16. Satu Rahasia

106 10 7
                                    

"Emang kurang ajar ya itu cewek! Pengen gue tampol rasanya itu muka songongnya itu!" Adel mengepalkan tangannya. Membayangkan wajah Divia selalu membuatnya tersulut emosi.

Eliza menceritakan tentang apa yang dia lihat barusan pada kedua sahabatnya. Sekarang pun, dia tengah menangis di dekapan Ana.

"Harusnya Leon nyamperin lo buat jelasin, kok dia gak dateng ke sini?"

Ana benar, harusnya Leon datang untuk menjelaskan kalau memang ini hanya kesalahpahaman. Tapi, ke mana laki-laki itu? Eliza tidak melihat dia datang ke kelasnya.

"Udah, biar gue samperin aja cowok lo, El! Gue emang gedek sama itu cowok badung!"

"Del, lo apa-apaan, sih?!" Ana membentak Adel yang bersiap untuk beranjak. "Sok-sokan mau nyamperin Leon, gue tahu kalau lo pasti takut kalau udah di depan dia."

"Kalau lagi di situasi kayak gini, gue gak kenal kata takut, Na!" Adel membentak Ana balik. "Sekalian juga gue mau samperin anak baru yang sok kecakepan itu!"

"Del, gak usah." Eliza kembali duduk sempurna. Rambutnya sebagian menempel di wajah gadis itu, sedang matanya tampak sembap.

"Tapi, El—"

"Del," tegur Eliza yang membuat Adel pasrah. "Ini masalah gue sama Leon, lo gak perlu turun tangan. Makasih karena lo udah peduli, tapi gue gak mau semuanya tambah kacau kalau lo ngelakuin ini."

"Ya udah iya, gue minta maaf," ucap Adel. "Ya, tapi, gue kesel banget sama itu cewek! Siapa sih dia?"

Sebenarnya, Ana juga merasakan hal yang sama dengan Adel. Perempuan itu, tidak hanya Leon, tapi Theo juga kepincut sama anak baru itu. Siapa pun namanya, Ana tidak menyukainya.

---

Derit roda yang beradu dengan lantai, memasuki gendang telinga seorang laki-laki yang berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit. Langkahnya pun kalah cepat sama beberapa petugas medis yang mendorong brankar dan juga ada pasien di atas brankar tersebut.

Beberapa ada yang hilir mudik; ada juga yang tertidur di kursi tunggu; bahkan dia sempat mendengar suara tangis sendu.

Tangan kanannya bergerak membuka pintu. Di balik pintu tersebut, ada seorang laki-laki dengan jas putih yang melekat di tubuhnya— tengah sibuk bergelut dengan sesuatu. Sepertinya, orang itu belum menyadari keberadaannya. Barulah pria yang diperkirakan berumur 40 tahunan itu mendongak saat laki-laki yang mengenakan seragam khas SMA menarik kursi hingga menimbulkan bunyi.

"Saya sudah tebak kalau kamu akan ke sini," kata dokter itu tanpa menatap orang di hadapannya.

"Dan tebakkan Anda benar."

Dokter laki-laki itu terkekeh. Dia mengenyampingkan urusannya yang sibuk berkutat dengan kertas— memilih menghadap seorang remaja laki-laki yang memang sering datang menemui. "Apa keputusan yang akan kamu ambil?"

Telunjuk laki-laki itu mengetuk di dagu—tanda kalau dia tengah berpikir. "Sepertinya... saya tidak mengambil keputusan. Oh, maksudnya, saya tidak bisa memutuskan tawaran dari Dokter. Karena saya sudah punya keputusan sendiri."

Helaan napas terdengar keluar dari mulut dokter itu. Dia menatap remaja di depannya yang bahkan bersikap seperti bodoh amat terhadapnya. "Saya sudah sering kali memperingati kamu, tapi kamu tidak pernah mendengar perkataan saya. Apa kamu tahu, risiko apa yang akan menimpa kamu ke depannya?"

"Saya hanya tidak mau merepotkan banyak orang. Jadi masalah ini biar saya yang tanggung sendirian."

Dokter itu hanya geleng-geleng kepala. Memberi petuah sama anak ini pun rasanya percuma. "Mau sampai kapan kamu menyembunyikan ini? Kondisimu saja sudah dibilang kurang baik, bahkan jauh dari kata baik."

"Dok—"

"Kami sudah berusaha mencari jantung yang cocok buat kamu, tapi tidak pernah ketemu. Kamu harus melakukan transplantasi jantung secepatnya, kalau tidak—"

"Nyawa saya taruhannya. Iya, kan?"

---

Siaran di televisi kalah berisiknya dari suara-suara yang banyak bersemayam di kepalanya. Tatapannya tampak kosong, tidak seperti benaknya yang penuh memikirkan permasalahan-permasalahan. Tak terasa, dia sampai menitikkan air mata.

"Gue belum siap kalau harus kehilangan semuanya."

Tangan kanannya menggenggam sebuah amplop berwarna putih. Benda yang selama ini dia simpan rapi tanpa ada yang mengetahui. Karena isi dari benda tersebut, rahasianya yang ia simpan rapat akan menyebar luas tanpa celah apabila ada yang menemukannya. Jangan sampai, dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Lamunannya seketika buyar saat pintu kamar terbuka. Di sana, berdiri seorang wanita yang membawa segelas cokelat panas dengan senyum merekah yang terukir di wajahnya.

Segera, dia pun menyembunyikan benda yang dipegangnya tadi di bawah bantal di dekatnya. Tangannya menyapu pipinya yang basah. Sedang bibirnya menyunggingkan senyuman, menyambut kedatangan wanita itu yang dengan pelan berjalan ke arahnya. "Mama belum tidur?"

Segelas cokelat yang dibawanya, wanita itu simpan di atas nakas. "Malam ini Mama gak bisa tidur. Kenapa, ya?"

Laki-laki itu bergeser—memberi sebagian tempat untuk sang mama duduk di dekatnya. Tanpa diminta pun, wanita itu langsung duduk.

"Mama kayaknya kecapekan," kata lelaki itu. "Mau aku pijitin?"

"Nggak perlu, Sayang."

Keheningan meraja hingga beberapa menit. Namun wanita itu meredamnya dengan berkata, "Gak tahu kenapa... akhir-akhir ini perasaan Mama jadi gak enak. Mama takut, takut kalau akan terjadi sesuatu."

Tangan laki-laki itu bergerak untuk menggenggam tangan sang mama. "Selagi ada aku, Mama gak perlu takut." Aku juga takut, Ma. Takut kalau nanti gak bisa lagi ada di samping Mama


Wanita itu pun menyunggingkan senyum, tak lupa untuk memberi kehangatan dengan mengusap surai putranya dengan lembut. "Kalau gitu, Mama tidur dulu, ya? Kamu tidurnya jangan malem-malem."

Mengangguk satu kali, laki-laki itu kemudian berujar, "Siap, Ibu Negara!"

Keduanya tertawa ringan. Tawa itu langsung redam saat wanita tersebut pamit untuk keluar, "Tidur yang nyenyak, jangan lupa baca doa." Setelahnya, dia pun berlalu keluar.

Pintu kamarnya sudah tertutup rapat. Tinggal dia sendiri di dalam kamar. Dari dalam kamar itu, dia menumpahkan air matanya. Lagi.

"Maaf. Gue nyembunyiin ini dari kalian semua. Gue rasa, ini yang terbaik."






LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang