42. Berbagi Luka

75 11 0
                                    

Berita tentang Theo yang masuk rumah sakit, tentu sampai ke telinga Ana. Ana tidak menyangka, Theo yang terlihat baik-baik saja, tiba-tiba saja memberikan kabar buruk kalau dirinya dirawat.

Derap langkah kaki saling bersahutan— mengimbangi Langkah Ana. Kelas demi kelas dia lewati hanya untuk sampai pada satu tujuan. Kaki gadis itu melangkah cepat, sedang mimik mukanya tampak sekali khawatir. Dalam benaknya, ribuan pertanyaan hinggap di sana. Tentang bagaimana kabar Theo, dan kenapa laki-laki itu sampai masuk rumah sakit. Dan banyak lagi pertanyaan yang belum dia dapatkan jawabannya.

Terakhir bertemu Theo, saat malam di acara camping. Terakhir kali juga Theo mendekapnya untuk menyalurkan kekuatan.

Ada salah seorang sahabat Theo yang berjalan di lorong yang berlawanan arah dengan Ana.

"Liam?"

Panggilan dari Ana menghentikan langkah Liam, tepat di depan gadis itu. Liam bisa membaca dari raut wajah Ana kalau gadis itu tampak sekali khawatir. Liam tahu kenapa Ana memanggilnya. "Ikut gue!"

Langkah lebar Liam mendahului Ana yang langkahnya tentu tidak setara dengannya. Satu tempat yang memang dirasa cocok untuk berbicara berdua, Liam memilih taman sekolah.

"Gue mau nanya—"

"Theo, kan?"

Ana mengangguk. Tebakan Liam tepat sasaran. Gadis itu masih berdiri di samping Liam yang sudah mendaratkan bokongnya di kursi. Barulah, ketika Liam menyuruhnya untuk duduk, Ana duduk di samping lelaki itu. Berdekatan dengan Liam, Ana merasa sangat canggung. Berita tentang Liam yang anti perempuan ini sudah menyebar luas, dan Ana mengetahui itu. Entah, Ana tidak tahu alasan kenapa Liam tidak mau berinteraksi dengan yang namanya perempuan.

Tempat ini, tempat yang jadi paforit Ana dengan Theo. Ana rindu suasana dulu. Saat dia dan Theo masih baik-baik saja.

"Apa lo udah tahu tentang Theo yang masuk rumah sakit?"

Pertanyaan yang terlontar dari Liam membuyarkan lamunan Ana. Lantas gadis itu menoleh dan mengangguk, namun Liam tidak juga meliriknya.

"Siapa yang gak tahu? Seantero sekolah juga lagi rame ngomongin dia." Terakhir mereka berkomunikasi itu saat sebelum Ana menyatakan perasaannya pada Theo. "Gue udah lost contact sama Theo. Karena sekarang, gue sama dia udah gak kayak dulu lagi."

"Lo orang yang paling deket sama Theo, harusnya lo sadar satu hal."

Kening Ana mengkerut, tentu saja. Dia tidak mengerti 'satu hal' apa yang Liam maksud.

"Apa lo gak pernah ngerasa ada yang aneh sama sikap Theo?"

Ana menggeleng. Otaknya kembali berputar—mengingat rentetan kejadian tentang dia dan Theo yang sudah terlewat. "Gak ada yang aneh. Theo kayak biasanya sama gue."

Tatapan Liam masih tertuju ke depan. Sedang di kepalanya bergelayutan kata-kata dari dokter Adi. "Apa lo gak pernah ngelihat Theo kesakitan? Mukanya pucet, atau apa gitu?"

"Yam, selama Theo bareng gue, gue gak pernah ngelihat dia kesakitan atau apa. Dia selalu nunjukin kalau dia baik-baik aja. Gak ada yang aneh sama sekali. Dan, kenapa lo nanya kayak gini sama gue?"

Liam tersenyum getir. Wajah tengil Theo yang selalu ceria, seketika terekam di benaknya. Tingkah lakunya yang memuakkan, ketawanya yang memekakkan, semuanya berputar di otak Liam. "Dia berhasil, dia berhasil nutupin semuanya. Gak ada satu orang pun yang sadar, gak ada satu orang pun yang tahu." Liam tersenyum sinis. "Pengecut!"

Ana semakin tidak mengerti. "Lo ngomong apa? Siapa yang lo sebut pengecut?"

"Dia. Cowok yang gue kenal paling hiperaktif setelah Zayn. Orang yang berhasil nutupin semuanya dari kita."

"Theo? Emangnya... apa yang dia tutupin?"

Rasanya, Liam terlalu terbelit-belit. Ana hanya ingin tahu bagaimana keadaan Theo sekarang. Tapi Liam seolah beralih ke topik yang bahkan Ana tidak mengerti sama sekali.

"Theo mengidap penyakit gagal jantung. Kita gak bakal tahu kondisi dia kalau dokter gak ngasih tahu malam itu."

---

Sebuah tembok menjadi penghalang. Tak mampu ditembus kecuali oleh pandangan. Dari dalam ruangan yang bercat putih itu, seorang lelaki terbaring di atas brankar. Dia tidak sendiri, ada beberapa dokter yang menemani untuk sekadar memberikan pertolongan.

Dari luar, Ana bisa melihat betapa banyaknya alat medis yang terpasang di tubuh Theo. Wajahnya yang putih bersih, kini terlihat pucat. Mata sipit itu menutup, seakan tidak mau menatapnya. Mulutnya juga tak sedikit pun terbuka, seakan tidak sudi untuk sekadar bertegur sapa dengannya.

"Kenapa gue gak bisa benci sama lo?"

Objek yang dia lihat di dalam seketika buram saat ada genangan air di mata Ana. Matanya dia tutup sementara, berharap kalau ini adalah mimpi. Tapi ketika mata gadis itu terbuka kembali, posisi Theo masih sama, dan ini bukanlah sebuah mimpi.

"Lo kenapa nunjukin seolah lo baik-baik aja? Kenapa lo gak pernah bilang kalau lo punya penyakit serius seperti ini? Kenapa? Apa gue, sama yang lain, gak segitu pentingnya buat tahu tentang lo? Lo jahat, Yo. Lo jahat!"

Ingin rasanya Ana memaki laki-laki itu. Namun dia sadar, sekeras apa pun dia bersuara, Theo tidak akan pernah menanggapinya.

"Gue mohon, lo harus bisa bertahan. Gue janji, kalau lo udah sadar, gue bakal baikan lagi sama lo. Dan gue... gue akan kembali seperti Ana yang dulu. Ana yang gak punya perasaan apa-apa sama lo. Gue akan kembali, sebagai teman."

Seolah kata-kata itu meluncur dengan begitu mudahnya. Yang padahal, untuk melakukannya saja Ana tidak bisa. Tidak mudah untuk meredam perasaannya pada laki-laki itu.

"Ana?"

Panggilan itu membuat si pemilik nama terkesiap. Dengan segera, Ana memupus air matanya. Saat dia menoleh, Tante Dena berdiri di hadapannya. Memasang senyuman, senyuman yang sangat terlihat dipaksakan.

"Kamu... apa kabar?" tanya Dena.

Ana masih bergeming. Sedangkan Tante Dena, wanita itu mengikis jaraknya dengan Ana. Tatapannya lurus menatap wajah gadis itu. Sedangkan suaminya, setia berdiri di belakangnya. "Na, Theo...."

Setetes cairan bening itu keluar dari mata Tante Dena, segera Ana mendekat dan memeluk tubuh yang tampak tidak bertenaga itu. Kedua wanita yang dirundung pilu itu saling menyalurkan kesedihan satu sama lain.

Fahmi menahan isakan. Jangan sampai dia terlihat cengeng di hadapan dua perempuan yang harusnya ia tenangkan.

"Tante takut. Tante takut kalau Theo—"

Ana melepaskan pelukan itu, ia menggenggam tangan Tante Dena. "Theo sembuh. Theo pasti sembuh, Tante."

---

Ada sesuatu di sana. Di bawah bantal yang menjadi alas untuk Theo tertidur. Dena mengambil sebuah amplop putih yang tak sengaja ia temukan di bawah bantal saat dia tengah membersihkan kamar Theo. Si dalam amplop tersebut, terisi sebuah surat. Surat yang menyatakan tentang penyakit Theo.

"PA?!" Dena berteriak dengan suara yang gemetar. Tak lama kemudian, Fahmi masuk ke dalam kamar Theo dengan raut panik yang tercetak di wajahnya.

"Ada apa, Ma? Mama kenapa?" tanya Fahmi.

Fahmi melihat istrinya memegang sesuatu yang ia tidak tahu apa isi dari surat itu.

"Theo... dia bener sakit, Pa. Theo berhasil nyembunyiin semua ini dari kita."

Fahmi mendekap sang istri—memberi kekuatan saat Dena lagi dan lagi menangis. "Maafin Papa yang kurang perhatian sama Mama, sama Theo, karena sibuk kerja. Ma, Papa gak bisa apa-apa lagi selain memohon kesembuhan untuk Theo pada Tuhan."


LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang