41. Dia Gagal

74 12 0
                                    

Dinginnya nuansa pagi yang menusuk kulit, kian redam saat sang fajar keluar dari peraduannya. Elok sinarnya membuat senyum merekah terbit di wajah. Tapi tidak dengan Leon, dia tidak menyambut pagi dengan senyuman seperti biasanya, melainkan dengan wajah muram.

Liana yang melihat putranya tampak tak bersemangat, menghampiri laki-laki itu. "Anak Mama yang ganteng ini kenapa pagi-pagi udah lecek aja itu muka? Leon ada masalah? Coba sini cerita sama Mama."

Mamanya memang orang yang paling peka, paling pengertian, juga wanita yang paling Leon sayang.

"Leon gak apa-apa, Ma. Cuman kurang  tidur aja."

"Beneran? Kamu gak bohong kan, Nak?" Naluri seorang ibu selalu tahu tentang apa yang dirasakan anaknya. Melihat respons Leon yang mengangguk, membuat Liana mengerti. "Kalau ada masalah, cerita sama Mama ya, Sayang? Jangan pendam masalah kamu sendirian. Kamu masih punya Mama seandainya tidak ada lagi orang yang percaya sama kamu."

Ingin rasanya Leon menangis di hadapan sang Mama. Menceritakan tentang permasalahan-permasalahan yang datang bertubi-tubi menyerangnya. Tapi, Leon hanya diam tanpa mau membebani orang lain. Biar ia cari jalan keluarnya sendiri. "Leon berangkat sekolah dulu ya, Ma. Assalamualaikum."

"Kalau lagi sakit, mending kamu gak usah sekolah dulu aja. Daripada nanti kenapa-kenapa di sekolah."

"Leon gak sakit, Ma."

"Kamu lemes banget, Mama tahu kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama." Liana menghela napasnya. Bukannya menjawab, Leon justru malah pergi tanpa mempedulikannya. "Apa pun masalah yang menimpa kamu, semoga Tuhan segera kasih jalan keluarnya, Sayang."

---

Berita tentang Theo masuk rumah sakit langsung menyebar luas di SMA Maheswari. Tapi untungnya mereka tidak mengetahui penyebab Theo masuk rumah sakit.

Seperti biasa, Leon selalu memarkirkan motornya di tempat ia dan keempat sahabatnya sering memarkirkan motor. Tapi ada yang beda sama hari ini, kedatangan Leon yang biasanya disambut dengan senyum semringah dan sapaan dari teman-temannya, tapi sekarang justru ia mendapat seperti tatapan permusuhan dari Liam, Zayn, dan Daniel yang masih duduk-duduk di motor mereka masing-masing. Leon mengerti, mereka pasti masih marah.

"Kacang, kacang apa yang paling jahat?"

Daniel mengerti akan maksud Zayn. Dia pun menyahut, "KACANG LUPA KULITNYA, LAH!"

Leon tahu, Zayn dan Daniel pasti menyindirnya. Volume suara Daniel sengaja dibesarkan. Leon tahu itu.

"Gue emang demen gonta-ganti cewek, gue juga bisa bagi waktu buat cewek-cewek gue. Gak kayak onoh, lagi sama temen aja masih mentingin ceweknya."

Leon turun dari motor dan berniat menghampiri Zayn. Tanpa aba-aba, Leon justru malah memukul Zayn. "Mulut lo emang kudu dikasih pelajaran!"

"LEON!" Liam membentak dan mendorong dada Leon. "Lo pernah bilang: kalau temen itu saling rangkul, bukan saling pukul! Tapi ini apa? Ucapan lo gak mencerminkan sikap lo!"

Dengan napas yang memburu, Leon pun menjawab, "Iya, gue emang selalu nyelesain masalah pake kekerasan. Kelakuan gue buruk, dan lo semua juga jadi kebawa-bawa gara-gara gue. Leo diserang, Theo masuk rumah sakit, semuanya juga gara-gara gue. Bener kata lo, gue gak becus jadi ketua!"

Setelah mengatakan itu, Leon langsung pergi meninggalkan ketiganya. Beruntung tidak ada guru yang melihat. Hanya ada beberapa murid yang menatap mereka bingung, ada apa sama Leon dan teman-temannya? Pikir mereka.

Leon memilih rooftop sebagai tempat untuk menjadi pelampiasannya. Setelah sampai di sana, laki-laki itu berteriak, mengerang, dan memukul tembok berkali-kali. Dalam kesendiriannya di tempat itu, Leon menangis. Laki-laki yang dikenal kuat dalam hal bela diri itu menunjukkan sisi terpuruknya pada semesta. Pertemanannya hancur, semua orang membencinya. Leon gagal, ia gagal menjadi pemimpin di perkumpulan yang ia bangun sendiri.

