51. Selamat Jalan, Kawan

111 8 0
                                    

Piyama bergambar kartun yang melekat di tubuhnya, tak membuat Eliza berniat untuk menggantinya. Dengan rambut yang kusut, wajah yang basah serta matanya yang sembap, Eliza berlari keluar rumah. Tak peduli meski kedua orang tuanya terus memanggil.

Sampai di tepi jalan, Eliza menyetop mobil taksi. Dia langsung masuk dan meminta pada pak sopir untuk mengantarkannya ke rumah sakit.

Di sepanjang jalan, Eliza tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis. Membuat pria yang mengemudikan mobil itu pun bertanya dalam hati.

Semesta seolah tak memberikan kemudahan untuk Eliza agar segera sampai di rumah sakit. Jalanan yang macet membuat gadis itu terus bersungut dan menjerit tertahan di tenggorokan.

"Pak, ayo!"

"Macetnya panjang banget, Neng," sahut sopir itu.

Tidak ada cara lain selain berlari keluar. Lima lembar uang berwarna merah yang digenggam Eliza ia berikan pada sopir. Entah jumlah tagihannya kurang atau lebih, Eliza tidak tahu. Yang penting sekarang dia harus segera sampai di rumah sakit.

Jaraknya dengan rumah sakit tidak terlalu jauh. Sepanjang jalan, Eliza berlari dengan derai air mata yang terus mengaliri pipi.

"Aku mohon, beri aku kesempatan buat ketemu kamu untuk yang terakhir. Aku mohon."

Eliza sudah seperti orang yang kesetanan. Dia berlari memasuki rumah sakit. Dia memberhentikan langkah saat melihat ada Farel di depan ruang UGD. Tanpa memanggilnya, Farel lebih dulu melihat kehadiran Eliza.

Eliza mengabaikan Farel yang memanggilnya. Gadis itu pun masuk dengan mendorong paksa pintu. Sekujur tubuhnya lemas seketika saat ia sudah ada di dalam. Kakinya melangkah lunglai mendekati brankar. Di sana, Eliza bisa melihat seorang lelaki yang tadi ke rumahnya, kini sudah terbaring di sana, di atas brankar.

Di hadapan Leon, Eliza tidak berkutik. Dia diam seribu bahasa. Gadis itu menangis tanpa suara. Eliza tak percaya kalau yang dia lihat ini adalah nyata.

"Singanya El, mau gak janji sama aku?"

"Janji apa?"

"Janji buat gak ninggalin aku."

"Tanpa kamu minta, aku gak bakal ninggalin kamu, Sayang."

"Kalau nanti kamu ketemu cewek lain, terus kamu ninggalin aku, gimana?"

"Kalau nanti aku ninggalin kamu, aku rela kelindas truk. Aku rela mati, daripada harus ninggalin cewek kayak kamu, Eliza Ravelina."

"Ya kalau itu, nanti kamu ninggalin aku selamanya! Aku gak mau!"

"Aku lebih baik kehilangan nyawa, daripada harus kehilangan kasih sayang kamu."

"AKU GAK AKAN PERGI SEBELUM KAMU MAAFIN AKU, ELIZA! AKU NYESEL. AKU BODOH KARENA UDAH NINGGALIN KAMU. DAN AKU MINTA MAAF. AKU JANJI, INI TERAKHIR KALI AKU NGELAKUIN KESALAHAN DAN MINTA MAAF SAMA KAMU."

Perkataan Leon terus terngiang di benak Eliza. Barulah gadis itu menangis sejadi-jadinya di depan Leon. "Kamu jahat! Mana janji kamu yang katanya gak bakal ninggalin aku, ha?!"

Harusnya Eliza sadar, dialah yang jahat. Dia terlalu berat hati untuk menerima maaf Leon. Andai Eliza membuka pintu rumahnya untuk Leon masuk, mungkin Leon sekarang tidak akan ada di sini. Kalau saja Eliza memaafkan Leon, mungkin sekarang mereka sudah berbaikan dan berduaan di rumah Eliza. Sayangnya, penyesalan memang selalu datang belakangan.

Liana mendekati Eliza, membawa gadis itu ke pelukannya. Keduanya sama-sama menumpahkan kesedihan di hadapan Leon.

"Ma, El minta maaf. Ini semua salah El."

Di balik punggung Eliza, Liana menggeleng. "Bukan salah kamu. Ini udah takdir, Sayang."

"Yon, kenapa lo pergi secepet ini?" tanya Liam. "Apa kabar hari esok kalau dunia tanpa lo? Apa kabar sama Leopard yang baru berdiri di tangan lo kalau lo gak ada? Banyak masalah yang nyerang lo, tapi kenapa lo nyelesainnya harus dengan kayak gini? Lo gak inget kalau Theo belum sadar? Gimana nanti kalau Theo nyariin lo, terus kita bilang kalau lo udah gak sama kita? Apa reaksi Theo nanti?"

"Yon, gue masih inget cara lo nolong gue waktu gue di-buly, dulu." Jelas Daniel masih ingat sama kejadian tempo dulu. "Gue dulu cupu banget, gue lemah. Waktu Kakak kelas buly gue, ada satu tangan yang terulur buat ngebantu. Ngebantu gue buat bangkit, ngebantu gue buat gak jadi cowok yang lemah seperti kata lo. Lo pukul orang yang nge-buly gue.

Hari itu, gue kenal lo. Bukan sebagai tukang bikin onar seperti kata orang-orang, tapi gue kenal lo sebagai perisai, penolong yang gak mandang siapa orang yang lo tolong. Kalau waktu itu lo gak ada, mungkin sekarang gue bukan Daniel yang mereka kenal. Gue tetep jadi Daniel yang lemah, yang cuma bisa diem saat ditindas."

Kini, giliran Lingga yang membuka suara, "Gue yang banyak dosa sama lo, Bang. Gue orang yang gak tahu diri. Gue bajingan yang udah khianatin orang sebaik lo. Tangan gue pernah nyelakain lo, tapi tangan lo justru terulur buat bantu gue keluar dari masalah. Bang Leon, sampai kapan pun, gue gak akan pernah lupain lo."

"Waktu itu, lo ngajak kita bikin komunitas. Awalnya gue nolak, karena itu gak penting menurut gue," ujar Zayn. "Tapi sekarang gue seneng, karena lo udah ngenalin ke gue arti kebersamaan. Yon, tanpa lo, mungkin gue gak bakal ngerasain arti solidaritas. Kalau bukan karena lo, Leo gak bakal ada. Kenapa lo harus pergi? Kenapa?"

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang