45. Jebakan (2)

64 8 0
                                    

"Aku seneng banget kamu ngajak aku ke markas Leo."

Sepanjang jalan, senyuman senang tidak pernah luntur dari bibir Divia. Tangannya melingkari pinggang Leon yang tengah mengemudikan motor, sedang dagunya bertumpu di pundak laki-laki itu.

"Kamu tahu? Aku gak pernah bawa cewek mana pun ke markas. Karena cuma orang spesial yang akan aku bawa ke sana."

"Oh, ya?" tanya Divia. Ada nada kesenangan dari balik suara lembutnya. "Berarti, aku orang pertama yang kamu bawa ke markas, dong?"

Leon mengangguk.

Divia senang. Ternyata dia adalah orang paling beruntung. Seketika nama Eliza terbesit di kepalanya. Perempuan itu, benarkah Leon tidak pernah membawa Eliza ke markas Leopard? Ah! Divia tidak peduli. Yang penting, hari ini ada banyak kesenangan yang terus menghujaninya.

Setibanya Leon dan Divia di markas, sudah ada banyak motor yang terparkir di halaman rumah minimalis dengan gaya modern tersebut. Divia turun dari motor, matanya berkeliling melihat-lihat luasnya halaman rumah itu. Di motor mereka, ada stiker bergambar macan tutul dengan tulisan 'LEOPARD' yang ditempel.

Leon membawanya memasuki markas. Dari dalam, Divia bisa melihat ada banyak foto-foto yang terpajang. Divia telah memasuki kawasan hunian laki-laki. Apalagi, di dalam sana, ada banyak teman Leon. Semuanya serempak memakai jaket Leopard

Tawa yang menggema seketika redam saat ada kehadiran Leon dan seorang gadis. Tawa itu terganti dengan senyuman sinis, mata mereka menyorot Leon dan Divia seperti predator yang siap menerkam mangsanya.

Divia mengaitkan lengannya di lengan Leon, dia seperti telah mengganggu seekor singa yang tertidur pulas. Dari sorot mata mereka, Divia bisa merasakan kalau kehadirannya amat mengganggu. "Leon, kenapa mereka ngelihatin aku kayak gitu?" tanya Divia.

Leon tak menanggapi, dia hanya menggiring Divia untuk duduk di sofa.

"Gak sudi gue kalau markas diinjek sama orang licik!" Zayn beranjak, dia pun berlalu pergi dari sana.

Divia tidak tahu maksud dari perkataan Zayn, dia pun duduk di dekat Leon. Tapi pandangannya tidak luput dari mereka yang seperti enggan menatapnya. Di saat yang seperti ini, aura mereka benar-benar mengancam ketenangan Divia. Dia pun duduk jadi tidak tenang. Sedang Leon, dia seperti mengabaikan Divia. Untuk apa laki-laki itu membawanya ke sini kalau hadirnya tidak dihargai?

Divia terperanjat kaget saat Lingga membanting pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Dia melihat laki-laki itu yang tersenyum sinis.

"Welcome to the hell," ujar Lingga seraya tersenyum menyeringai.

Divia menelan saliva, entah kenapa hadirnya di sini seperti tidak diinginkan mereka. Dia juga tidak mengerti maksud dari perkataan Lingga. Divia menunduk saat semua pasang mata mengarah padanya. Sedang Leon yang duduk di sampingnya, juga menampilkan raut yang sama—sangat berbeda ketika Leon membonceng Divia tadi.

"Jum'at malam, jam sepuluh malam lewat lima belas menit. Markas Leopard diserang sama tamu yang gak diundang." Liam membuka suara, suara yang terdengar tidak seperti biasanya. Ada nada penuh penekanan dalam setiap kata yang dia ucap. Sedang sorot matanya, tidak luput dari Divia. Mengingat kejadian malam itu, membuat Liam kembali tersulut emosi.

Divia masih menunduk, enggan untuk mengangkat kepala demi menghindari kontak mata dengan mereka semua.

"Mereka datang untuk menyerang, membawa pasukan yang luar biasa banyak," lanjut Liam.

Kedua tangan Leon terkepal, dia tidak bisa membayangkan kejadian malam itu karena dirinya tidak ada di markas.

"Satu per satu dari kita dibabat habis karena kita kalah jumlah. Dan satu orang temen kita, masuk rumah sakit. Semuanya hancur setelah kejadian itu."

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang