07. Dia Menghilang

164 16 8
                                    

"El, lo kenapa, sih?" tanya Ana, atau kependekan dari Ariana Moza. Dia tentu bingung melihat Eliza yang sedari tadi seperti tengah khawatir.

Sampai pagi menyapa, nomor Leon masih belum bisa dihubungi. Eliza terus menghubungi nomor kekasihnya meski hasilnya masih sama. "Leon, kamu ke mana, sih?"

Pertanyaan Ana yang tidak ditanggapi sama Eliza, membuat Adel bertanya, "Kenapa, sih? Kok muka lo panik gitu?"

Eliza tampak gelisah di tempat duduknya, mengundang banyak tanya dari kedua sahabat gadis itu.

"Leon gak ada kabar. Terakhir dia hubungin gue waktu jam tujuh. Gak tahu kenapa, perasaan gue gak enak dari semalem. Gue takut Leon kenapa-kenapa," jawab Eliza dengan raut gelisah yang tidak luput dari wajahnya.

"Lo udah nyari dia ke kelasnya?"

Merespons pertanyaan Adel, Eliza mengangguk. "Udah. Tapi kata sekretaris di kelas itu bilang kalau Leon sama temen-temennya gak masuk sekolah hari ini."

"Leon... semalem gak ikut balap motor kan, El? Anak-anak Mahes lagi rame bahas balapan motor tadi malem, tuh. Ya... siapa tahu  Leon ikutan. Secara... dia kan anak motor, ketuanya lagi. Besar kemungkinan, sih, Leon ikut."

Ana memelototi Adel. Mengisyaratkan kalau Adel jangan meneruskan ucapannya. Tapi yang namanya Adelyn Stephanie, mana bisa diajak kompromi. Si lemot yang satu itu memang tidak pernah bisa melihat situasi dan kondisi.

Balap motor? Apa iya kalau Leon ikutan balap motor sampai lupa ngasih kabar, dan parahnya lagi dia gak masuk sekolah, batin Eliza.

Pikiran Eliza terus berkecamuk. Perkataan Adel membuatnya tambah gelisah. "Tapi Leon gak pernah ikutan kayak gitu. Gue percaya kalau dia gak ikutan balapan. Leon dulu pernah bilang, meskipun dia anak motor, tapi dia gak akan ngelakuin hal-hal kayak gitu."

Eliza harus tetap berpikir positif. Meskipun otaknya menampik. Karena yang dikatakan Adel sangat mengganggu pikiran Eliza.

"El. Jangan mau dikibulin sama cowok. Dia bisa aja bilang kayak gitu supaya lo percaya. Omongan cowok itu kayak belut: licin, susah buat dipegang!" kata Adel.

"Del, lo bisa gak sih gak manas-manasin Eliza? Lo gak lihat kalau Eliza lagi gelisah?" Ana membentak Adel.

"Na, yang gue bilang itu bener. Mustahil kalau anak motor gak ikutan balap motor. Gue kan cuma kasih pendapat, bisa aja kan kalau Leon juga ikutan?" Adel terus kukuh sama pendiriannya. Menurutnya, laki-laki seperti Leon itu tipe lelaki yang suka membohongi perempuan.

Ana kembali membalas, "Itu namanya bukan pendapat, tapi provokasi! Lo bilang kayak gitu supaya Eliza benci kan sama Leon? Del, gue tahu kalau lo gak suka sama geng itu. Tapi ini hubungan Eliza sama Leon, lo gak berhak—"

"Ana, gue gak pernah nyuruh Eliza buat benci sama Leon. Gue kalau gak suka sama orang, gue gak bakal ngajak orang lain buat ngebenci orang itu juga. Gue cuma kasih tahu Eliza buat gak gampang percaya sama omongan cowok!"

"Sama aja, lo itu emang provokator!"

Perdebatan itu terjadi antara Adel sama Ana. Sementara Eliza, kepalanya seakan mendidih saat perseteruan terjadi di depannya. Mereka berdua memang seperti itu, selalu bertolak belakang dalam menanggapi suatu hal. Meski memang benar kalau setiap kepala itu isinya tidak pernah selalu sama, tapi jangan jadikan hal itu untuk berseteru. Bukannya menyelesaikan masalah, justru masalah malah semakin bertambah.

"Kalau lo berdua gak bisa bantu gue, mending gue keluar. Lanjutin aja berantemnya sampai puas!" Eliza beranjak dari duduknya, melangkah keluar kelas daripada telinganya panas lantaran kelakuan kedua sahabatnya itu.

"Lo, sih! Jadi pergi kan dia!"

Tak terima disalahkan, Ana membalas Adel, "Enak aja lo nyalahin gue, jelas lo yang salah!"

"Lo!"

"Lo!"

---

Sebagian anggota Leopard menunggu Leon di depan ruangan tempat laki-laki itu dirawat. Mereka tidak pulang dari semalam. Jangankan untuk pulang, untuk makan saja mereka tidak sempat.

Zayn, Daniel, Theo, Bagas, Yuda, dan Angga, masih tidur di kursi. Sementara Lingga, dia tidak bisa tidur  dari semalam.

Leon sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap. Saat Liam membuka sedikit pintu ruangan tersebut, dia melihat banyak peralatan medis di tubuh Leon. Kepala laki-laki itu diperban, ada selang oksigen juga yang menempel di hidung mancungnya. Bagian tubuhnya yang lain terdapat banyak perban, seperti di lutut, siku, dan betis.

Kalau saja dia mendengarkan kata-kata Liam, pasti semuanya tidak akan kejadian. "Cepet sembuh, bro. Leo bakalan kacau kalau bukan lo yang handle."

Liam lupa kalau belum mengabari mamanya Leon, Liana Adiwalaga. Janda anak satu yang satu-satunya Leon punya.

Panggilan Liam tidak diangkat. Liam lupa kalau Tante Liana itu super sibuk, mana sempat dia hanya untuk sekadar mengangkat panggilannya saja.

"Eliza. Pasti dia nyariin Leon."

Telepon Liam tersambung ke nomor Eliza. Dia mengabari kalau Leon kecelakaan. Liam sampai mendengar keterkejutan dari gadis itu. Sudah Liam pastikan, hari yang sudah seapik mungkin diatur sama Eliza supaya berjalan sempurna, semuanya jadi sirna saat Liam mengabarkan kabar buruk pada kekasih Leon.

"...Sorry, El, gue baru bisa kabarin lo sekarang. Lo dateng aja ke rumah sakit Cahaya Intan, kita masih di sini nemenin Leon."

Samar-samar, Theo dapat mendengar percakapan Liam dengan si penelepon. Dia terbangun dari tidurnya, lupa kalau sekarang dia masih di rumah sakit. "Lo udah kabarin Tante Liana?" tanya Theo setelah Liam mengakhiri percakapannya.

"Gak diangkat. Tapi tadi gue udah kabarin Tante Liana lewat chat. Eliza juga udah gue kabarin, dia syok banget denger kabar ini."

"Biar gue ke rumah Leon." Theo beranjak dari duduknya. Laki-laki itu kembali memakai jaket dan buru-buru pergi. Tapi sebelum itu, Liam berujar, "Tante Liana gak mungkin ada di rumah kalau jam segini."

"Gue mau ketemu pembantunya Leon. Gue kan gak tahu alamat kantor Tante Liana di mana."

"Gue ikut, Bang!"

Tiba-tiba saja Yuda menyahut. Membuat Theo mengangguk dan kemudian Yuda menyusulnya.

---

Biasanya Leon yang akan mengantar Eliza pulang sekolah. Tapi hari ini laki-laki itu tidak masuk. Eliza jadi menyuruh sopirnya untuk menjemput.

Perkataan Adel terus terngiang-ngiang. Eliza takut kalau yang Adel katakan itu ada benarnya.

Lamunan Eliza langsung buyar saat ponselnya berdering. Awalnya dia mengira kalau yang menghubunginya itu Leon, ternyata Liam. Tapi, tumben sekali Liam menghubunginya?

"Yam? Lo lagi sama Leon? Kalian lagi di mana, sih? Kalian gak ikut balapan kan semalem? Gue hubungin Leon kenapa susah banget? Dia lagi bareng sama lo, kan? Awas aja kalau nanti gue ketemu sama Leon, gue interogasi dia habis-habisan kalau Leon beneran ikut balapan!"

Banyak pertanyaan dari Eliza yang menghujani Liam. Dia kesal, dia butuh kabar. Setidaknya jangan membuat dirinya ini terus khawatir.

"El, Leon emang lagi sama kita."

Syukurlah, Eliza jadi bisa bernapas lega. Tapi kelegaan itu jadi sirna saat Liam berkata, "Tapi dia lagi dirawat di rumah sakit. Semalem Leon kecelakaan, makanya dia gak ngabarin lo. Sorry, El, gue baru bisa kabarin lo sekarang. Lo dateng aja ke rumah sakit Cahaya Intan, kita masih di sini nemenin Leon."

Tangan Eliza gemetar yang membuat ponselnya jatuh ke pangkuan gadis itu.

Biasanya tiap malam akan ada notifikasi dari Leon untuk sekadar mengucapkan, "Sleep tight, Sayang." Ataupun panggilan video yang memang sering mereka lakukan setiap mau tidur.

Tapi malam tadi, tidak ada satu pun pertanda Leon akan mengabarinya. Mendengar kabar buruk dari Liam membuat Eliza diam membeku.

"Leon... kecelakaan?"

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang