Dua wajah yang saling berhadapan, menampilkan raut jenuh lantaran orang yang ditunggu mereka belum juga terlihat batang hidungnya. Ana sesekali mengecek benda penghitung waktu yang melingkar di tangan kirinya. Sedangkan Adel, gadis itu melampiaskan kebosanan dengan mengaduk-aduk spageti tanpa minat untuk melahapnya.
Ana berdecak, dia pun berkata, "Gue bosen. Eliza mana, sih? Kalau dia gak jadi ke sini, gue mending pulang, deh.""Eh, jangan!" Adel menahan Ana untuk tidak beranjak. Meski Ana sudah mulai jenuh, tapi dia kembali duduk. "Niat gue ngajak lo berdua ke sini kan buat have fun. Biar lo berdua gak nangisin cowok lagi."
"Ya terus Eliza mana? Kita nungguin dari tadi, itu anak belum nongol juga."
"Gue telepon, deh." Ponsel yang semula berada di atas meja bundar, kini beralih ke telinga Adel. Dia menghubungi nomor Eliza. Setelah panggilannya tersambung, Adel pun berucap, "Elizaaaaa. Lo lama banget, sih? Gue sama Ana hampir jamuran tahu gara-gara nungguin lo!"
Sementara di lain tempat, di dalam kamar yang bernuansa estetika, Eliza baru saja bangun dari tidurnya. Dia tidak sadar kalau dirinya terlelap. Dia bahkan melupakan kalau malam ini Adel mengajaknya untuk nongkrong di kafe. Sial, Eliza benar-benar lupa. Dari suaranya saja, Eliza mendengar kalau Adel mulai jenuh. Pasti gara-gara menunggunya.
Melirik pada jam yang ditempel di dinding, ternyata sudah pukul 19.30 WIB. Eliza bahkan membiarkan kedua temannya untuk menunggunya selama setengah jam.
"Iya. Ini gue otw." Eliza memutuskan panggilan, dia pun berjalan ke kamar mandi dengan keadaan setengah sadar.
Karena tidak mau membiarkan kedua temannya menunggu lebih lama lagi, Eliza dengan gerakan secepat kilat buru-buru merias wajahnya. Ripped jeans yang dipadukan dengan crop top, sudah melekat di tubuhnya. Rambutnya ia biarkan terurai, kakinya pun sudah beralaskan sneakers putih favoritnya.
"Ma, Pa. El izin keluar." Tidak tahu suaranya didengar atau tidak, Eliza buru-buru menuruni tangga untuk sampai ke lantai bawah. Kondisi rumahnya sepi, mungkin kedua orang tuanya sudah berada di dalam kamar.
Mobil taksi membawa Eliza untuk mengantarkannya ke tempat tujuan. Syukur, malam ini jalanan Ibu Kota tidak macet seperti biasanya. Lima belas menit menempuh perjalanan, mobil itu sudah sampai di depan tempat yang terlihat ramai. Banyak orang-orang yang hilir mudik masuk dan keluar dari kafe tersebut. Bangunan berarsitektur modern yang diterangi lampu gantung itu, Eliza melihat banyak sekali pengunjung yang datang malam ini.
"Makasih, Mas." Setelah membayarkan uang kepada sopir taksi tadi, Eliza menata tatanan rambutnya.
"Eliza?"
Suara yang terdengar tidak asing, memasuki gendang telinga Eliza. Suara yang selama ini redup, seakan kini kembali menyapa. Eliza menoleh, seorang laki-laki yang mengenakan kaos putih polos dibalut dengan kemeja flanel dan dipadukan dengan jeans hitam, berjalan ke arahnya. Netra Eliza menelisik—mencoba mengenali orang ini. "Farel...?" panggil Eliza, semoga saja dugaannya benar.
Kalung dengan bandul tengkorak, melingkari leher laki-laki itu. Senyumnya terukir manis— menyempurnakan pahatan rupawan wajahnya. Eliza dapat mencium wangi parfum yang dikenakan lelaki ini saat dia sudah berada di depannya.
"Eliza Ravelina, how are you?" tanya laki-laki itu.
Tatanan rambutnya, masih sama seperti dulu—yang memang gayanya. Hanya saja, ukuran badannya tambah meninggi. Suaranya pun sedikit membesar dan berat. Terlihat sedikit rambut yang tumbuh di bawah hidungnya. Seingat Eliza, warna kulit laki-laki ini dulunya eksotis, sekarang berubah menjadi putih bersih. Ah, Eliza bahkan sampai terpesona melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONARDO [SELESAI]
Teen FictionLeonardo Adiwalaga. Laki-laki yang terlahir dalam naungan zodiak Leo, membuatnya berambisi ingin menguasai dunia dan menjadi orang nomor satu. Si pemilik zodiak berlambang singa ini selalu jadi sorotan, baik di kalangan kaum Hawa yang mencoba untuk...