Tangan Leon memerah dan lecet-lecet karena terus ia pukulkan pada tembok. Rasa sakit pun tak ia hiraukan. Mengingat kejadian malam tadi membuat ia benar-benar menyesal. Kenapa ia malah menuruti kemauan perempuan itu? Kenapa dengan mudahnya Leon meninggalkan teman-temannya demi perempuan yang belum lama menjadi kekasihnya?

Andai saja dia tidak keluar markas pada malam itu, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Pertemanannya tidak akan hancur seperti ini, dan Theo mungkin masih berada di sini kumpul bersama ia dan yang lain. Ini semua salahnya, salahnya yang tidak becus menjadi seorang pemimpin.

Tanpa Leon sadari, ada seseorang yang sedari tadi mengikutinya. Orang itu masih berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang terus tertuju pada Leon. Eliza, gadis itu menangis dalam diam. Meski sudah menjadi mantan, tapi perasaan Eliza ke Leon masih sama.

"Gue benci diri gue, Tuhaaaan!!!" Leon berteriak yang membuat Eliza tak kuasa hanya berdiam diri saja. Gadis itu pun berlari menghampiri Leon.

"Menyakiti diri sendiri, bukan suatu pilihan untuk menyelesaikan masalah. Membenci diri sendiri, gak akan ngebuat lo keluar dari masalah yang sedang lo hadapi."

Suara itu sudah tidak asing lagi buat Leon. Sudah terlanjur, ia tidak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya di depan orang lain. Kenapa sampai ada Eliza di sini? Ah, biarkan saja. Biar dia tahu, biar dia puas karena sudah melihat seorang Leon juga bisa menangis.

"Kalau bukan diri sendiri, siapa lagi yang bakal nguatin lo?"

"Tinggalin gue sendiri!" Nada bicara Leon terkesan dingin, tanda kalau dia tidak ingin diganggu.

Eliza masih bergeming, ia tidak peduli meski Leon menyuruhnya untuk pergi. "Jangan nyakitin diri lo sendiri."

Leon terkekeh sinis. "Puas kan lo? Puas lo lihat gue sekarang kayak gini? Terus apa kabar sama lo yang udah nyakitin gue?"

"Gue gak pernah nyakitin lo!" jelas Eliza dengan penuh penekanan.

"Oh, gak pernah? Terus yang di—"

"Di kafe? Pelukan sama Farel? Sampai kapan lo mau nyudutin kesalahan gue yang itu? Seolah kesalahan gue adalah cara supaya lo bisa deket sama cewek lain, gitu? Sekali gue bikin kesalahan, lo perlakuin gue layaknya cewek paling hina sedunia. Lo lupa, kesalahan apa aja yang udah lo perbuat ke gue?"

Leon masih bergeming tanpa menoleh pada Eliza. Hatinya memanas, bulir keringat membasahi dahinya, juga dengan giginya yang bergemelatuk. Kemarahan tak kunjung pergi dari diri Leon.

"Hanya karena kesalahpahaman, lo jadiin itu alesan buat selesain hubungan kita? Dan lo beralih ke cewek lain, iya?" Eliza mengeluarkan unek-unek yang selama ini ia tahan. Biarkan Leon tahu, kalau ia bukanlah wanita yang hanya akan diam saja ketika disakiti.

"Gue gak pernah main cewek!" Leon masih berusaha untuk tidak meledakkan amarahnya di hadapan Eliza.

"Iya, emang gak pernah. Dan sekalinya main cewek, lo keterlaluan. Asal lo tahu, Farel yang lo kira dia selingkuhan gue, dia itu temen gue waktu SMP. Salah kalau misalnya 'say hi' sama temen lama?"

Leon masih diam. Pikirannya kembali terseret pada kejadian waktu itu. Di mana dia melihat sendiri bagaimana Eliza dan Farel berpelukan di hadapannya.

"Iya, gue kelewatan karena udah kontak fisik sama Farel. Gue coba jelasin, tapi lo selalu menghindar. Dan sekarang? Lo malah pilih cewek lain dengan bersembunyi di balik kesalahan gue untuk nyerang gue, iya?"

Teman lama? Jadi selama ini...

Leon menoleh pada Eliza, pipi gadis itu sudah basah dengan air mata. "El, gue—"

"Percuma. Udah selesai juga kan hubungannya? Jadi gak ada gunanya juga buat gue ngejelasin ini semua. Maaf kalau gue udah ganggu waktu lo, niat gue ke sini cuman mau lihat keadaan lo doang." Eliza hendak berbalik, tapi ia teringat sesuatu yang membuat gadis itu kembali berujar, "Jangan lupa obatin luka di tangan lo. Dan jangan pernah nyakitin diri lo sendiri karena udah banyak hati orang lain yang lo sakiti. Inget, Yon, kepercayaan itu mahal."

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang