40. Kenyataan Pahit

97 12 0
                                    

"Mana anak saya?!"

Keheningan yang sempat tercipta selama beberapa menit terjadi, langsung redam saat suara dari seorang wanita yang berjalan terburu-buru menghampiri sekumpulan laki-laki yang tengah bermuram durja pada malam ini. Wanita itu tidak sendiri, ada sang suami yang berjalan menemani.

"Ini semua itu gara-gara kalian! Gara-gara komplotan kalian yang gak jelas ini, anak saya jadi korban!"

Fahmi sebagai suami, menenangkan istrinya dengan merangkul bahu sang istri, Dena. "Ma, jangan marah-marah."

Tapi tetap saja, Dena tidak terima kalau anak semata wayangnya masuk rumah sakit hanya karena aksi baku hantam. "Leon, kalau sampai terjadi sesuatu sama anak saya, saya akan jebloskan kalian semua dalam penjara. Pasti kamu kan biang keroknya?!"

Mendengar nama bangunan tempat mengurung orang sebagai hukuman disebut, membuat Leon beserta teman-temannya menjadi ketar-ketir.

"Ma, udah, Ma," tegur Fahmi.

"Pa, Theo kayak gini itu gara-gara temen-temennya yang gak jelas ini! Coba aja dulu Mama larang dia buat gak ikut-ikutan komplotan mereka. Pasti Theo sekarang gak akan kayak gini!"

Dena terus berasumsi kalau penyebab anaknya masuk rumah sakit adalah karena ulah pergaulan Theo dan teman-temannya. Dena menyesal karena membiarkan Theo masuk ke lingkaran pergaulan yang salah.

Lagi-lagi Leon yang kena imbasnya. Tak apa, ini memang risiko menjadi seorang ketua. Tatapan Leon terfokus pada Tante Dena yang menatap sinis padanya. "Tante, atas nama Leopard, saya minta maaf yang sebesar-besarnya."

"Enteng banget ya kamu ngomong?" Dena kembali membentak. "Apa gunanya maaf kamu, Leon? Gak guna! Anak saya udah sekarat di dalam sana, apa yang bisa kamu lakukan, ha? Gak ada, kan?"

Ya, Tante Dena benar. Leon tidak bisa melakukan apa-apa selain memohon pada Tuhan. Ini semua salahnya, semuanya salah Leon. Andai dia tidak pergi dan tetap di markas, pasti kejadian ini tidak akan menimpa Theo.

Derit pintu terbuka membuat atensi semua orang mengarah ke ruangan ICU. Dokter laki-laki keluar dari ruangan tempat Theo dirawat yang membuat semua orang langsung menyerbu dokter itu untuk meminta keterangan tentang keadaan Theo.

"Dokter, gimana sama keadaan anak saya? Theo baik-baik aja kan, Dok?" Dena bertanya langsung pada intinya. Jantungnya berdebar, penasaran akan keadaan anaknya yang terbaring di dalam sana.

"Dengan keluarga pasien atas nama Tristan Theo Adelard?" tanya dokter yang bernama lengkap Adiyasa atau yang kerap disapa 'Dokter Adi'.

"Saya Mamanya."

"Saya Papanya."

Kedua pasangan suami istri itu menjawab dengan serempak.

"Pasien atas nama Theo mengalami kritis karena tekanan di dadanya yang mengakibatkan jantung Theo melemah."

Tidak ada yang membuka suara setelah dokter Adi mengatakan hal barusan.

"Kritis, Dok?" tanya Dena dengan nada suara yang terdengar parau.

"Iya." Dokter Adi menghela napas, menimang-nimang apakah akan mengatakan hal ini atau tidak. Keputusannya sudah bulat, ini juga demi kebaikan Theo, ia pun berkata, "Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah merahasiakan hal ini dari kalian."

Kerutan di dahi Zayn tercipta, menandakan kalau ia kebingungan. Kemudian ia bertanya, "Rahasia? Rahasia apa maksudnya?"

"Theo menderita penyakit gagal jantung."

Jantung Dena seakan berhenti berdetak saat itu juga. Badannya langsung terkulai lemas saat mendengar kenyataan pahit kalau anaknya menderita penyakit yang mematikan. Ia terkesiap dengan tangan yang menutup mulut. "Nggak! Anak saya baik-baik aja kan, Dok? Theo sehat, dia gak mungkin menderita penyakit yang seperti Dokter bilang tadi!"

Langsung saja Fahmi bergerak cepat untuk merengkuh istrinya. "Ma, tenang."

"Nggak, Pa, Theo gak sakit!" Tangis Dena pecah, apalagi saat mendengar perkataan dokter selanjutnya yang membuat ia tidak percaya.

"Theo menderita penyakit ini sudah satu tahun. Dan saya adalah dokter pribadinya. Saya sering membujuk agar dia memberitahukan hal ini kepada Ibu sama Bapak, tapi dia lebih memilih untuk merahasiakan hanya karena tidak mau merepotkan banyak orang," jelas dokter Adi.

Ke mana saja Dena selama ini? Ke mana tugasnya sebagai seorang ibu? Kenapa ia tidak mengetehaui bahwa anaknya menderita penyakit berbahaya? "Theo... maafin Mama, Sayang."

Fahmi menengadahkan wajahnya ke atas guna menahan air mata supaya tidak jatuh. Ia harus bisa menenangkan sang istri, meski hatinya luar biasa sakit setelah mengetahui kenyataan pahit tentang jagoannya.

Sebagai sahabat yang dikenal paling dekat, Zayn sama sekali tidak mengetahui hal tersebut. Ke mana saja ia selama ini? "Kenapa lo gak bilang sama kita, Yo?"

"Gue pikir yang waktu di markas, lo cuman sakit biasa kayak yang lo bilang. Tapi kenyataannya?" Wajah Daniel memerah menahan tangis. Tapi ia tak kuasa, air mata itu dengan beraninya malah keluar.

Apa lagi ini? Cobaan apa lagi? Kenapa Leon sampai tidak mengetahui tentang ini? Kenapa ia sebagai ketua tidak pernah peka sama masalah yang sedang sahabatnya alami? Theo, dia berhasil menutup rapat tentang penyakitnya dari semua orang. Leon merasa gagal jadi ketua. "Gue gagal lagi. Dan akan selalu gagal."

"Keadaan Theo sudah semakin parah. Kami harus segera mencari donor jantung secepatnya untuk melakukan transplantasi jantung. Kalau tidak…." Dokter Adi menggantungkan ucapannya yang membuat semua orang lagi-lagi dilanda kepanikan luar biasa.

"Kalau tidak, kenapa, Dok? KENAPA?!" Zayn menarik kerah jas dokter Adi karena kesal yang membuat Liam langsung bergerak untuk menahannya. Menegur temannya agar bersikap sopan.

"Nyawa pasien berada di ujung tanduk," lanjut dokter Adi.

Waktu seolah berhenti berputar setelah kenyataan pahit yang lagi-lagi mereka dengar.

Dokter Adi kembali berkata, "Saya hanya meminta doanya saja. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami sudah mencari donor jantung, tapi hasilnya tetap sama, tidak ada pendonor yang cocok untuk Theo."

"Syarat untuk pendonor jantung, apa aja, Dok?" Lingga mengajukan pertanyaan, barangkali ia dan yang lain bisa membantu mencarikan pendonor untuk Theo.

"Syaratnya harus jantung orang yang sudah meninggal dunia. Dan itu juga tidak sembarangan, harus orang yang sehat," jawab dokter Adi. "Kalau begitu, saya permisi. Mari."

Dokter Adi melenggang pergi meninggalkan orang-orang yang penuh pilu itu. Tangisan Tante Dena terdengar begitu pilu dengan Fahmi sang suami yang terus berupaya menenangkannya.

Leon mengintip di jendela yang gordennya sedikit terbuka. Theo, laki-laki itu tengah berjuang mempertaruhkan nyawanya, berjuang untuk sembuh, dan berjuang sendirian. Mata sipitnya terpejam, pahatan sempurna wajah laki-laki itu penuh lebam dan tampak pucat. Leon sangat merasa bersalah. Sebagai ketua, ia merasa tidak berguna. Salah satu sahabatnya tengah kritis, dan ini gara-gara dia. Benar kata Liam, Leon hanya mementingkan urusannya sendiri.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang