18. Labrak

96 10 5
                                    

Suara gemercik air di wastafel toilet, menyamarkan isak tangis seorang gadis yang berada di dalamnya. Kepalanya merunduk, sedang bulir air mata terus menetes tanpa mau berhenti—memupus taburan bedak di wajah gadis itu. Saat dia mengangkat kepala, binar matanya redup kala melihat pantulan dirinya di cermin yang tampak memprihatinkan.

Tangan Ana menyusut sisa-sia air mata, meski dia tak bisa menyusut kesedihan yang menimpa. Wajah laki-laki itu terus bersemayam di benaknya. Perkataannya yang menyakitkan pun terus berputar di otak Ana.

Jangan salah mengartikan sikap seseorang

Gue bersikap kayak gitu, karena lo temen gue

Jangan jadi cewek yang baperan

"Lo brengsek! Lo cowok paling brengsek yang pernah gue kenal. Lo perlakuin gue, seolah gue ini orang paling spesial buat lo. Lo kenalin gue sama nyokap-bokap lo. Lo... lo brengsek. gue benci sama lo! GUE BENCI SAMA LO, THEO! GUE BENCI!!!"

Suara Ana menggelegar di dalam bilik toilet wanita. Di hadapan cermin, gadis itu bercakap-cakap. Air matanya kembali tumpah, Ana menangis dengan deras.

Salahkah Ana? Salahkah Ana menyatakan perasaannya? Dia terlalu percaya diri, menganggap kalau Theo mempunyai perasaan yang sama sepertinya. Karena perlakuan laki-laki itu membuat Ana yakin kalau cintanya akan diterima. Tapi, kenyataannya? Justru Ana harus menelan kekecewaan. Ana bukan kecewa lantaran cintanya ditolak, tapi Ana kecewa karena Theo mempermainkan perasaannya. Jadi, selama ini, Theo menganggap Ana itu apa? Apa tidak lebih dari sekadar sahabat?

Sahabat mana yang memperlakukan sahabatnya seistimewa itu?

Kamu itu perempuan pertama yang dibawa Theo ke rumah, Na

Seketika omongan Tante Dena terbesit di benak Ana. Sambutan hangat kedua orang tuanya, membuat Ana menjadi salah paham. Perlakuan lembut Theo kepadanya, membuat Ana salah mengartikan. Theo hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih.

Gedoran pintu terdengar keras, membuat Ana dengan segera memupus sisa-sia air matanya.

"Ana, lo di dalem, kan? Lo kenapa?!"

Suara itu terdengar khawatir. Ana bisa membayangkan wajah Adel yang panik. Kemudian, disusul suara Eliza, "Na, buka pintunya! Lo kenapa?"

Mungkin gedoran pintu itu tidak akan berhenti kalau saja Ana tidak membukanya. Pintu toilet terbuka, dan Ana dapat melihat raut terkejut dari kedua sahabatnya.

"Na, lo nangis?" Itu suara Adel, matanya sampai melotot saat melihat penampilan Ana yang semrawut.

Eliza terkejut saat tiba-tiba Ana menubruk tubuhnya sampai membuat dia limbung. Ana menangis di pelukannya.

"Gue bodoh, El. Gue bodoh."

Baik Eliza maupun Adel, keduanya tidak dapat memahami maksud dari perkataan Ana.

"Kalau lo pinter, gue gak bakal nyontek ke orang lain, Na. Pasti lo orang pertama yang gue rebut jawabannya. "

Eliza memelototi Adel. Sahabat yang satunya itu memang paling menyebalkan. Pemikirannya yang rada lelet, membuat Eliza dan Ana sering kali kesal. Adel itu orangnya random: kadang galak, lemot, kadang juga baik.

"Yang gue bilang bener, kan, El?" tanya Adel.

"Na, ada apa? Kenapa lo sampai kayak gini? Gue nyariin lo ke mana-mana, tahunya di sini." Eliza mengabaikan Adel. Dia lebih mementingkan kondisi Ana sekarang.

Ana melepaskan pelukannya dari Eliza. Wajahnya tampak kusut, tidak lagi menampilkan raut wajah khas Ariana Moza yang sering tersenyum cerah di setiap harinya.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang