52. Sepucuk Surat

104 8 0
                                    

"Lo langsung tidur, ya? Jaga diri baik-baik."

Setelah Eliza meresponsnya dengan mengangguk, Farel bergegas pergi dengan mobilnya meninggalkan gadis itu di depan rumah.

Eliza memandangi mobil sedan hitam itu yang kian menjauh. Pukul satu dini hari, dia baru pulang ke rumah. Sebenarnya, dia tidak mau pulang dan ingin berada di samping Leon sampai mengantarkan lelaki itu ke peristirahatan terakhir. Tapi karena Farel dan tante Liana yang memaksanya, jadilah dia menurut untuk pulang.

Berbalik badan, Eliza menemukan sesuatu yang teronggok di bawah sana, di gerbang rumahnya. Kakinya melangkah secara perlahan, sedang sorot matanya tampak sendu. Bibirnya gemetar, hatinya pun serasa dicabik.

Di sana, ada boneka panda berukuran besar yang masih terbungkus. Di sampingnya juga, ada seikat bunga tulip putih yang sudah basah terkena guyuran hujan. Berjongkok, Eliza pun memungut kedua benda tersebut. Dia kembali terisak.

Eliza tahu kenapa Leon memberikan dua benda ini. Keduanya sama-sama memiliki arti 'kedamaian'. Leon ingin berdamai dengannya, sedangkan Eliza dengan jahatnya menolak ajakan perdamaian itu. Leon ingin memperbaiki semuanya, tetapi Eliza menolak untuk bertemu dengan laki-laki itu.

Suasana malam yang sunyi, ditambah embusan angin malam yang dingin, menyegerakan Eliza untuk masuk ke dalam rumah.

Sampai dalam kamar, gadis itu memposisikan dirinya duduk di kursi depan meja belajar. Disimpannya kedua benda tersebut di meja, Eliza hanya bisa memandanginya dengan sendu. Berharap kalau si pemilik kedua benda ini masih ada di sini, di sampingnya. Selamanya.

Menangis. Hanya itu yang bisa Eliza lakukan. Dihantui rasa bersalah, dengan sesal berkepanjangan. Dia telah pergi, singanya tidak akan lagi menemani.

Gadis itu mengutuk diri, karena sikap egois terlalu menguasai hati. Dia berharap kalau waktu bisa diputar ulang, Eliza pasti akan memperbaiki semuanya. Dia akan menyambut kedatangan Leon, memaafkan kesalahannya, dan mereka akan kembali seperti sebelumnya.

Sayangnya, jarum jam tidak pernah berputar ke arah kiri.

"Aku minta maaf."

Dalam isakannya, sesekali Eliza berucap parau. Menyesali perbuatan, entah sampai kapan. Semuanya sudah terlambat. Meminta maaf pun rasanya percuma.

Tatapan Eliza terpaku pada sesuatu yang berada di dalam bungkusan boneka. Tangannya bergerak membuka pelastik yang membungkus boneka besar itu, diambilnya satu benda dari sana.

Sebuah amplop surat berwarna cokelat yang terikat tali rami.

Ternyata Leon meninggalkan ini. Eliza tidak akan tahu apa isinya kalau dia tidak membacanya. Ternyata tidak hanya satu, ada banyak surat yang Leon tulis.

Perlahan, kertas yang dibentuk menjadi persegi itu terbuka lebar. Tampak tulisan tangan yang tertoreh di sana. Tulisan yang tidak terlalu rapi dan indah, dengan memakai tinta berwarna hitam. Eliza tentu hafal dengan gaya tulisan Leon. Laki-laki itu sangat malas dengan yang namanya menulis, jadi tidak heran kalau tulisannya tidak terlihat indah.

To: My lady, Eliza Ravelina

Untukmu, perempuan cantik yang pernah membuat kisah bersamaku

El, aku masih inget waktu pertama kali aku ketemu kamu. Tatapan kamu, waktu itu, sama sekali gak bersahabat. Aku tau waktu itu kamu benci sama aku karena aku marahin kamu

Habisnya kamu ngeselin, aku jadi kalah balapan gara-gara kamu tiba-tiba nyebrang gak lihat-lihat dan bikin aku jatuh dari motor

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang