37. Tamu Tak Diundang

74 9 0
                                    

"Yo, kok muka lo pucet banget? Lo sakit?"

Pertanyaan yang barusan Liam tujukan pada Theo, membuat semua pasang mata orang-orang yang berada di markas tertuju pada seorang laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna putih. Dan benar, wajah Theo begitu pucat seperti mayat hidup. Begitu pikir mereka.

Merasa kalau sekarang ia menjadi pusat perhatian, Theo menghindari banyak kontak mata dengan cara menunduk.

Zayn yang duduk di samping Theo, membuka tudung hoodie yang menutupi wajah laki-laki itu, namun Theo langsung menepisnya. Zayn melihat jelas wajah pucat Theo dan merasakan tangan anak itu yang barusan menepisnya terasa hangat. "Sakit apaan lo? Biasa sakit, kayak manusia aja."

Tidak menggubris semua pertanyaan teman-temannya, Theo hanya bersikap apatis dengan menyibukkan diri dengan ponsel yang bahkan tidak ada hal yang menarik perhatiannya.

"Pulang aja kalau lo lagi sakit. Kita bisa ngumpul lagi lain hari."

Semua orang menyutujui perintah Leon. Lain halnya dengan Theo yang malah menolak, "Gue gak sakit."

Theo menatap malas pada Daniel saat anak tengil itu melemparkan kulit kacang padanya.

"Pulang aja kenapa, sih? Daripada nanti lo pingsan di sini, ngerepotin gue aja," ujar Daniel seraya mengunyah kacang.

Theo tidak menanggapi, ia tidak ingin pulang ke rumah dan tetap mau berdiam diri di markas hanya untuk kumpul bersama mereka. "Gue cuman gak enak badan biasa, lebay banget lo pada."

Tapi sialnya, lagi-lagi rasa nyeri pada bagian dada terus menyerangnya. Sebisa mungkin Theo harus menahan rasa sakit itu di depan mereka.

Angga tahu, ia melihat kalau ada yang disembunyikan sama Theo.

Ponsel Leon tiba-tiba berdering, membuat ia langsung merogoh benda pipih itu di saku celananya. Setelah tahu nama dari si penelepon, Leon hanya menatapi tanpa mau mengangkat panggilan tersebut.

Melihat Leon hanya diam saja tanpa mau mengangkat panggilan itu, Liam pun bertanya, "Kenapa gak diangkat? Emangnya siapa yang telepon?"

"Divia."

Satu nama yang disebut Leon, membuat dia menjadi pusat perhatian.

"Divia? Lo… punya ce–cewek baru, Bang?" Lingga bertanya yang membuat semua pasang mata mengarah padanya. Setahunya, Divia itu murid baru seangkatan sama Leon. Sama halnya dengan Lingga, ketiga temannya pun tidak mengetahui hal tersebut. Karena setahu mereka, Leon baru saja putus dengan kekasihnya, Eliza.

"Ceweknya Leon. Kenapa?" Zayn menjawab dengan nada bicara yang terkesan malas. Iya, dia malas karena gadis incarannya sudah menjadi milik ketua sekaligus sahabatnya, Leon. Menyebalkan.

"Serius, Bang? Terus kak Eliza—" Yuda menghentikan ucapannya saat melihat Leon langsung berdiri dan beranjak. Sepertinya, saat nama itu disebut, Leon tampak sensitif dan tidak mau mendengar nama Eliza.

Liam menggeleng, mengisyaratkan Yuda untuk tetap diam. Sementara Leon, daripada banyak pertanyaan yang terus menghujaninya, ia langsung saja berjalan menjauhi teman-temannya untuk mengangkat panggilan dari Divia yang terus-terusan menelepon.

"Yon, kamu bisa ke rumah aku, gak? Aku takut, di rumah sendirian." Suara Divia dari seberang sana terdengar merengek.

"Aku lagi kumpul sama temen, Div. Gak bisa."

"Kok gitu, sih? Kamu kan sering kumpul sama temen-temen kamu tiap hari. Masa aku cuman minta waktu kamu bentar doang gak bisa? Inget, ya, kamu itu pacar aku!"

Leon memijat pangkal hidungnya. Gadis ini, benar-benar keras kepala.

"Pokoknya aku gak mau tahu, kamu ke rumah aku sekarang! Aku sharelock, nih."

Suara Divia tidak lagi terdengar saat gadis itu memutuskan panggilan. Leon meremas ponsel yang ia genggam. Ia tidak suka kalau ada yang mengganggu waktunya.

"Kenapa tuh muka? Kusut amat." Zayn bertanya saat Leon kembali menghampiri mereka. Raut wajah laki-laki itu tampak malas, entah kenapa.

"Divia nyuruh gue ke rumahnya," jawab Leon.

"Elah, baru aja jadian," cibir Daniel. "Terus, lo mau samperin tuh cewek?"

Leon mengangguk menjawab pertanyaan Daniel. Kemudian ia meraih jaket yang disimpan di sofa dan langsung memakainya. Daripada jadi panjang masalahnya, lebih baik Leon menuruti keinginan gadis itu.

"Wih, langsung diturutin, dong. Perasaan waktu lo sama Eliza, lo lebih mentingin kita."

Leon tidak merespons perkataan Zayn, ia langsung beranjak keluar dari markas. Tidak banyak yang kumpul di markas, hanya ada sekitar lima belas orang.

---

Ingar bingar jalanan ibu kota menemani perjalanan Leon malam ini. Tak butuh waktu lama bagi seorang Leon mengendarai motor untuk sampai cepat di tempat tujuan. Saat memasuki kawasan perumahan yang sepi, tiba-tiba saja ada seekor kucing hitam yang berlari menyeberangi jalan yang membuat Leon berhenti mendadak.

Suara ban motor yang beradu dengan aspal terdengar begitu memekakkan telinga. Untung saja tidak ada kendaraan lain di belakang Leon. "Sialan!" Leon mengumpat dengan degup jantung yang berdetak lebih cepat. Ia kaget bukan kepalang. Laki-laki itu jadi terdiam. "Kenapa perasaan gue jadi gak enak gini?"

Ah, mungkin ini hanya perasaannya saja. Leon bersikap apatis dan kembali melajukan motornya.

Rumah dengan nomor 413 menjadi tujuan Leon. Setelah sampai di tempat tersebut, ia langsung mematikan mesin motornya. Seorang gadis keluar dari kediamannya. Dia membuka gerbang dengan senyum yang terus terpancar menghiasi wajah gadis itu. Divia mempersilakan Leon untuk masuk ke dalam rumahnya. Saat Leon masuk, kediaman Divia tampak sepi seperti yang gadis itu katakan.

"Kamu tunggu di sini, aku mau ambil minum dulu."

Leon mengangguk mengiyakan. Ia duduk di sofa dengan mata yang terus berkeliling melihat-lihat isi dari ruangan tersebut. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi interiornya terlihat mewah.

Tak lama kemudian, Divia datang dengan satu nampan berisikan segelas jus jeruk yang gadis itu bawa. Ia menaruhnya di hadapan Leon, juga duduk di samping laki-laki itu. Melihat Leon yang sibuk sama ponsel, membuat Divia merebut benda pipih yang terus Leon pantengi tersebut.

"Aku gak suka, ya. Kalau lagi sama aku, kamu gak boleh main hp!"

Leon berdecak, main ponsel saja apa salahnya? "Div, tapi—"

Satu tangan Divia terulur dan jari telunjuknya ia tempel di bibir Leon— menutup rapat bibir tipis laki-laki itu agar berhenti berbicara. "No! Karena sekarang kamu pacar aku, jadi kamu harus nurut sama aku."

Senyum cerah menghiasi wajah Divia saat gadis itu telah mematikan ponsel milik Leon.

---

Deruman bunyi sepeda motor yang memasuki halaman markas membuat atensi beberapa orang di dalam bangunan minimalis tersebut tertuju ke pintu utama.

"Rame banget, perasaan," ujar Daniel.

Kemudian Zayn menimpali tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang sedang ia genggam. "Anak-anak pada nyusul, kali."

Teriakan banyak orang yang bersumber dari luar membuat mereka saling tatap. Begitu Bagas melihat siapa yang datang, betapa kagetnya laki-laki itu setelah tahu siapa yang membuat keramaian tercipta di halaman markas malam ini. Ia kemudian berlari kembali menghampiri teman-temannya. "Gawat, Volker datang bawa pasukan. Mereka banyakan!"

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang