15. Salah Paham

129 11 9
                                    

Play Now: Do It Have to Cry For You - Nick Carter

---

Karena sedang mengadakan ulangan harian, suasana kelas tampak hening. Sesekali terdengar desisan dari murid-murid kelas 12 IPS 1 yang meminta jawaban pada temannya. Ada juga yang memang mengisi soal dengan asal-asalan karena soal tidak dapat dimengerti. Bukan soalnya yang tidak dapat dimengerti, mereka saja yang tidak bisa mengisinya.

Ini yang Theo benci, menghitung jumlah uang tanpa ada uangnya. Pelajaran Ekonomi adalah pelajaran yang laki-laki itu tidak suka. Selain gurunya yang killer, mata pelajaran ini juga membingungkan.

Soalnya tidak banyak, hanya sepuluh soal saja. Tapi satu soal, isinya bisa sampai satu lembar jawaban. Iris Pak Mamat bergerak liar melirik ke sana-kemari, barang kali ada murid yang melanggar peraturannya. Guru yang berambut hitam dan sedikit uban itu berjalan ke setiap jajaran. Membuat siapa pun tidak bisa bergerak.

"Waktunya tersisa dua puluh menit lagi. Kerjakan pakai tangan, bukan mulut! Jawaban tidak boleh diacak, dan tidak boleh ada yang mengisinya dengan pensil."

Rasanya, Zayn ingin cepat-cepat lulus saja kalau seperti ini. Pak Mamat ini, selain galak, dia juga punya peraturan saat belajar. Contohnya saja seperti yang tadi beliau sebutkan.

"Daniel Cakra Darius!"

Saat nama itu disebut Pak Mamat, membuat banyak kepala yang menoleh ke arah si pemilik nama. Daniel terlihat tegang, dia menunduk karena gelagatnya diketahui Pak Mamat.

"Mencontek sama saja dengan mencuri. Kamu mau belajar mencuri, ha?!" Pak Mamat menghampiri meja Daniel. Tidak segan-segan, beliau menyobek lembar kertas yang berisi soal dan jawaban milik Daniel.

Sementara si pemilik kertas tersebut, wajahnya tampak pucat. Tamat sudah riwayatnya, jawabannya saja dia lihat semua dari Liam. Kalau begini caranya, dia harus menulis ulang, dong? Sedang waktunya tinggal tersisa sedikit.

"Liam Geraldy. Jangan mentang-mentang Daniel ini teman kamu, kamu seenaknya saja kasih dia contekan!" bentak Pak Mamat. Kemudian beliau melirik Daniel kembali. "Ambil soal di depan, isi kembali tanpa harus melihat punya orang!"

Mengangguk satu kali, Daniel pun beranjak dari kursi untuk mengambil kertas soal yang akan diisi kembali.

Belum ada setitik pun goresan tinta hitam yang Leon torehkan di kertas. Melihat soalnya saja, dia sangat mual. Harapannya untuk bisa mengisi soal-soal ini cuma Liam, Daniel saja kena marah, bagaimana jika nanti dirinya juga dimarahi sama Pak Mamat?

Liam itu selain kalem, dia juga tidak seperti teman-temannya yang kurang peduli akan pelajaran. Tidak rajin, tapi Liam sedikit menyisakan waktu untuk belajar. Karena dia berprinsip: 'Berbuat nakal sepuasmu, tapi jangan pernah lupakan tugasmu sebagai pelajar.'

Pak Mamat sudah kembali ke tempat duduknya. Melihat Leon yang tampak kebingungan, Divia berinisiatif untuk memberikan jawabannya tanpa harus ketahuan sama guru killer tersebut.

Mendengar ada orang yang berdesis di sebelah kirinya, Leon menoleh. Sebelah alisnya terangkat saat ternyata Divia yang memanggilnya. Gadis itu menyodorkan kertas, tapi Leon menolaknya. "Gak perlu. Lo gak lihat Pak Mamat tadi marahin Daniel?" tanyanya dengan volume suara yang kecil.

"Mumpung guru itu gak ngelihat, buruan ambil!" Divia memaksa Leon untuk mengambil lembar jawabannya, tapi Leon malah membantah.

"Gak—"

"LEON! DIVIA! KELUAR, DAN GAK USAH IKUT ULANGAN HARIAN PELAJARAN SAYA!!!"

Bak suara petir, suara Pak Mamat menggelegar memenuhi ruangan kelas. Sementara dua orang yang namanya disebut, langsung diam mematung.

Leon menatap tajam pada Divia. Dia sudah memperingatinya untuk tidak memberikan contekan. Meski niat gadis itu baik untuk membantunya, tapi tetap saja, ini Pak Mamat— guru yang tidak kenal kata 'toleransi'. Itu artinya, Leon tidak akan mendapat nilai ulangan harian di mata pelajaran Ekonomi. Ini semua gara-gara perempuan itu! Leon pun beranjak keluar dari kelas.

"Leon, gue minta maaf."

Berulang kali, di sepanjang jalan, Divia terus mengucapkan kata 'maaf' ke Leon. Sedangkan laki-laki itu tidak berhenti berjalan, melirik Divia pun tidak. Dia kesal.

Divia berhasil menghentikan langkah Leon dengan mencegahnya di tangga, namun Leon menepis tangannya. Saat Leon akan melewati Divia, tiba-tiba saja kaki gadis itu terpeleset dan Leon dengan sigap menahan badannya. Jantung Divia berdebar dua kali lebih cepat, apalagi saat ini dia berhadapan langsung dengan Leon dengan jarak antara wajahnya dengan Leon hanya beberapa senti saja.

Mata Leon dan Divia saling beradu pandang, sedang posisi mereka masih sangat dekat. Seperti adegan di film kisah romansa.

Dari jarak dekat, Leon bisa melihat binar mata gadis ini yang tampak menyejukkan—seakan menghipnotis dirinya untuk tidak mengalihkan pandang. Leon harusnya sadar, ada sepasang mata yang menyorotnya dengan sorot kecewa. Dia berada di bawah tangga, tepat di depan Leon yang memeluk Divia.

"Leon...?"

Suara yang begitu familier masuk ke gendang telinga Leon. Seketika dia sadar kalau posisinya sangat dekat dengan Divia, Leon pun menjauh dari gadis itu. Dari jarak yang terhalang lima undakkan anak tangga, Leon melihat Eliza berdiri yang menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat Leon pahami. "Eliza?"

Eliza membuang muka, dia pun berlari ke lain arah. Niatnya yang akan kembali ke kelas setelah dari toilet, tapi melihat kejadian tadi membuat hati Eliza tercabik-cabik. Di jam sekarang yang harusnya digunakan buat belajar, kenapa Leon dan Divia berpelukan di tempat yang sepi ini?

"Eliza, tunggu!" teriak Leon. Dia pun berlari guna menyusul gadisnya.

Sedangkan Divia yang melihat drama barusan, dia tersenyum menyeringai. "Selamat menikmati pertengkaran. Semoga berantemnya nyampe putus. ups."

---

"El, tunggu!" Leon berhasil meraih tangan Eliza, namun gadis itu menepisnya. "El, ini gak seperti yang kamu lihat."

"Apanya? Aku lihat dengan jelas, Yon! Kamu peluk dia!" Mata Eliza memanas, meski kalah panas dengan hatinya. Detik itu juga, air mata Eliza meluruh, namun gadis itu langsung menyapunya.

"Eliza, kamu salah paham, Sayang. Aku cuma—"

"Salah paham apa lagi? Aku jelas lihat kamu peluk dia, Leon!"

"El—"

"Aku kecewa sama kamu!"

Pertengkaran itu terjadi hanya sebentar karena Eliza memutuskan untuk pergi. Sedangkan Leon, dia tidak tahu harus melakukan apa. Ini hanya salah paham, tidak seharusnya Eliza marah. Eliza, tunggu, Leon akan menjelaskan.

Baru hendak melangkah, tangannya ada yang menahan. Leon menoleh, Divia datang menahannya yang akan mengejar Eliza. "Apa lagi, sih?!" bentak Leon.

"Kalau dia sayang sama lo, harusnya dia gak marah. Dan harusnya dia ngerti kalau ini cuma salah paham. Udah, lah, biarin dia tenangin dirinya sendiri. Kalau lo samperin dia, nanti yang ada cewek lo tambah kacau."

"Ini bukan urusan lo!"

"Yon, gue cewek. Sesama cewek, gue lebih ngerti daripada lo. Cewek lo cuma butuh waktu buat sendiri."

Mungkin Divia benar, Eliza hanya ingin sendiri tanpa ada gangguan darinya.

Melihat Leon yang hanya diam saja, Divia tersenyum senang penuh kemenangan. Lelaki ini, mudah sekali dibodohi.





LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang