46. Membungkam Lawan

60 8 0
                                    

Mereka semua yang berada di dalam markas menoleh pada pintu utama saat pintu itu didorong dengan paksa. Di sana, berdiri seorang laki-laki yang langsung membuat anggota Leopard serempak berdiri. Ternyata, laki-laki itu tidak sendiri, dia membawa banyak pasukannya.

"Wow!" Zayn bertepuk tangan, dia pun berjalan mendekati Robin dan matanya kembali menatap Divia. "Luar biasa, ternyata lo masih sempatnya ngundang mereka, Div."

Berbeda dengan Zayn, anggota Leopard yang lain justru berseru marah.

"Tapi gak apa, ide bagus. Kita bisa selesaikan semuanya sekarang juga," kata Zayn.

"Gak usah bawa-bawa Divia!"

Semua mata tertuju ke Robin yang masih berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu terlihat marah. Lihat saja, tangannya sampai terkepal.

"Rencana kalian selesai, dan lo semua berhasil memecah belah Leo," ujar Leon. "Dan cewek ini," dia menunjuk Divia, "gue gak sudi lihat dia ada di Mahes lagi."

"Leon." Divia menggeleng. Dia tidak suka saat Leon berbicara seperti itu. "Gue—"

"Menjauh dari gue!" perintah Leon dengan penuh penekanan. "Mulai hari ini, udah gak ada apa-apa lagi antara lo sama gue."

Lagi, Divia menggeleng. "Nggak. Gue gak mau putus sama lo!"

Robin yang mendengarnya, tentu saja dia terkejut. "Div, lo apa-apaan, sih?!"

Melirik Robin sekilas, kemudian Divia memusatkan pandang pada Leon sepenuhnya. "Gue emang sekongkol sama mereka buat hancurin lo semua. Tapi gue tulus sama lo. Gue sayang sama lo, Leon. Please, jangan tinggalin gue."

Leon menyingkirkan tangan Divia saat gadis itu menyentuhnya.

"Robin kakak gue, gue tentu terima perintah dia. Awalnya gue setuju buat hancurin lo, tapi setelah ketemu lo secara langsung, gue langsung jatuh cinta sama lo."

Mereka semua terkejut mendengar penuturan dari Divia. Kakak? Oh, ayolah! Sampai kapan semesta terus bercanda?

"DIVIA!!!" Robin berseru marah. Apa-apaan adiknya ini? Tidak ingatkah dia sama kesepakatan yang sudah mereka rencanakan? Cinta? Tidakkah ada lelaki lain selain Leon yang merupakan musuh Robin?

"Gue gak mau kehilangan Leon, Bang!" tegas Divia.

Leon yang mendengar itu, dia tersenyum sinis. Dia saja enggan menatap perempuan ini. Tidak mau kehilangan? Lucu sekali.

Robin berjalan mendekati Divia— menarik gadis itu ke dekapannya. Tapi tatapan Robin terus tertuju ke Leon. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Robin pun bertanya, "Jadi, kapan mau sungkem di kaki gue? Gue masih inget ucapan lo waktu itu."

Mendengar itu, Zayn meludah. "Gak akan pernah kita semua sujud di kaki lo!"

Tak menggubris perkataan Zayn, Robin hanya berfokus pada Leon. Tak disangka, laki-laki itu berjalan ke arahnya yang membuat Robin tersenyum penuh kemenangan.

Pergerakan Leon yang menghampiri Robin, membuat anggota Leopard yang lain tidak percaya. Seperti Liam, dia pun berseru, "Yon, lo apa-apaan, sih?!"

Leon tak menggubris mereka, karena sekarang posisinya sudah berhadapan dengan Robin. Bibirnya melengkungkan senyuman, seperti tidak ada beban atas perkataan Robin barusan.

Menyingkirkan Divia agar menjauh darinya, Robin pun mengikis jaraknya dengan Leon. Keduanya saling beradu pandang dengan tatapan yang masing-masing tersirat akan kebencian.

"Lo bakal sujud di kaki gue, kalau gue berhasil hancurin Leo," ujar Robin. "Dan sekarang, gue bisa buktiin kata-kata lo, kalau Leo bisa dengan mudah gue hancurin."

Tawa menggema setelahnya, tawa yang bersumber dari komplotan Robin. Tawa meledek yang membuat anggota Leopard marah besar.

Zayn kembali teringat dengan Theo, laki-laki itu tidak ada di sini. Mengingat kejadian waktu itu yang hampir merenggut nyawa sahabatnya, Zayn beranjak mendekati Robin. "Lo—"

Pergerakan Zayn terhenti saat Leon menahannya.

"Biar ini jadi urusan gue," kata Leon dengan sorot mata yang masih tertuju ke Robin.

Divia tidak bisa kalau harus terus berada di sini dengan keadaan yang seperti ini. Dia takut, takut kalau mereka akan melakukan sesuatu yang mengancam nyawanya karena Divia adalah satu-satunya perempuan yang berada di markas Leopard. "Bang, mending kita—"

"Kalau lo takut, lo mending keluar dari sini. Robin gak butuh petuah dari lo, Divia."

Divia menoleh pada Martin yang barusan mengatakan demikian. Dilihatnya Leon dan Robin, mereka berdua sama-sama sudah dikuasai amarah. Divia tidak tahu harus melakukan apa.

Leon kembali membuka suara, "Gue gak mungkin lupa sama kata-kata gue yang waktu itu."

Robin tersenyum puas mendengarnya.

"Lo mau gue sujud di kaki lo, kan?"

Tercengang atas penuturan Leon, anggota Leopard tentu marah mendengarnya. Mereka berseru tidak terima kalau sampai Leon melakukan hal tersebut. Robin, tidak adakah makhluk paling menjijikkan selain manusia satu itu?

Leon menutup telinga, tidak memedulikan protes dari teman-temannya. Sedangkan Robin, dia memamerkan senyum penuh kemenangan pada pasukannya yang dibalas senyum menyeringai dari mereka.

Atmosfer semakin memanas saat kaki Leon selangkah maju mendekati Robin, tidak menyisakan sedikit pun jarak di antara keduanya. Anggota Leopard yang berseru marah, berbanding terbalik dengan anggota Volker yang justru menunggu hal ini akan terjadi.

Raja jalanan yang merupakan predikat yang disematkan untuknya, membuat Robin tidak ingin melepas predikat tersebut untuk orang lain selain dirinya. Siapa pun orang yang sudah merebut kekuasaannya, tidak akan pernah Robin membiarkan hidup orang itu menjadi tenang. Sebentar lagi, sesuatu yang ia nanti-nanti akan segera terwujud. Menyaksikan kekalahan Leon, dan mendengar penuturan dari laki-laki itu kalau dia kalah. Menyenangkan sekali, bukan?

Tak sedikit pun Leon mengalihkan pandang dari Robin. Dia bisa melihat ada kesenangan di balik senyum laki-laki itu. Bersenang-senang saja dulu, lihat apa yang akan Leon lakukan selanjutnya.

Fantasinya sirna seketika saat Leon justru melayangkan pukulan pada wajahnya. Robin berseru marah, tidak terima atas tindakan Leon.

Harusnya mereka tidak cemas perihal ini, sebab Leon selalu ada cara untuk mengelabui lawan. Mereka senang, karena Leon memilih untuk tetap mempertahankan martabat dibanding harus merusaknya hanya demi sujud di kaki Robin.

Leon berjongkok dan mencengkeram kerah jaket Robin. "Gak cuma lo yang bisa junjung tinggi harga diri. Dan buat sungkem sama lo, itu gak akan pernah gue lakuin. Lo emang berhasil ngalahin Leo, lo juga berhasil jebak gue, tapi buat memecah belah kita semua, apa lo sanggup?"

Robin bergerak-gerak minta dilepaskan, tapi Leon tidak akan membiarkan mangsa berlari dari cengkeramannya. Di sudut bibir Robin, ada darah yang membuat Leon tersenyum puas.

Leon kembali berkata, "Leon dan Leopard. Sekelas singa, yang gak akan pernah bertarung dengan seekor tikus yang menjijikkan. Lo harusnya tahu, sama siapa lo berhadapan. Dan harusnya lo juga tahu, slogan yang kita buat, bukan semata hanya kata-kata biasa."

Robin masih diam, tapi matanya masih bersitatap dengan Leon.

"Gue gak haus jabatan, gue gak haus ketenaran, gue juga gak butuh diapresiasi kalau gue bisa ngalahin orang yang dijuluki raja jalanan. Lo boleh nguasain jalan, bahkan dunia sekalipun. Tapi kalau lo mau nguasain diri buat jadi pemecah belah Leo, bangun! Mimpi lo ketinggian."

Leon bangkit berdiri, seraya menepuk-nepuk telapak tangan seperti telah memegang sesuatu yang menjijikkan. Melihat lawan yang hanya diam, Leon tersenyum kemenangan.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang