14. Dua Hati yang Sama Berharap

126 11 10
                                    

Play now: Sahabat Jadi Cinta - Mike Mohede

---

Untuk mengucapkannya, lidahku terasa kelu. Untuk menggenggamnya saja, tanganku terasa kaku. Dan untuk memilikimu seutuhnya, hati ini pun masih terasa ragu.

Sebut saja, aku adalah pecundang yang beraninya memendam perasaan tanpa mau menyatakan.

Karena aku tahu: konsekuensi mencintaimu, adalah harus siap kehilanganmu.

Karena kamu, tidak akan pernah menjadi milikku.

---

"Yo, hari ini lo ada waktu, gak? Temenin gue ke mal, yuk?"

"Kapan sih gue gak ada waktu buat lo, Na? Sesibuk-sibuknya gue, lo pasti maksa gue buat nyempetin waktu buat lo, kan?"

Ana tertawa dibuatnya. Dia memang paling senang mengganggu Theo, tak lupa untuk menyita habis waktu laki-laki itu demi menghabiskan waktu bersamanya. Menurut Ana, Theo itu orangnya baik, ramah, dan tidak pelit. Jadi Ana tidak salah kalau menjadikan Theo sebagai sahabat laki-lakinya. Hanya sebatas sahabat, tidak lebih.

Ana memutari kursi taman yang diduduki Theo untuk duduk di samping laki-laki itu yang sibuk bermain game di ponselnya. "Badan gue emang kalah semok sama cewek yang ada dalam game lo itu. Tapi kalau lo lupa, gue yang selalu ada buat lo."

Ada nada sindiran yang dilontarkan Ana, hal itu membuat Theo mengakhiri bermain game di ponselnya. Theo menghadap Ana, menatap wajah gadis itu seutuhnya. "Oh... jadi lo mau perhitungan sama gue, nih?"

"Ya abisnya, lo sering cuekin gue kalau udah main game!"

"Elah, lebay banget, lo. Gak bakal selingkuh ini, tenang aja."

"Selingkuh? Emangnya lo siapanya gue, Yo?"

Pertanyaan itu menjurus ke pernyataan. Yang memang tidak perlu diperjelas lagi, kalau Theo bukanlah orang spesial buat Ana. Theo tersenyum miris mendengarnya. Entah kenapa, dia tidak suka saat Ana berkata seperti itu. "Gue emang bukan siapa-siapa lo, Na."

"Nah, itu tahu."

Theo menegakkan badannya, menghadap ke depan—memerhatikan kupu-kupu yang menghinggapi bunga berwarna putih yang cantik. Di sini, di bawah pohon yang rindang ini, Theo duduk berdua bersama Ana. Lagi.

"Gue mau tanya sesuatu sama lo."

Theo yang berkata tampak serius, berbeda dengan Ana yang sibuk mengunyah camilan yang dia beli di kantin. "Tanya aja. Selagi gue bisa jawab, ya gue jawab," balas Ana.

"Mungkin gak sih, kalau misalnya ada cowok sama cewek 'sahabatan' udah lama, tapi mereka gak nyimpen perasaan? Maksudnya, keduanya gak saling suka. Menurut lo... gimana?"

Ana menelan makanan terakhirnya. Sebelum menjawab pertanyaan dari Theo, dia membasahi tenggorokannya yang tampak seret dengan air mineral. "Ya... mungkin aja, sih. Tapi emang beneran ada, kok. Sahabatan sama lawan jenis dengan waktu yang gak sebentar tanpa menyimpan perasaan satu sama lain. Kayak... gue sama lo."

Theo memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia pun tertawa, tawa yang dia buat hanya untuk meyakinkan kalau hatinya kuat. "Lo bener, kita kan emang gak saling suka. Iya, kan? Mana mungkin gue suka sama lo, Na."

---

Raganya di kantin, tapi pikirannya berkelana memikirkan hal lain. Perkataan Theo sangat menyinggung hati Ana. Sedari tadi dia sibuk melamun karena memikirkan lelaki itu.

"Na, lo dengerin gue gak, sih? Dari tadi lo ngelamun terus!"

Lamunan Ana seketika buyar saat tangan Adel melambai di depan wajahnya. Matanya mengerjap, dia celingukan ke sana-kemari seperti orang bingung. "Eh, emangnya lo ngomong apa, Del?"

Adel mendengkus kesal. Dia berbicara panjang kali lebar, ternyata sama sekali tidak masuk ke telinga Ana. Menyebalkan! Kendati demikian, Adel kembali bertakata, "Lo lihat meja yang ditempati sama Leon dan yang lain!"

Ana mengikuti arah tunjuk Adel. Di sana terdapat lima laki-laki yang memang sering bercokol di meja kantin, di dekat pedagang bakso, pun dengan salah satu sahabat Ana dan Adel juga ada di sana, Eliza. Dan, ditambah satu perempuan asing yang ikut duduk di sana.

"Eliza kan pacarnya Leon, jadi dia pantes buat gabung sama anak Leo," kata Adel. "Nah, kalau itu anak baru, emangnya dia siapa sampai berani gabung sama mereka? Gak malu apa?"

Sedari tadi Adel memang memerhatikan meja yang ditempati sama Leon dan teman-temannya. Tapi Adel agak risi saat ada satu perempuan yang gabung dengan mereka. Biarpun Adel tidak suka sama komunitas yang Leon dirikan itu, tapi Adel lebih tidak suka saat melihat perempuan centil yang menghampiri laki-laki lebih dulu.

Bukannya melirik perempuan yang Adel maksud, justru Ana mendapati Theo yang diam-diam memerhatikan gadis itu. Entah kenapa, ada perasaan tidak suka saat Theo menatap anak baru itu dengan intens.

Mana mungkin gue suka sama lo, Na

Perkataan Theo sewaktu di taman, kembali berputar di otak Ana. Seketika Ana paham, ada gadis lain yang Theo suka. Lantas, kenapa waktu itu Theo mengajaknya untuk makan malam di rumah laki-laki itu?

"Eh, Na. Lo mau ke mana?!" Adel berteriak saat Ana tiba-tiba saja beranjak pergi. Entah kenapa sama temannya yang satu itu. "Sialan, gue ditinggalin sendirian!"

---

Motor sport hitam berhenti di hadapan Ana yang tengah berdiri di halte. Dia sama sekali tidak menginginkan orang ini ada di sini, di dekatnya.

"Gue cariin ke mana-mana, tahunya di sini. Buruan, naik!"

Ana tidak mengindahkan perkataan Theo. Dia sibuk celingukan—mencari angkutan umum yang akan melewati halte.

"Na, lo nunggu apa lagi, sih? Ayo, naik. Gue tinggal, nih," ajak Theo sekali lagi. Biasanya, Ana akan datang ke kelasnya kalau Theo belum menjemput gadis itu untuk pulang bareng, tapi sekarang Ana justru malah meninggalkan Theo.

"Tinggalin aja, gue bisa kok pulang sendiri," balas Ana.

Suasana hati Ana sedari tadi sedang tidak baik-baik saja. Untuk saat ini, dia mau menjauhi Theo. Mungkin sampai lulus nanti. Niatnya, dia hanya ingin tidak melibatkan laki-laki itu lagi di setiap urusannya. Karena perkataan Theo berhasil menampar Ana keras-keras kalau perasaannya tidak terbalas.

"Lah, biasanya juga lo mohon-mohon kalau gue ancem gitu. Lo kenapa, sih?"

"Gue mau naik angkot aja.
Kasihan motor lo, nanti turun mesin kalau gue diboncengin sama lo terus."

Theo semakin tidak mengerti apa yang dimaksud sama gadis ini. Dia pun akan menggunakan cara lain untuk mengancam Ana. "Kalau gitu, gue gak jadi temenin lo belanja di mal."

Perkataan Theo berhasil memancing Ana untuk menoleh padanya. Theo tersenyum kemenangan karena ancamannya berhasil.

"Lagian, gue gak jadi ke mal. Tiduran di rumah lebih nyaman, daripada harus pergi ke luar. Karena kalau cuma bikin nyaman doang, kasur gue juga bisa."

Andai Theo paham dari maksud perkataan Ana yang menyindirnya, Theo juga pastinya paham kalau suasana hati Ana sedang tidak baik itu karenanya.

Mimik wajah Theo menampilkan kebingungan. Kenapa pikiran Ana tiba-tiba berubah seperti ini? Tadi saja dia memaksanya untuk menemani ke tempat pusat perbelanjaan, dan sekarang?

Angkutan umum yang sedari Ana tunggu, akhirnya tiba jua di depannya. Dia pun menaiki alat transportasi tersebut. Meninggalkan Theo yang menatap bingung kepergiannya.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang