54. Sadar

109 8 1
                                    

Bendera kuning sudah tertancap di depan gerbang. Orang-orang pun berbondong saling berdatangan. Sementara itu, di dalam rumah, isak tangis tak kunjung reda. Semuanya dirundung pilu. Sebab yang meninggal, tak pernah memberi tanda pada yang ditinggal.

Raga tanpa nyawa itu berada di tengah-tengah antara banyaknya orang-orang berpakaian serba hitam. Kain batik menutup keseluruhan tubuhnya, sedangkan kain putih yang nerawang menutupi wajahnya.

Kepergiannya menciptakan luka yang mendalam. Menyelimutkan kesedihan pada orang yang ditinggalkan.

Tak lama kemudian, semua orang berbondong-bondong keluar. Beberapa orang membawa peti yang berisikan mayat dari seorang pemuda tampan. Rumah megah ini, sangat disayangkan kalau penghuninya satu per satu pergi meninggalkan. Kini, tersisa Liana sendirian.

Puluhan kendaraan berjajar rapi. Semuanya siap mengantarkan manusia tak bernyawa itu ke tempat peristirahatan. Perlahan, kendaraan itu melaju dengan diiringi tangis sendu.

Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di tempat berkumpulnya raga tanpa nyawa yang ditempatkan di dalam lobang.

Siap tidak siap, mereka harus rela melepaskan.

"Jangan tinggalin Mama! Mama gak mau kamu pergi, Naaak!!!"

Suara wanita yang berteriak itu terdengar gemetar. Tangisnya tak kunjung reda, dia pun belum siap untuk merela.

"Jeng, yang sabar. Biarkan Leon tenang di sana."

Seorang wanita yang seumuran dengan Liana pun menenangkan. Tapi Liana terus berontak, tak terima kalau harus ditinggal sang anak.

Ada banyak murid juga guru dari SMA Maheswari yang datang mengantar Leon ke pemakaman. Mereka pun merasakan hal yang sama, kehilangan.

Sosok itu merupakan sosok yang selalu jadi sorotan. Si pembuat masalah, kini telah pergi meninggalkan.

Bunga berwarna-warni sudah ditabur di atas gundukan tanah. Nama 'Leonardo Adiwalaga bin Ranu Adiwalaga' tertulis di batu nisan yang tertancap di gundukan tanah tersebut.

Semuanya selesai, si pemeran utama sudah mengakhiri cerita hidupnya.

"Saya Liam. Atas nama Leonardo Adiwalaga, saya mewakilkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya. Maafkan semua kesalahan yang sudah Leon perbuat."

Semua orang mengerubungi pemakaman yang masih basah itu. Mengirim doa pada Sang Pencipta, meminta agar almarhum ditempatkan di surga-Nya.

"Selamat jalan, kawan. Sampai kapan pun, semua tentangmu tidak akan pernah kami lupakan. Meski alam kita sudah beda, percayalah, kami akan menempatkanmu di hati kami. Sahabat, uluran tanganmu yang sudah membantu kami, kami ucapkan terima kasih. Rangkulan hangatmu yang pernah menenangkan kami, akan kami balas dengan doa, meminta pada-Nya, agar kamu ditempatkan di sisi-Nya. Leonardo Adiwalaga, pendiri dan ketua Leopard, singanya Leopard, sahabat kami, keluarga kami, semoga kamu tenang di sisi-Nya."

Saat Liam menuturkan itu, mati-matian mereka menahan isak tangis.

Baru saja Liam akan menabur bunga, ponsel laki-laki itu berdering. Nomor yang asing menghubunginya.

"Dengan kerabat dari pasien atas nama Tristan Theo Adelard?"

Suara perempuan yang tidak Liam kenali masuk ke telinganya setelah dia menerima panggilan itu. Liam pun menjawab, "Iya, saya temannya."

"Pasien atas nama Theo, sudah sadar dan sudah kami pindahkan ke ruang rawat. Terima kasih."

Dari gelagat Liam yang terlihat buru-buru, membuat Bagas bertanya, "Siapa yang nelepon lo, Bang?"

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang