49. Permintaan Terakhir

119 6 0
                                    

Karina sudah berlalu keluar dari kamar Eliza. Saat melihat kembali ke arah luar, Eliza mengembuskan napas lega karena Leon sudah tidak ada lagi di sana. Laki-laki itu sudah pergi. Entah kenapa Eliza jadi tidak enak hati terhadap lelaki itu.

Tidak. Eliza harus menepis perasaannya terhadap Leon.

Eliza merebahkan dirinya di kasur. Matanya menatap lurus pada langit-langit kamar. Sedangkan benaknya terus dipenuhi kejadian demi kejadian yang sudah terlewati.

Eliza masih ingat bagaimana saat Leon menyatakan cinta padanya. Pertemuan mereka bukanlah suatu hal yang bisa dikatakan manis, sangat jauh dari kata itu. Awalnya mereka berdua seperti kucing dan anjing yang tidak pernah akur. Entah bagaimana bisa, keduanya malah menjalin hubungan yang bahkan Eliza sendiri tidak bisa membayangkan kalau hal ini terjadi.

Bulir air mata dibiarkan mengalir di pipinya. Hubungan yang sebelumnya terjalin harmonis, tiba-tiba saja menjadi kandas di tengah jalan.

"Gue bodoh karena terlalu percaya sama cowok kayak lo. Harusnya dulu gue gak kenal lo. Harusnya dulu gue gak terima cinta lo. Harusnya kita gak pernah ketemu. Kalau akhirnya bakal kayak gini, gue lebih milih buat gak kenal lo sama sekali, Leon!"

---

Guyuran hujan mengakibatkan tubuh Leon diselimuti kedinginan. Ditambah sekarang angin malam yang menyentuhnya, membuat laki-laki itu semakin kedinginan. Hujan deras juga mengakibatkan jalanan tampak licin, membuat Leon membawa motornya dengan pelan.

Masih teringat jelas bagaimana Eliza yang menyuruhnya untuk pergi. Wajah gadis itu, tak sedikit pun Leon menemukan ada kesenangan di sana. Tidak seperti dulu— setiap Leon datang berkunjung ke rumah gadis itu—senyum semringah tak pernah luput dari Eliza. Kedatangan Leon selalu disambut hangat; baik sama Eliza, bahkan kedua orang tua gadis itu sekalipun.

Tapi saat Leon kembali datang ke rumah itu, tadi, Eliza justru tidak mau menyambut kedatangannya. Leon tahu, gadis itu masih marah. Sekadar untuk memaafkan pun, sepertinya dia tidak akan sudi.

Hari sudah banyak terlewati. Semakin berganti hari, semakin bertambah pula masalah yang Leon hadapi. Mulai dari pengkhianatan, kecelakaan, kehancuran pertemanan, pun dengan kisah percintaannya yang juga ikut hancur berantakan.

Leon tidak tahu, harus dengan cara apa supaya dia bisa menyelesaikan semua masalahnya. Satu masalah selesai, kemudian datang lagi masalah baru secara keroyokan.

Permasalahan-permasalahan itu terus berkelebat dalam benak, membuat Leon tidak bisa fokus mengendarai motornya. Kepala Leon terasa berat, badannya pun semakin menggigil. Sedangkan rumahnya masih jauh.

Ingin cepat sampai di rumah untuk melepas penat dan mengistirahatkan badannya, Leon pun memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia tidak mempedulikan kondisinya yang dibilang kurang baik, karena sekarang dia butuh tempat untuk merebahkan badan.

Leon memacu kendaraannya dengan keadaan setengah sadar, membuat pengendara lain mengumpat karenanya. Rasa sakit kembali menyerang kepalanya, membuat Leon lagi-lagi tidak bisa fokus berkendara.

"Jangan lemah cuma karena kehujanan!" gumam Leon.

Sesekali Leon mengerjap, menahan sakit yang terus menyerang kepalanya. Dengan memacu kendaraan di atas rata-rata dan dalam keadaan yang tidak stabil, Leon tidak sadar kalau dia menerobos lampu lalu lintas. Tentu dia terkejut bukan kepalang. Jantungnya sampai berdegub sangat kencang.

Jeritan dari pengendara lain terdengar begitu ramai— menyadarkan Leon untuk memberhentikan motornya.

Mata Leon membelalak saat di hadapannya ada sebuah kendaraan beroda empat yang besar. Dentuman keras pun terdengar, membuat banyak pasang mata  tertuju pada satu titik.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang