangan Leon, gue juga kehilangan Ana. Sebenci itu lo sama gue, Na?"
Theo menoleh ke belakang saat mendengar suara kaki yang menginjak dedaunan kering. Lantas, bibir Theo mengukir senyum saat melihat ada seorang gadis yang berdiri di sana. Di belakangnya. "Ana?"
Ana memalingkan wajah, juga berbalik arah. Belum selangkah kakinya berjalan, Theo menghentikan pergerakannya dengan cara menahan tangan Ana.
"Gue mau ngomong," pinta Theo. Lembut sekali.
Terbesit kerinduan dalam diri Ana saat lama tak bersua dengan laki-laki ini. Tapi egois lagi-lagi menguasai hati, menampik perasaan yang sebenarnya terjadi. "Gue buru-buru."
Theo tak melepaskan cekalannya dari pergelangan tangan Ana. "Sekeras apa pun lo berusaha buat jauhin gue, sekeras itu juga gue berusaha buat ngejar lo," ujar Theo. "Na, kasih kesempatan buat gue perbaiki semuanya."
Ana masih bergeming. Wajahnya dia palingkan—enggan menghadap Theo. "Kesempatan apa yang lo maksud?" tanya Ana, "dan apa yang mesti lo perbaiki?"
Theo diam.
"Bukannya hubungan kita emang kayak gini? Gak ada yang istimewa dari kita selain kata 'teman'. Dan bukannya itu lebih baik?"
Theo masih diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONARDO [SELESAI]
Teen FictionLeonardo Adiwalaga. Laki-laki yang terlahir dalam naungan zodiak Leo, membuatnya berambisi ingin menguasai dunia dan menjadi orang nomor satu. Si pemilik zodiak berlambang singa ini selalu jadi sorotan, baik di kalangan kaum Hawa yang mencoba untuk...