"Wuhuuu, congrats, Bos!!!"
Sorakan serta gemuruh tepuk tangan menyambut kedatangan Leon saat laki-laki itu telah mencapai garis finish lebih dulu daripada Lucas. Badannya terguncang saat Daniel memeluknya dengan begitu erat. Bahkan temannya itu sampai menciumi helm yang masih dikenakan Leon.
"Emak bangga sama kamu, Nak," ucap Daniel, persis seperti seorang ibu yang senang akan anaknya yang mendapat juara.
Semuanya tersenyum senang, lega akhirnya kalau Leon sampai di garis finish dengan keadaan selamat. Padahal mereka takut kalau kejadian kemarin akan kembali menimpanya.
Lucas datang dengan sebuah amplop berisikan uang di genggamannya. Dia pun memberikan amplop itu ke Leon. "Sialan lo, ya. Padahal gue udah seneng mau ngambil ini motor."
Tangan Leon menerima uang itu. Dia pun terkekeh dan berkata, "Si biru gak bakal jatuh ke tangan orang lain. Thanks, bro!"
"300 juta juga gak bakalan buat gue jatuh miskin. Seneng akhirnya bisa balap sama lo lagi."
Keduanya melakukan tos ala laki-laki. Setelahnya, Lucas berlalu dari sana.
Leon menyimpan uang itu di waits bag. Seseorang tiba-tiba saja berdiri di hadapannya. Wajahnya tampak panik, tak seperti Leon yang terkejut. Leon langsung turun dari motornya. "El, kok kamu di sini? Kamu-"
Perkataan Leon terpotong saat tiba-tiba Eliza menubruknya. Dia terhuyung, tapi kemudian Leon membalas pelukan Eliza. "Kenapa bisa di sini? Kenapa kamu berani ke sini? Kamu ke sini sama siapa?"
Pertanyaan beruntun itu Leon layangkan. Tentu dia terkejut karena kekasihnya ada di tempat yang tidak seharusnya dia datangi.
"Berhenti buat aku khawatir bisa gak, sih?!" Eliza mengabaikan pertanyaan Leon, dia menumpahkan air matanya di dada bidang laki-laki itu. Tak peduli kalau masih banyak orang di sekelilingnya.
"Sayang... aku kan gak kenapa-kenapa. Kamu lihat sendiri kan kalau aku berhasil menangin pertandingan ini? Yang namanya Leon, mana bisa ada yang ngalahin?"
Leon merasa perih sekaligus geli saat tangan Eliza mencubit pinggangnya.
"Tahu, ah. Nyebelin!"
---
Keesokan harinya, Leon mengemudikan si biru kesayangannya untuk menuju suatu tempat. Tempat yang bahkan Leon enggan untuk menginjaknya. Tapi hari ini, dia akan mendatangi tempat yang menurutnya terkutuk itu.
Dua puluh menit menempuh jarak, akhirnya Leon telah sampai di tempat tujuan. Dia berhenti di depan rumah minimalis yang sepertinya ada banyak orang di dalamnya.
Suara gelak tawa terdengar saat Leon baru saja menginjakkan kakinya di ambang pintu rumah minimalis tersebut. Tidak ada rasa takut sedikit pun untuk Leon saat dia memasuki tempat itu.
Gelak tawa itu berhenti ketika mereka melihat seseorang yang datang. Dengan serempak, mereka langsung berdiri.
"Wih, ada yang nyamperin markas kita, nih."
Leon mengabaikan perkataan laki-laki yang hanya mengenakan kaos dalam itu. Dia melihat tatapan meremehkan dan seakan siap untuk mencabiknya dari mereka.
Tepukan tangan itu bersumber dari Robin. Laki-laki yang rambutnya dikuncir itu pun menghampiri Leon, mengitari badan Leon. "Berani juga lo dateng ke markas Volker sendirian. Nyari ribut?"
"Mana antek-antek lo, ha? Gak takut lo kalau nanti kita habisin lo di sini?" tanya Martin. Setelahnya, gelak tawa menggema. Sedangkan Leon, dia mencoba untuk menutup telinganya rapat-rapat. Karena tujuannya datang ke markas Volker, bukan untuk mencari masalah.
Leon melemparkan amplop yang dia bawa tadi. Di sana, di meja bundar itu, banyak uang berserakan yang barusan Leon lempar. Tatapannya tertuju ke Robin, menatap penuh permusuhan pada ketua Volker tersebut. "Gak usah gunain orang lain buat ngehancurin gue. Lo pengecut, bahkan kedua tangan lo masih bisa buat ngehabisin gue. Gak usah pake Lingga buat ngehancurin Leo. Hutang Lingga sama lo, udah gue bayar!"
"Brengsek!" Robin mencengkeram kerah pakaian Leon. "Gue gak butuh uang itu!"
Tangan Robin terhempas saat Leon menyingkirkannya. Leon menatap seluruh anggota Volker, kemudian dia menepuk pundak Robin.
"Usaha lo sia-sia buat ngehancurin kita. Karena Leo lebih dari sekedar tongkrongan, tapi Leo keluarga kita. Macan tutul gak bakal goyah sama anjing yang sibuk cari masalah. Cari cara lain supaya lo bisa ngehancurin Leo. Gue bakal sujud di kaki lo, kalau lo berhasil hancurin Leo. Dan itu gak akan pernah gue lakuin, karena lo semua gak bakal bisa memecah-belah Leopard. Inget itu baik-baik!"
Leon sepertinya telah mengibarkan bendera perang. Setelah Leon mengatakan itu, dia berlalu pergi. Sedangkan Robin, dirinya dikuasai amarah karena perkataan Leon yang berhasil menginjak harga dirinya. "Untuk kedua kalinya, lo injak harga diri gue. Jangan lo pikir gue bakal diem aja. Tunggu pembalasan gue!"
---
"Harusnya lo gak ngelakuin ini."
Suara yang tak begitu asing berhasil membuka mata Leon yang terpejam. Dia masih bersandar di kursi yang tersedia di atap sekolah, tanpa memedulikan Lingga yang sudah duduk di sampingnya.
"Kasih gue waktu buat bisa bayar hutang sama lo."
Leon melemparkan tatapan remeh ke Lingga. Dia terkekeh sinis. "Emangnya lo mampu?"
Harga diri Lingga seakan diinjak saat Leon melontarkan kata-kata barusan. Dia sadar diri, dia tidak mampu untuk membayar uang sebanyak itu.
"Kenapa harus pake cara rendahan buat bisa bayar hutang?" tanya Leon tanpa menatap si lawan bicara. "Dan kenapa Robin lebih tahu masalah lo daripada kita?"
Jelas Leon masih sangat kecewa dengan Lingga. Satu yang Leon benci: dikhianati. Tapi karena Lingga punya alasan untuk mencelakakannya, tak apa, masih bisa ditoleransi. Tapi masalahnya, kenapa harus Robin yang lebih tahu masalah Lingga daripada dirinya? Kenapa harus orang lain?
"Gue juga gak tahu dia dapet info itu dari mana. Gue minta maaf, Bang. Maaf karena lo celaka gara-gara gue."
"Santai. Gue masih di sini, belum mati."
Lingga menyesali perbuatannya. Sedikit pun dia tidak ada niat untuk berkhianat. Apalagi sampai berani bermain-main dengan nyawa Leon. Leon harusnya marah, Leon harusnya memukuli Lingga. Tapi apa yang justru laki-laki itu lakukan untuknya? "Kenapa lo gak mukulin gue?" tanya Lingga.
"Tangan gue terlalu suci buat nyentuh seorang pengkhianat."
Mungkin sebutan 'pengkhianat' memang cocok untuknya. Tidakkah dia dikasih kesempatan untuk bisa memperbaiki semuanya? Tuhan, masalah Lingga bukan cuma satu.
"Lo masih punya hutang sama gue," peringat Leon.
"Gue pasti bayar, asal kasih gue waktu buat bisa lunasin hutang ke lo."
"Gue gak butuh duit."
Lingga menatap penuh tanya pada lelaki di sampingnya. "Kalau gak pake duit, gue mau bayar pake apa?"
Mata Leon dan mata Lingga saling beradu. Lingga melihat sorotan itu tampak tajam, meski sebanarnya Leon tidak melotot. Tapi dari tatapannya saja sudah membuat Lingga tampak gusar.
"Pake nyawa."
Leon benar mengatakan itu? Nyawa? Apa maksudnya? Sial, Lingga tidak bisa duduk dengan tenang. "Gu-gue-"
"Satu nyawa di Leo hilang, dan itu lo. Balik ke Leo. Gue anggap kalau hutang lo ke gue udah lunas."
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONARDO [SELESAI]
Teen FictionLeonardo Adiwalaga. Laki-laki yang terlahir dalam naungan zodiak Leo, membuatnya berambisi ingin menguasai dunia dan menjadi orang nomor satu. Si pemilik zodiak berlambang singa ini selalu jadi sorotan, baik di kalangan kaum Hawa yang mencoba untuk...