55. Leopard Generasi Kedua

93 8 0
                                    

Rumah ini tampak sepi, seperti tak berpenghuni. Di depan, tertancap bendera kuning yang Theo jelas tahu bendera itu melambangkan apa. Di sana juga ada banyak karangan bunga dengan ukiran ucapan bela sungkawa. Benarkah ini kenyataan?

"Ini gue lagi mimpi, kan?" gumam Theo. Laki-laki itu masih nangkring di atas motor sport hitam milik Daniel. "Kayaknya gue salah alamat. Ini bukan rumah Leon, ini rumah orang."

Namun mau bagaimanapun, bangunan megah yang berdiri di depannya ini memanglah rumah Leon. Dia tidak salah alamat.

Lama terdiam sembari mengamati rumah itu, Theo pun bergegas pergi setelahnya.

Kaki yang tak beralaskan apa-apa itu melangkah tertatih-tatih. Sedangkan sebelah tangannya memegang dada— menahan nyeri yang kembali terasa. Di sana, dia bisa melihat ada banyak orang yang berpakaian serba hitam. Sedangkan dirinya berbeda sendiri karena mengenakan pakaian khas rumah sakit yang dikhususkan untuk pasien.

Setelah Theo berada di dekat mereka, dia bisa melihat ada banyak pasang mata yang menatap terkejut ke arahnya. Tapi Theo tidak mempedulikan itu. Dia terpaku pada satu objek di depannya. Di sana, di batu nisan itu, nama sahabatnya tertulis. Sahabat yang dia cari keberadaannya, ternyata Theo menemukannya di sini. Di dalam gundukan tanah. Sudah beda alam.

Theo menjatuhkan diri di sisi gundukan tanah yang ditaburi bunga itu. Dirinya memeluk batu nisan, sedangkan air matanya terus mengucur tanpa henti dengan bibirnya gemetar hebat. "Keluar lo! KELUAR! TEMPAT LO BUKAN DI SINI!" teriak Theo dengan suaranya yang terdengar gemetar di telinga mereka yang menyaksikan. "PENGECUT LO! LO GAK ADA MINTA MAAF SAMA GUE SETELAH KEJADIAN WAKTU ITU, HA? AYO SINI TEMUIN GUE!"

"THEO?!"

Liam, Zayn, Daniel, dan Lingga meneriaki nama Theo setelah keempatnya baru sampai di pemakaman.

Mereka ikut hanyut dalam kesedihan saat Theo menumpahkan air matanya dengan deras.

Theo menangis sejadi-jadinya.

"Ambil jantung lo! Kenapa harus lo yang pergi, ha? Kenapa bukan gue?!" teriak Theo, "keluar, Yon! Balik! Kita kumpul lagi di markas. Ayo, keluar! Ini bukan tempat lo."

Suara Theo semakin melemah. Tenaganya habis karena dia membawa motor besar untuk sampai ke tempat pemakaman umum.

Zayn berjongkok di samping Theo, menenangkan laki-laki itu. "Balik ke rumah sakit, lo masih harus—"

"Gue gak mau!" tolak Theo.

"Itu jantung Leon, dia titipin jantung itu ke lo. Kalau lo gak ngerawatnya dengan baik, lo gak ngehargain Leon!" Liam membentak. "Bukan cuma lo yang kehilangan, tapi kita semua kehilangan sosok Leon!"

Theo diam. Dia masih tidak terima kalau Leon harus pergi secepat ini.

"Makasih," ucap Theo dengan lirih, "makasih udah kasih nyawa buat gue supaya bisa bertahan hidup. Gue bodoh, karena gue gak pernah bilang tentang penyakit yang gue derita. Semua orang nganggap lo bukan siapa-siapa. Semua orang mengira kalau lo itu bisanya cuman bikin masalah. Ya, itu emang bener. Tapi semua orang gak pernah tahu, kebaikan apa yang pernah lo lakuin buat kita."

Mereka diam, membiarkan Theo mengeluarkan kata-katanya.

Theo kembali berujar, "Kita semua hutang budi sama lo. Tapi harus dengan cara apa supaya kita bisa balas budi kalau lo nya aja udah gak ada?" Theo mengusap air matanya. "Leopard tanpa lo bakal kayak apa ke depannya?"

---

Ruangan yang biasa dipakai untuk tempat berkumpul, hari ini tidak lagi terdengar suara tawa yang menggema. Di sana, di ruang tamu, mereka terdiam. Biasanya mereka akan menunggu sang ketua untuk datang. Tapi kali ini, siapa lagi yang akan mereka tunggu?

Tidak ada lagi suara Leon yang tegas. Leon yang sering tidur di sofa. Leon yang sering memarahi ketika ada siapa saja yang mengusik tidurnya. Tidak ada. Sosok itu sudah pergi, dan tidak akan pernah kumpul lagi di sini bersama mereka.

Foto Leon ditempel di dinding dengan ukuran besar. Mereka semua memandangi foto itu. Wajahnya menghadap ke kamera, bibirnya tidak mengukir senyum sama sekali. Terlihat tegas, tampan, dan berwibawa.

"Diganti, bukan berarti dilupakan. Biarpun ada orang yang gantiin posisi lo, tapi gak akan ada yang bisa jadi lo," kata Liam dengan sorot mata yang terus tertuju pada foto Leon. "Udah saatnya jabatan lo berpindah tangan. Tapi lo gak pernah nunjuk, siapa yang pantas buat gantiin lo."

"Yon, Biarpun lo udah gak ada, Leopard gak bakalan pernah padam," ujar Zayn, "lo pendiri pertama, bakalan terus ada generasi selanjutnya yang gantiin posisi lo."

Daniel menimpali, "Di penghujung masa putih abu, di masa senggang kita ini, lo udah banyak bikin cerita bareng kita. Lo itu istimewa. Dan gue, bahkan kita semua, gak bisa kayak lo."

Lama terdiam, akhirnya Theo membuka suara, "Kita pernah bikin komitmen untuk terus jalan bersisian. Berlima. Seperti jari, dia gak akan bisa menggenggam sesuatu kalau gak lengkap. Dan satu jari itu udah gak ada, tinggal sisa empat. Gimana caranya biar bisa menggenggam dengan erat?"

"Kita janji, Bang. Atas nama lo, dan untuk mengenang lo, kita akan jaga Leopard sebagai penerus lo."

Mereka semua melirik Lingga, tersenyum simpul setelahnya.

Liam tahu, siapa yang pantas buat menggantikan posisi Leon. Dia melirik Zayn, Theo, dan Daniel. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, mereka paham. Keempatnya mengangguk.

"Ucapkan selamat pada Lingga, dia yang akan gantiin Leon sebagai ketua Leopard generasi kedua," kata Liam.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang