Bias mentari bersinar menerangi. Menerangi seroang gadis yang sudah lama ditemani kegelapan. Mata Eliza mengerjap, kembali beradaptasi dengan dunia luar setelah satu minggu dia berdiam diri di kamar. Di sana, di ruang tamu rumahnya, Eliza dapat melihat ada banyak bibir yang tersenyum ke arahnya.
Hadirnya Ana, Adel, dan juga Farel ke rumah Eliza berhasil menggugah gadis itu untuk keluar kamar. Mereka bertiga dapat melihat adanya warna kehitaman di bawah mata Eliza. Rambutnya tak disisir rapi, badannya pun terlihat kurus. Eliza, dia banyak berubah.
"El?" Ana berdiri dari duduknya. Menyambut Eliza yang berjalan pelan ke arah mereka yang ditemani sama kedua orang tua gadis itu.
Eliza memberhentikan langkah, berdiam diri di ujung anak tangga. Bibir gadis itu gemetar, air mata pun keluar dari peraduannya. Eliza merindukan kedua sahabatnya. Mereka berdua sama-sama mengenakan seragam, lain halnya dengan Eliza yang hanya berselimutkan baju rumahan.
Ana dan Adel menghampiri Eliza dengan disusul Farel di belakang mereka berdua.
Di bawah atap rumah besar itu, mereka bertiga berpelukan. Melepas kerinduan yang seminggu ini tak bertukar kabar.
"Gue kangen sama lo, El," ucap Adel di sela-sela isakannya.
Ana pun menimpali, "Gue seneng lo mau keluar kamar, kita kangen banget sama lo."
Dari balik punggung Ana sama Adel, Eliza beradu tatap dengan Farel. Laki-laki itu menatapnya dengan intens. Farel melambaikan tangan, juga tersenyum tipis. Farel pun menyapa, "Hai, El!"
Eliza melepaskan pelukannya dengan kedua sahabatnya. "Tolong... anterin gue ketemu sama dia."
Mereka tentu tahu sama 'dia' yang dimaksud Eliza.
Adel dan Ana mengangguk semangat.
"Lo ganti baju dulu, kita tunggu di sini," perintah Ana.
---
Ternyata ini bukan mimpi, ini adalah kenyataan. Kenyataan yang menyakitkan saat orang yang disayang pergi meninggalkan. Di sana, di depannya, Eliza melihat gundukan tanah dengan taburan bunga yang mulai layu di atas gundukan tanah tersebut.
Nama orang yang dulu pernah menyatakan cinta, nama orang yang dulu pernah berjanji untuk tidak meninggalkan, sekarang Eliza dapat melihat nama itu telah terukir di batu nisan.
Meski gemetar, tetapi tangan gadis itu terulur untuk menyentuh batu nisan. Tak percaya. Eliza masih tak menyangka kalau yang ditimbun tanah ini adalah orang yang pernah menjalin kasih dengannya. Orang itu telah tiada, meninggalkan Eliza untuk selamanya.
"Aku terlambat...," ucap Eliza dengan parau. Lantas, dia menangis.
Sekelebat kenangan lagi-lagi bergentayangan di benak Eliza. Raganya sudah berada di dalam gundukan tanah, tetapi wajahnya terus bersemayam di kepala gadis itu. Eliza merindukannya. Sangat merindukan kehadirannya.
"Bisa tolong kembali?" pinta Eliza di sela-sela tangisnya, "aku mau kamu masih di sini, di samping aku. Jangan pergi...."
Angin berkesiur menerpa wajah Eliza, membuat kerudung pashmina yang dikenakannya menari-nari dibawa terpaan angin. Air matanya tak pernah surut sejak kejadian tempo dulu. Saat orang yang amat disayanginya pergi meninggalkan.
Mereka bertiga hanya bisa berdiam diri di belakang Eliza. Menyaksikan kesedihan gadis itu. Sudah satu minggu Leon dimakamkan, hari ini Eliza baru menginjakkan kakinya di sini, di tempat pemakaman Leon.
Tangan yang gemetar itu meraup tanah kuburan, dia genggam tanah itu sebegitu erat. Dalam diamnya, Eliza menangis tanpa suara. Dalam tangisnya, dia berharap kalau orang yang ada di dalam tanah ini kembali padanya.
Tuhan, tolong, Eliza belum siap untuk melepasnya.
"Aku jahat banget, ya? Aku bahkan baru nemuin kamu di sini hari ini."
Ana berjongkok di samping Eliza, pun dengan Adel. Ana mengelus bahu gemetar itu. "Kalau lo gak kuat, kita bisa pulang sekarang, El. Kita bisa ke sini lagi kalau lo udah bisa relain dia."
Eliza menggeleng. Air mata gadis itu belum juga surut. "Kalau lo nyuruh gue buat relain dia, sampai kapan pun gue gak bisa, Na. Dia... dia pergi juga gara-gara gue. Gue jahat. Gue jahat, Na. Gue...."
"El, udah," ujar Adel, "ini udah takdir, bukan salah lo. Kalau lo kayak gini terus, Leon pasti sedih di sana, El."
Bunga tulip putih yang Eliza bawa, dia simpan bunga itu di dekat nisan. "Sayang, kalau aku gak bisa ketemu kamu lagi, temui aku dalam mimpi, ya? Peluk aku. Meski sebentar. Meski cuma dalam mimpi. Gak apa-apa."
Farel menengadahkan kepalanya guna menahan air mata yang siap jatuh. Dalam diamnya itu dia berpikir bagaimana caranya mengembalikan Eliza agar bisa ceria seperti dulu.
"Aku janji, aku bakal ke sini terus buat nemuin kamu." Eliza mendekat, kemudian mencium nisan itu dengan mata yang terpejam. Selepas itu dia berujar, "Singanya El, aku pulang dulu, ya? Kamu baik-baik di sana. Gak usah takut kesepian, aku akan terus berdoa buat kamu."
---
Tidak ada lagi yang menjemputnya untuk berangkat ke sekolah bareng. Tidak ada lagi yang menemuinya di kelas untuk mengajaknya makan bareng di kantin. Tidak ada lagi orang yang suka berbuat usil padanya. Semuanya kini hanya tinggal kenangan, hanya bisa mengenang tanpa bisa diulang. Eliza harus terbiasa tanpa sosok itu.
Semesta seolah merenggut kebahagiaannya. Dunia seperti tak akan lagi melihat senyumannya. Wajahnya tak lagi berseri. Sebab si penyemangat hari sudah pergi tak lagi sisi.
Dari kejauhan, Theo melihat teman-temannya yang menyaksikan. Sedari tadi Theo hanya mendengar helaan napas dari gadis di sampingnya saja, sebab sedari tadi gadis ini tak juga membuka suara. Di taman ini, Theo dan yang lain memang sengaja membawa Eliza ke sana. Meski gugup, Theo harus memulai obrolan ini. "Kalau bukan dia yang ngasih jantungnya buat gue, mungkin sekarang gue gak ada di sini. Gue hutang banyak sama dia. Dan gue gak tahu harus bayar pake apa."
Eliza masih diam. Tetapi pikirannya sedari tadi menerawang pada kejadian yang sudah terlewat. Berkelana mengingat bagaimana indahnya masa itu. Masa saat dia masih bersama sosok itu.
"Gue janji, El. Gue akan jaga pemberian berharga dari dia. Gue akan—"
"Boleh gue denger detak jantung dia? Gue kangen dia...."
Theo kemudian melirik pada yang lain. Mereka mengangguk menyetujui permintaan Eliza. Kemudian fokus Theo beralih ke salah satu gadis, meminta persetujuan dari gadis itu. Ana mengangguk, dia pun tersenyum.
Theo kembali menatap Eliza, lantas dia mengangguk, "Boleh."
Theo membawa Eliza ke dalam dekapan. Sementara Eliza, gadis itu kembali menangis saat dirinya merasakan ritme jantung yang ada dalam dada Theo. Jantung ini, Eliza rindu pada si pemilik jantung ini. Tuhan, bisakah dia kembali?
Farel, Liam, Zayn, Daniel, Ana, dan Adel, mereka ikut hanyut dalam kesedihan. Mereka memang kehilangan sosok Leon, tapi mereka tidak bisa merasakan ada di posisi Eliza yang begitu berat untuk melepas sosok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONARDO [SELESAI]
Teen FictionLeonardo Adiwalaga. Laki-laki yang terlahir dalam naungan zodiak Leo, membuatnya berambisi ingin menguasai dunia dan menjadi orang nomor satu. Si pemilik zodiak berlambang singa ini selalu jadi sorotan, baik di kalangan kaum Hawa yang mencoba untuk...