53. Terpuruk

89 7 0
                                    

Apalah arti bertemu, kalau akhirnya harus berpisah

Apalah arti merindu, kalau pada akhirnya tidak bisa untuk bertemu

Dunia tengah menghukumku, memberiku pelajaran karena telah menyia-nyiakanmu

Datangmu kusambut dengan riang, tapi pergimu takkan pernah bisa aku relakan

Kumohon. Kembali. Sebentar saja.

---

Cemas, takut, sedih, semua hal yang berbau pilu menyelimuti mereka semua. Di sana, di depan ruang operasi, mereka berkumpul dengan harapan agar semuanya dipermudahkan.

Dua orang terpenting dalam hidup mereka tengah ditangani sama yang ahli. Ada satu nyawa yang membutuhkan pertolongan, sedang satunya lagi sudah hilang nyawa yang siap memberikan pertolongan.

Proses pemeriksaan terhadap Leon telah terlewat, dilanjut dengan pembedahan untuk mengangkat jantungnya. Entah ini kebetulan atau memang sudah takdir, jantung Leon sangat cocok untuk diterima Theo.

Selama hidup, Leon tidak pernah mengkonsumsi obat terlarang, sekadar menyesap rokok pun tak pernah. Itu karena ada larangan dari sang mama tercinta.

Mereka senang karena nyawa Theo dapat tertolong. Tapi di sisi lain, mereka tidak siap kalau harus kehilangan satu nyawa yang sangat berarti. Leon. Mereka harus bisa merelakan kepergian lelaki itu.

Sebelum operasi dilakukan, mereka terkejut karena mendengar kabar dari dokter bahwa Leon akan mendonorkan jantungnya untuk Theo. Awalnya Liana tidak terima, dia ingin anaknya segera dikebumikan tanpa berlama-lama. Kasihan, pikirnya. 

Tapi dia melihat kedua orang Theo menangis di depan ruang rawat laki-laki itu. Liana berpikir kalau ia tidak ingin kedua orang tua Theo merasakan hal yang sama sepertinya. Ia tidak ingin kedua orang tua Theo merasakan sakitnya ditinggal anak semata wayang. Baiklah, Liana mengizinkan kalau itu memang keinginan dari Leon.

"Saya gak tahu harus bilang apa lagi. Berterima kasih pun rasanya masih kurang," ucap Dena pada Liana. Wanita itu menangis di samping Liana. "Saya pernah marahin Leon waktu itu. Tapi justru dia berbaik hati mau memberikan jantungnya buat anak saya, Mbak."

Liana mengusap bahu Dena dengan lembut. "Kehilangan anak satu-satunya itu kayak kehilangan separuh nyawa. Dan saya gak mau kalau kamu merasakan apa yang saya rasakan. Sakit, Mbak. Saya harus kehilangan harta satu-satunya yang saya punya. Tapi kalau Tuhan sudah mengambil alih, saya bisa apa selain pasrah?"

Kedua wanita itu berpelukan, saling menumpahkan kesedihan satu sama lain.

Jaket Leopard yang biasa Leon kenakan, kini sudah beralih ada di genggaman Liam. Masih tercium wangi aroma parfum khas Leon. Tangannya menggenggam erat jaket tersebut, tidak ingin kehilangan pemilik jaket ini. Tidak. Ini sangat menyakitkan.

Di sampingnya, Daniel bersandar di pundak Liam. Sedari tadi tidak ada yang dilakukan laki-laki itu selain diam. Daniel merasa kalau ini hanyalah mimpi. Dia ingin bangun dari mimpi paling buruk ini. Sayang, dia tidak bisa terbangun, karena ini bukanlah mimpi.

Ingin marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Ingin melampiaskan amarah, tapi tidak tahu harus dengan cara apa. Dia marah, marah pada semesta karena sudah mengambil salah satu sahabatnya. Tatapan Zayn nanar ke depan, menatap tembok, dengan bergelinang air mata.

"Yon, buat kali ini, gue gak bisa marah. Mungkin gue harus marahin diri gue sendiri, karena gak bisa jadi temen yang baik buat lo," kata Zayn. "Masa putih-abu kita belum selesai, tapi lo udah nyelesain duluan dengan menutup usia lo. Kita belum puas bikin cerita, tapi lo udah namatin cerita ini duluan. Gimana nanti sama Leopard kalau gak ada lo?"

Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi kebisingan, yang ada hanyalah keterdiaman. Keheningan. Kesedihan.

---

"El, sampai kapan lo mau ngurung diri? Apa lo gak mau nganterin Leon ke tempat peristirahatan terakhirnya? Dia pasti sedih, El, kalau gak ada lo," ujar Ana.

Di depan pintu bercat putih yang tertutup, ada dua gadis yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam berdiri di sana. Sedangkan orang yang ditunggu mereka, tak sedikit pun memperlihatkan batang hidungnya.

Eliza enggan keluar dalam kamarnya.

Adel berujar, "Kalau lo mau nangis, nangis aja di depan kita kayak biasanya. Ada bahu gue, bahu Ana, yang siap dijadiin tempat sandaran buat lo. Kalau semesta kejam sama lo, ada kita berdua yang gak akan pernah ninggalin lo, Eliza."

Tidak ada tanda-tanda pintu ini untuk dibuka, Ana pun berkata, "El, please. Jangan kayak gini. Leon bentar lagi mau dikebumikan. Keluar, El. Lihat dia. Anterin dia. Dia butuh lo. Lo harus kuat. Bukan cuma lo yang kehilangan, tapi kita semua juga kehilangan dia."

Bias mentari tidak dibiarkan masuk lewat jendela kamar. Pencahayaan pun tak dibiarkan menyala olehnya. Semuanya gelap. Seperti hidupnya. Dia tidak ingin melihat dunia, sebab dunia sangat kejam padanya.

Gadis itu, Eliza, dia duduk di sudut kamar. Masih mengenakan pakaian yang semalam dia pakai. Masih dengan suasana duka yang menyelimutinya. Juga rasa bersalah dan penyesalan yang menghantuinya.

Untuk sekadar membuka suara pun, Eliza enggan. Apalagi untuk membuka pintu membiarkan kedua sahabatnya masuk. Eliza tidak ingin mereka melihat dirinya yang terpuruk.

"Leon masih hidup, ini cuma mimpi. Mimpinya buruk, dan gue mau bangun. Siapa pun, tolong bangunin gue dari mimpi buruk ini. Tolong...."

Suara gadis itu tampak parau. Dia sudah lelah karena terus menangis. Kerongkongannya pun terasa kering. Ada warna kehitaman di bawah matanya. Rambutnya yang biasa ditata rapi, hari ini dia biarkan kusut.

Benda yang hampir seukuran dengan badannya, tak dibiarkan jauh darinya. Boneka itu terus Eliza peluk, dengan beberapa kertas yang masih dia genggam.

"El, gue mohon. Keluar, El! Apa lo gak mau nganterin Leon ke tempat istirahat terakhirnya? Ayo, keluar!"

Teriakan itu tak digubrisnya sama sekali.

Peristirahatan terakhir? Tempat apa yang mereka maksud? Eliza tidak mengerti.

Selang beberapa menit, suara di balik pintu itu sudah tak terdengar lagi. Eliza lega. Akhirnya mereka pergi juga.

Dia tidak akan membuka pintu. Sebelum dia terbangun dari mimpi buruknya.

Sementara di ruang keluarga, air mata tak pernah surut dari mata Karina. Sedang sang suami, berkali-kali menenangkannya.

"Ma, udah."

"Anak kita, Pa." Suara Karina terdengar parau di telinga Ferdi. "Mama takut El kenapa-kenapa. Mama takut, Pa."

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang