36. Kisah yang Telah Usai

80 11 0
                                    

Eliza langsung keluar dari kelas itu setelah mengatakan beberapa kata untuk Leon. Ia tidak sanggup jika harus berlama-lama lagi berhadapan dengan orang yang saat ini sudah memiliki kekasih. Ia masih bisa mendengar kekecewaan orang lain saat Leon mempunyai kekasih lagi, bahkan ada yang terang-terangan mendukung hubungan Leon dan Divia.

"Munafik!" Farel mengatakan itu pada Leon. Ia kemudian berlalu keluar dari kelas tersebut.

Melihat sahabatnya menangis, Adel tak kuasa menahan diri untuk tidak memaki Leon. "Udah puas nyakitin sahabat gue?" tanyanya pada Leon. "Gak habis thinking gue sama lo. Orang yang selalu ada buat lo, lo tinggalin demi cewek ini."

Leon menyingkirkan tangan Adel yang menunjuk Divia, gadis yang hari ini resmi menjadi kekasihnya. "Orang yang udah berkhianat, pantes mendapat karmanya."

Karma? Karma yang seperti apa maksud Leon? Sial, perkataan Leon barusan membuat Adel tidak tahan untuk tidak tertawa.

"Oke. Oke. Mungkin setahu lo, Eliza yang selingkuh. Kita lihat nanti, ya. Kita lihat siapa yang bakalan nyesel." Setelah mengatakan itu, Adel langsung bergegas pergi keluar kelas seraya menarik tangan Ana yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Theo.

Sebagai sahabat, Liam hanya bisa memberikan dukungan atas apa yang sudah sahabatnya pilih. "Gue dukung apa pun pilihan lo, tapi cara lo salah, Yon."

---

Hamparan rumput hijau dengan ditumbuhi bunga berwarna-warni, menjadi pilihan Eliza setelah keluar dari kelas tadi. Ia memilih menyendiri di taman. Semua objek terlihat samar saat air mata menggenang di matanya. Hari ini, seakan menjadi hari yang paling menyakitkan untuk Eliza. Kehilangan, kekecewaan, semua menjadi satu. Hubungan yang sudah ia jalin selama ini dengan Leon, seketika hancur hanya karena kesalahpahaman.

Situasi taman yang sepi, menjadikan kesempatan Eliza untuk menangis sekeras-kerasnya. Biar dunia tahu kalau hari ini ia sedang hancur. Biar seluruh isi bumi tahu, kalau Eliza yang dikenal kuat, hari ini membuktikan kalau ia juga bisa rapuh.

Farel sedari tadi mengikuti ke mana perginya Eliza. Laki-laki itu hanya bisa berdiri memandangi Eliza dari jarak yang tidak terlalu jauh. Ia bukan membiarkan gadis itu sendirian dengan kesedihannya, Farel hanya ingin Eliza mengeluarkan semua unek-unek yang ada pada diri gadis itu tanpa ada gangguan darinya. Biarlah Eliza sendiri dulu, sampai kalau gadis itu butuh sandaran, ada bahu Farel yang senantiasa tersedia untuk Eliza.

"Nangis aja, El. Keluarin semua unek-unek yang ada dalam diri lo. Ngelihat lo nangis kayak gini, lo udah ngebagi rasa sakit lo sama gue. Sakit, El. Hati gue sakit ngelihat lo kayak gini."

---

Setelah dari taman, Eliza lebih dulu memasuki toilet sebelum masuk kelas. Ia berniat mencuci mukanya supaya tidak terlalu kelihatan habis menangis. Tapi tetap saja, matanya yang sembap menjadi bukti kalau ia habis menangis. Ia mengamati pantulan dirinya di cermin yang tersedia di toilet. Sunggingan senyum yang senantiasa melengkung di bibirnya, hari ini terasa seakan berat untuk sekadar tersenyum.

Setelah puas berlama-lama di depan cermin, tak lupa Eliza mematikan keran dan langsung beranjak keluar dari toilet. Baru saja ia akan keluar, tiba-tiba ada seseorang yang datang, Divia.

Divia yang melihat ada Eliza di toilet, melemparkan senyum kemenangan pada gadis itu. "Kayaknya ada yang lagi patah hati, nih."

Eliza tahu, sindiran itu ditujukan untuknya karena hanya ada dirinya dan Divia saja di dalam toilet.

Divia menahan Eliza saat gadis itu hendak beranjak. "Tunggu dulu, dong. Gue mau berbagi kebahagiaan, nih. Lo kan habis nangis, pastinya butuh hiburan, kan? Gimana kalau—"

"Gak butuh, dan gak usah halangi jalan gue!" kata Eliza penuh penekanan.

"Terbukti kan kalau Leon lebih milih gue daripada lo?" Divia tersenyum menyeringai saat perkataannya langsung membuat Eliza berhenti berjalan.

"Iya. Lo menang. Congrats!" Setelah mengatakan itu, Eliza langsung keluar meninggalkan Divia yang menatap kepergiannya.

---

Entah kenapa, pikiran Leon terus melayang memikirkan Eliza sedari tadi. Bagaimana sama gadis itu? Bagaimana setelah dia mendengar kalau Leon sudah meresmikan Divia menjadi kekasihnya di hadapannya sendiri? Kenapa juga Leon bisa mengklaim Divia untuk menjadi kekasihnya?

"Sayang, aku pulang bareng kamu, ya? Aku juga mau kali pulang sekolah bareng pacar." Divia menghampiri Leon ke tempat duduknya.

Rasanya ragu mengizinkan gadis lain untuk menduduki jok belakangnya. Karena selama ini hanya Eliza yang boleh berboncengan sama Leon.

"Yon, kamu kok diem aja, sih? Ayo pulang!" Divia kesal karena ajakannya tidak ditanggapi sama sekali sama Leon.

Salahnya sendiri, kenapa juga dia memilih Divia untuk menjadi pacarnya setelah Eliza? Padahal Leon tidak menaruh harapan pada gadis lain. Gara-gara Eliza yang membuatnya sakit hati, membuat ia menjadikan gadis lain sebagai pelampiasan. Tapi, ia tidak boleh memainkan perasaan perempuan.

Leon mengangguk mengiyakan ajakan Divia. Ia kemudian bangkit dari duduknya.

Leon sudah siap untuk melajukan motor gede kesayangannya. Laki-laki yang mengenakan jaket Leopard itu membonceng seorang gadis cantik yang membuat banyak pasang mata memperhatikan mereka.

Divia rasa, hari ini serba berpihak padanya. Apa yang ia mau, pasti selalu tercapai. Seperti berboncengan bareng Leon. Perempuan mana yang tidak ingin menempati jok belakang Leon? Lengan Divia melingkari pinggang Leon. "Yok, Sayang. Kita pulang."

Leon mengangguk dan tersenyum yang kemudian ia langsung melesat meninggalkan kawasan SMA Maheswari.

---

Mobil yang ditunggangi Eliza berhenti saat lampu merah menyala. Saat ia menoleh ke kanan, rasa sakit kembali melukai hatinya begitu ia melihat sepasang kekasih berada tepat di sebelah mobil Eliza. Tanpa sadar, setetes air mata Eliza keluar dari peraduannya.

Lampu merah yang menyala membuat para pengguna jalan memberhentikan kendaraannya termasuk Leon. Sambil menunggu lampu berubah warna menjadi kuning kemudian hijau, ia bercengkerama dengan Divia disertai tawa yang terlihat begitu bahagia. Tidak seperti seorang gadis yang merasakan sakit luar biasa yang melihat interaksi keduanya di balik kaca mobil.

"Aku bahagia banget hari ini, Yon. Makasih udah jadi bagian dari kebahagiaan aku." Divia memeluk Leon dengan erat. Ia memejamkan matanya seraya tersenyum simpul tanpa peduli perasaan Eliza.

Makasih udah pernah jadi bagian dari kebahagiaan gue, meski sekarang bahagia lo bukan bareng gue lagi. Kalau lo lebih bahagia bareng dia, detik ini juga gue rela ngelepas lo sama orang lain, Yon. Makasih udah pernah ngelukis kisah indah bareng gue, meski sekarang warna dari lukisan indah itu udah pudar, batin Eliza.

Lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, membuat para pengguna jalan kembali melajukan kendaraannya. Begitu juga dengan mobil yang dinaiki Eliza, melaju bersamaan dengan air mata yang mengalir.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang