28. Teror

82 12 5
                                    

Kelompok satu bisa bernapas lega saat baru saja sampai di garis finish. Di sana ramai ada para panitia dan anggota OSIS yang membantu acara ini agar berjalan dengan lancar. Begitu sampai di hadapan Ketua OSIS, Theo langsung memukul wajah Andre— si Ketua OSIS SMA Maheswari. Hal itu tentu saja membuat semua orang yang ada di sana terpekik kaget.

Theo mencengkeram baju yang dikenakan sama Andre setelah laki-laki itu kembali bangun. "Bilang sama gue, pasti kalian semua yang udah neror kita. IYA, KAN?!"

Liam langsung menghampiri untuk memisahkan Theo dari Andre. "Theo, lo apa-apaan sih? Selalu pake emosi kalo tiap nyelesain masalah!"

"Tristan Theo Adelard!" Pak Giri maju dengan tatapan sangar yang ia layangkan pada Theo. "Apa yang kamu lakukan? Maksud kamu apa datang-datang langsung nyerang Andre kayak gitu? Tindakan kamu ini tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar, tahu kamu?!"

Theo masih dengan napas yang tersengal-sengal dan amarah yang menguasai laki-laki itu. Ia capek, ia kesal karena selama perjalanan menuju garis finish, banyak teror yang seakan menghantui kelompoknya. "Pasti kalian kan yang udah neror kita?!"

Teror? Guru-guru dan beberapa anggota OSIS menjadi kebingungan sama apa yang dipertanyakan Theo. Apa maksudnya?

Kening Pak Giri berkerut. Bingung. "Teror apa maksud kamu? Kita semua tidak melakukan apa pun selain membuat hantu bohongan buat menakuti kalian."

Theo terkekeh sinis. "Hantu bohongan? Kita sama sekali gak nemuin itu, Pak. Yang ada kita itu kayak diteror! Bapak Tahu? Ada orang yang sengaja menembakkan peluru. Kalau sampai itu terjadi yang tidak-tidak sama kami, apa yang bakal Bapak lakuin?" tanyanya pada Pak Giri.

Semua orang yang mendengar itu tercengang, kaget bukan kepalang. Peluru? Tembakkan? Ada apa sebenarnya?

Melihat raut kebingungan dari banyak orang, Liam berinisiatif untuk menjelaskan tentang kejadian yang ia dan teman kelompoknya alami barusan. "Jadi gini, pas kita berjalan untuk sampe ke sini, ada orang yang menembakkan peluru. Dan Theo melihat ada orang yang lari. Begitu."

Mereka menjadi panik begitu Liam selesai menjelaskan. Sampai tidak ada yang membuka suara, semuanya mencerna perkataan Liam barusan. Suasana tengah malam yang gelap gulita, ditambah ada kejadian yang terjadi di luar nalar, membuat hawa mencekam semakin menjadi-jadi.

Pak Giri merogoh saku celananya, mengeluarkan benda berteknologi canggih. Ia mencari salah satu nama di deretan kontaknya. Setelah ketemu, guru olahraga itu langsung menghubungi orang yang dituju, Pak Danu. Begitu panggilan terangkat, dengan segera Pak Giri memberi kabar, "Halo, Pak. Saya ingin berbicara satu hal penting sama Bapak."

Setelah mendapat persetujuan dari Pak Danu, Pak Giri mengangguk dan kembali memasukkan ponsel itu ke dalam saku. "Andre, ikut saya ke area perkemahan. Liam, kamu juga."

Pak Giri beranjak dari sana diikuti Andre dan Liam. Theo sedari tadi tidak melepaskan pandangan dari Zayn yang hanya diam. Tidak biasanya anak itu banyak diam. Sementara Ana, kondisi gadis itu sudah membaik setelah diberi minum sama panitia penyelenggara.

Belum lama kepergian Pak Giri, Andre, dan Liam, kelompok dua baru saja sampai. Daniel langsung menghampiri dua orang anggota OSIS yang bertugas sebagai seksi konsumsi untuk mengambil minum. Daniel menghabiskan tiga gelas air minum sekaligus karena saking lelahnya.

Mereka lagi-lagi terpekik kaget saat tiba-tiba saja Leon melemparkan hoodie-nya.

"Kenapa lo? Kok sweater lo dipake buat begituan?" Karena penasaran, Theo berjongkok dan membuka apa isi dibalik hoodie yang Leon lempar barusan. Theo langsung berjalan mundur dengan tangan yang menutup mulutnya. Kedua mata Theo membola saat ia melihat sesuatu di dalam gulungan hoodie yang dilempar Leon.

"Ada apa, Theo?" tanya guru wanita yang berbadan gemuk.

"I–itu...."

Karena penasaran, Adel juga ikut melihat sesuatu apa yang Leon bawa. Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat ada sebuah pistol. Kemudian ia menatap Eliza penuh tanya. "El, apa maksudnya ini?"

Eliza diam membisu.

"Apa lagi ini?" tanya Pak Surya, "setelah tadi kelompok satu bawa kabar yang tidak baik, dan sekarang apa lagi?"

"Kita diteror."

Perkataan yang keluar dari mulut Leon, membuat semua pasang mata tertuju pada laki-laki itu.

"Bagaimana mungkin? Kalian gak bikin masalah, kan?" tanya Pak Surya memastikan yang mendapat gelengan serempak dari kelompok dua. Guru itu mengusap wajahnya. Tengah malam di tengah hutan membuat keberadaan mereka semakin terancam.

"Kita gak ngelakuin apa pun, kita pikir kalau ini ulah panitia," ujar Farel.

"Kita tidak mungkin memakai benda berbahaya ini untuk menakuti kalian." Pak Surya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sepertinya, acara jurit malam tahun ini gagal. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.

Theo berjalan menghampiri Leon. "Bukan cuman lo, kelompok gue juga kena teror."

Leon menatap Theo tidak percaya. Jadi, bukan hanya kelompoknya saja yang kena teror? Lalu, bagaimana dengan kelompok lain?

"Ada orang yang nembakin peluru."

Tentu saja Leon terkejut mendengarnya. "Peluru? Tapi kalian semua aman, kan? Terus Liam mana?" Melihat Liam tidak ada di sini, membuat Leon bertanya di mana keberadaan laki-laki itu. Seharusnya kan anak itu satu kelompok sama Theo.

"Liam ikut sama Pak Giri. Gue rasa, ada yang gak beres." Theo berbicara seperti itu pada Leon dengan tatapan yang terus tertuju pada Zayn yang sedari tadi tidak membuka suara.

Daniel yang melihat ada yang berbeda dari Zayn, langsung bertanya pada anak itu, "Yen, kenapa lo? Tumben lo diem aja. Lihat setan kan lo pasti? Makanya jangan sok-sokan nakutin gue!"

Zayn hanya menggelengkan kepalanya. Tatapan laki-laki itu sedari tadi kosong yang membuat banyak tanya di benak orang-orang. Tidak biasanya seorang Zayn itu terus diam tanpa membuka suara.

Eliza berjalan mendekati Zayn. "Ini gak ada hubungannya kan sama lo? Gue tahu, waktu itu, lo nyembunyiin sesuatu."

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang