47. Penyesalan

105 12 0
                                    

"Harusnya gue gak nurutin semua perintah lo!"

Seruan itu terdengar marah, membuat Robin kesal mendengarnya. Sepanjang jalan pulang, di atas motor, Divia terus menggerutu. Sekarang pun setelah sampai di rumah, gadis itu masih menggerutu. Roman wajahnya tampak sekali kesal, tatapannya pun tak bersahabat.

"Udah ngomel-ngomelnya?" tanya Robin.

Divia menoleh melirik kakaknya. Laki-laki itu tengah meneteskan obat merah pada memar yang Leon ciptakan di sudut bibir Robin. Sesekali dia merintih saat selembar kapas menyentuh lukanya.

"Andai gue gak ngikutin kemauan lo, Bang. Sampai saat ini Leon masih jadi milik gue."

Robin membuang kapas itu ke sembarang arah, membuat Divia kesal melihatnya. Tapi Robin tidak peduli, di rumah ini sedang tidak ada kedua orang tuanya, dan itu artinya Robin tidak akan kena marah lantaran mengotori lantai ruang tamu. "Leon itu musuh gue. Dan lo adik gue. Gue gak sudi kalau lo sampai jatuh cinta beneran sama dia. Ini udah kesepakatan kita sejak awal, karena rencana kita itu buat habisin Leon dengan cara lo hancurin dia perlahan."

Divia tahu kalau hal ini akan terjadi. Awal dia melihat Leon itu di ponsel milik Robin. Dari foto saja, Divia sudah jatuh pada pesona lelaki itu. Sampai dia mau merencanakan hal ini dengan kakaknya. Niat awal ingin balas dendam, tapi justru Divia terkena perangkapnya sendiri. Dia jatuh cinta sama Leon. Bahkan saat pertama kali bertemu dengan laki-laki itu.

"Besok, lo balik ke SMA Persada."

Sontak, Divia tercengang mendengarnya. Dia pun melirik Robin yang duduk bersebelahan dengannya. "Gue gak mau! Gue udah nyaman di Mahes."

Penolakan itu mengundang amarah Robin. Sedari kecil Divia memang selalu bisa membuat Robin kesal. "Lo mau di-bully? Gak inget kalau Leon udah depak lo dari Mahes? Meski dia bukan orang penting di sekolah itu, tapi siapa yang gak kenal Leon? Semua orang pasti benci sama lo, De."

Robin benar. Divia pasti bisa dirundung kalau dia berani menginjakkan kaki di Maheswari. Kendati demikian, ada ketidakrelaan dalam sanubarinya. Apa Divia bisa tanpa Leon setelah ini?

---

Bisingnya detak jarum jam meredam kesunyian yang meraja. Di atas kasur berukuran besar, Leon merebah. Perutnya sesekali bersuara, meminta untuk diisi. Tapi laki-laki itu tidak mempedulikan sama sekali.

Semua kejadian-kejadian yang dialaminya, berputar di otak Leon. Membuat laki-laki itu berdiam diri seperti meratapi nasib.

Ponsel yang semula teronggok di samping tempatnya berbaring, kini beralih tempat ke genggaman. Lockscreen ponselnya masih sama—wajah Eliza masih terpampang di sana. Dalam foto itu, gadis itu tersenyum. Kemudian Leon beralih membuka tools yang berisi banyak gambar.

"Kamu apa kabar?"

Memamerkan wajah konyol ke hadapan kamera, Leon terkekeh melihat gambar dirinya dan Eliza yang diambil tempo lalu. Di foto itu, Leon dan Eliza kompak memakai hoodie berwarna biru. Ada keceriaan di balik foto itu.

Jemarinya sibuk menggeser berbagai macam foto dirinya dan Eliza yang memang sering berpose di depan kamera. Kalau bukan paksaam dari gadis itu, Leon tidak akan pernah mau bergaya di depan kamera seperti ini.

Senyum Leon kian pudar. Dia harusnya sadar, gadis yang ada di dalam gambar ini sudah bukan miliknya lagi. Leon telah mematahkan hatinya, Leon sudah menghancurkan perasaan gadis itu.

Kemudian Leon beralih pada tools berwarna hijau, aplikasi yang dikhususkan untuk mengirim dan menerima pesan. Tampilannya masih sama, nama 'My Lady' masih berada di posisi paling atas.

Ada kesedihan saat Leon melihat-lihat isi pesan antara ia dan Eliza. Pesan random yang sering membicarakan mulai dari hal penting sampai hal tidak penting sekalipun. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi keseruan itu, semuanya sudah selesai.

"Gue gak bisa nepatin janji buat gak ninggalin lo. Gue gak bisa setia. Gue pengecut. Gue... gue pengecut, El."

---

"Gue suka kasihan sama Butut, kerjaannya marah-marah terus. Gue kan cuma bilang, 'Ibu kenapa mau jadi guru? Kenapa gak mau jadi ibu dari anak-anak aku aja?' Masa dia marah sama gue, El?"

Tawa Eliza meledak, membuat Farel mendengkus karenanya. Kesalnya lagi, tangan Eliza melayang memukul pundak Farel. Apa semua perempuan kalau tertawa selalu dibarengi dengan kekerasan? Kan Farel jadi kesal.

"Ibu Tuti, bukan Butut! Nama orang main ganti-ganti aja!" peringat Eliza setelah tawanya redam. Tapi masih ada sisa-sisa air di sudut matanya.

"Biar lebih gampang nyebutnya."

"Lagian, lo, Bu Tuti diajak bercanda. Ya mana mau? Apalagi bercandaan lo kayak gitu!"

Farel hanya cengengesan. "Kalau lo, mau gak, El?"

"Mau apa?" tanya Eliza.

"Mau jadi ibu dari an—"

"Eliza?"

Kedatangan seseorang memotong perkataan Farel. Kedatangan orang itu juga membuat suasana hati Eliza seketika berubah menjadi buruk. Sedangkan Farel, dia kesal karena Leon datang mengganggunya yang tengah bergurau dengan Eliza di kantin.

"Boleh minta waktunya? Aku mau ngomong."

Farel melirik Eliza, tercetak raut malas dari wajah gadis itu. Eliza tidak menggubris ajakan Leon, dia memilih untuk melanjutkan memakan siomay.

Leon tahu, Eliza pasti enggan bertemu dengannya. Pasti gadis itu kesal karena ia telah mengganggunya. "El—"

"Pergi!" usir Eliza tanpa mau melihat Leon.

Bukan Leon namanya kalau dia langsung nurut. "Please. Sebentar aja."

Bangkit berdiri, Eliza pun menghadap Leon sepenuhnya. Sorot mata laki-laki itu menyiratkan permohonan, mata tajam itu juga terlihat sayu. Tapi Eliza mengabaikan itu. "Apa lagi? Belum puas nyakitinnya? Mana 'cewek kesayangan' lo?"

Tangan Leon bergerak menyentuh Eliza, namun gadis itu langsung menolaknya. "Aku cuman mau ngomong berdua sama kamu. Tapi gak di sini."

"Gak perlu ada yang diomongin lagi. Semuanya udah selesai. Lo sama gue udah gak ada hubungan apa-apa lagi. Ini kan yang lo mau?"

"El—"

Tak membiarkan Leon menyela perkataannya, Eliza pun kembali melanjutkan, "Lo sendiri yang milih buat nyelesain hubungan. Dan sekarang, kenapa lo tiba-tiba dateng lagi?"

Leon diam tak berkutik. Dia membiarkan dirinya ditonton banyak orang yang ada di kantin. Biar semua orang tahu kelakuan Leon yang sesungguhnya. Biar semua orang tahu kalau Leon bukanlah laki-laki baik yang mereka idamkan. Sampai kemudian, Leon membuka suara hatinya yang akan disampaikan ke Eliza, "Aku minta maaf."

Semua orang tercengang, tak terkecuali Eliza.

"Maaf karena udah ingkar janji buat gak ninggalin kamu," ucap Leon dengan tulus.

Jantungnya berdegub kencang. Hatinya memanas. Sedang irisnya berpaling—tidak ingin melirik laki-laki yang berdiri di depannya. Eliza harus tahan sama pendiriannya, jangan sampai dia goyah hanya karena ucapan maaf dari Leon.

Semua orang yang berada di kantin seperti disuguhkan tayangan percintaan antara Eliza dan Leon.

"Satu hal yang udah lo lakuin adalah kesalahan. Gak ada yang lebih baik buat kita berdua selain perpisahan," kata Eliza yang menampar Leon keras-keras. Setelahnya, gadis itu berlalu pergi dengan menahan tangis.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang