26. Selimut Bernyawa

91 12 3
                                    

Semuanya sudah berkumpul dengan kelompok masing-masing. Panitia membuat peraturan kalau setiap kelompok hanya diberi satu batang lilin sebagai alat penerangan. Ponsel mereka juga disita selama acara jurit malam berlangsung.

Satu batang lilin bagai nyawa buat mereka, kalau saja mereka tidak bisa menjaganya dan membuat api tersebut padam, ya harus siap untuk sampai di garis finish tanpa pencahayaan barang sedikit pun.

Jarak dari garis start ke garis finish sekitar 500 meter. Dan tentu saja itu tidak mudah, akan ada kejutan demi kejutan di setiap jalan yang mereka tempuh untuk sampai ke garis finish yang sengaja panitia buat.

"Gak apa-apa hp disita, gue masih ada korek buat jaga-jaga kalo misalnya nanti lilinnya mati." Zayn mengeluarkan sebuah korek api dari saku celananya. Theo mengacungkan kedua jempol tangan karena ide Zayn yang lumayan bisa diandalkan.

Tamat riwayat Zayn saat Pak Danu mengetahui kalau ia membawa korek api. "Yang membawa korek api, silakan bawa ke hadapan saya, sebelum saya yang mengambil!" pinta Pak Danu yang membuat Zayn menjadi kalang kabut.

"Gimana ini, Yo?" tanyanya pada Theo yang dibalas gelengan kepala oleh laki-laki itu.

"Bandel sih lo. Cari gara-gara aja bisanya!" gerutu Liam.

Karena lama menunggu, langsung saja Pak Danu menyita benda tersebut dari Zayn. "Siapa yang suruh kamu bawa ini?!" tanyanya dengan galak.

Zayn bingung harus menjawab apa. "I–itu cuman nyempil di kantong saya, Pak."

"Saya gak peduli apa alasan kamu, jangan diulangi!" bentak Pak Danu yang membuat nyali Zayn menciut.

Setelah semuanya kembali tertib, Pak Danu kembali memberi arahan supaya semuanya selamat dan tidak ada kendala apa pun.

Waktu menunjukkan pukul 23.30 WIB. Hawa mencekam mulai terasa saat acara jurit malam dimulai pada jam tersebut. Yang pertama tentu saja kelompok satu yang maju, yaitu kelompok Liam dan teman-temannya.

"Oke, buat kelompok satu, tetap jaga kekompakkan. Semoga semuanya selamat sampai garis finish dengan jumlah kelompok yang tetap utuh," kata Pak Danu yang mendapat anggukkan dari kelompok satu.

Pak Agus memberikan satu batang lilin pada kelompok satu. Mereka menunjuk Liam sebagai ketua.

"Gue minta kita tetap tenang. Jangan gegabah, jangan mentingin diri sendiri. Di awal kita berlima, sampai garis akhir juga harus tetep berlima," papar Liam.

Liam berjalan di posisi paling depan diikuti Ana dan Adel yang berada di belakangnya, kemudian disusul Theo dan Zayn yang berjalan paling belakang.

Gelap. Tidak ada pencahayaan apa pun selain dari satu batang lilin yang Liam bawa. Baru beberapa langkah mereka memasuki hutan, hawa dingin mulai menusuk kulit meskipun mereka sudah memakai pakaian tebal. Ana dengan sangat erat memegeng tangan Adel agar tidak terlepas darinya.

Sementara Zayn, laki-laki itu terus merapalkan doa—berharap tidak ada apa-apa di depan sana nanti. Sampai Theo tidak tahan untuk tidak mencibir, "Sok-sokan nakutin si Daniel, lo sendiri takut."

Zayn langsung memasang wajah agar tidak kelihatan kalau ia sedang ketakutan. "Si–siapa yang takut? Gue itu lagi baca mantra biar gak terkena hipotermia. Tahu sendiri kalau di sini itu dingin banget."

"Halah, bilang aja—"

Perkataan Theo langsung dipotong sama Liam, "Lo berdua bisa gak sih gak berisik sekali aja?" Ia risi karena terus-terusan mendengar perbincangan kedua sahabatnya yang tidak berfaedah. Tidak di kelas, tidak di mana, selalu saja ribut. Dengan sekali bentakan, langsung membuat kedua laki-laki itu diam.

Auuummmm

"Aaa!!!"

Belum jauh mereka melangkah, jeritan yang keluar dari mulut Ana dan Adel langsung membuat ketiga laki-laki itu menjadi tegang.

"Eh, lo berdua ngagetin aja!" bentak Zayn, jantungnya jadi berdetak lebih cepat karena mendengar teriakan dari kedua perempuan yang berjalan di depannya. Sialan, ketakutannya semakin menjadi-jadi.

"A–ada suara serigala!" seru Adel dengan suara yang terputus-putus.

Liam berusaha untuk menenangkan anggotanya. "Udah, kalian tenang. Namanya juga hutan, suara kayak gitu udah gak aneh lagi."

"Del, gue gak mau lanjut. Gue takut." Ana menangis dengan napasnya yang memburu. Tidak peduli kalau ia satu kelompok sama anak Leopard, yang jelas ia sangat ketakutan. Mendengar lolongan dari serigala membuat nyalinya menciut.

"Neng-neng yang cantik, jangan takut. Ada abang Zayn di sini yang ngelindungin."

Langsung saja Theo memukul lengan Zayn yang merangkul kedua gadis itu. "Gak usah modus lo!"

"Guys, kita lanjut jalan. Ayok!" ajak Liam. "Jangan jauhan, jangan tengok kanan-kiri, fokus ke depan dan abaikan kalau kalian denger ada suara lagi."

Mereka pikir suara serigala yang tadi itu pertama dan terakhir kalinya sesuatu yang mengejutkan mereka. Tiba-tiba saja terdengar bunyi peluru berdesing yang membuat kelimanya terlonjak kaget. Suara tembakkan itu terdengar begitu nyaring. Bahkan mereka bisa merasakan jaraknya dengan suara desingan peluru itu tidak terlalu jauh.

"Del, gue gak mau lanjut." Ana terus saja meronta meminta untuk kembali ke tenda. Harusnya ia tidak ikut dan diam saja di dalam tenda tanpa perlu ketakutan seperti sekarang ini.

"Na, ini jauh banget. Lo tenang, ya. Mungkin aja ini ulah panitia," kata Adel berusaha menenangkan.

Mata Theo berkeliling menatap ke sana-kemari meski minim pencahayaan. Dada laki-laki itu sampai naik turun dengan napas yang memburu. Tidak. Theo tidak salah lihat. "Ini bukan ulah panitia."

"Maksud lo?" tanya Zayn yang membuat Ana sama Adel menjadi ketakutan. Hawa terasa semakin mencekam saat Theo mengatakan itu.

"Ada orang. Barusan gue lihat tadi dia lari," kata Theo dengan sangat yakin.

"Yo, lo apa-apan sih, ha? Lo mau nakutin kita? Gak gini caranya, bodoh!" bentak Adel pada Theo. "Lo lihat Ana, dia jadi ketakutan!"

Tidak peduli dengan perkataan Adel, Theo tetap yakin dengan apa yang ia lihat barusan. "Gue yakin, gue yakin ini pasti orang lain!" Theo menyingkirkan Liam yang menghalangi jalannya. Ia langsung merebut lilin itu dari tangan Liam. Kemudian Theo berteriak, "KELUAR, LO! GAK USAH CARI GARA-GARA SAMA GUE. KELUAR LO PENGECUT!"

Tak tinggal diam, Liam langsung menahan pundak Theo. "Jangan nambah masalah dong, Yo! Lo tahu tempat. Lo gak lihat kalau kita lagi sama cewek?"

"Gue gak nyari ribut, Yam!" bentak Theo, "gue lihat pake mata kepala gue sendiri, kalau tadi itu ada orang yang lari. Gue yakin dia orang yang nembakin peluru!"

Keadaan semakin kacau saat Theo mulai hilang kendali. Tapi Liam harus tetap menjaga anggotanya untuk tetap sampai garis finish sampai selamat.

Mendengar isak tangis, membuat Theo menoleh pada Ana yang lagi ditenangkan sama Adel. Sementara Zayn, laki-laki itu sedari tadi terus diam tanpa membuka suara. tatapannya pun tampak kosong.

Theo berjalan mendekati Ana dengan sebatang lilin yang masih menyala. Ia memberi kode pada Adel untuk membiarkannya menenangkan Ana. Adel yang mengerti pun, gadis itu mempersilakan Theo.

Ana merasakan sentuhan lembut di pipinya saat jemari Theo menghapus air matanya. "Jangan nangis," pinta Theo dengan suara serak khas laki-laki itu. "Jangan buat gue jadi takut, Na."

Tembok yang Ana bangun, seketika runtuh. Pertahanannya untuk tidak lagi dekat dengan Theo, langsung lenyap ketika laki-laki itu ada di hadapannya.

Suara Theo yang lembut, berhasil mengusir rasa takut Ana. Usapan jemarinya di pipi Ana pun, membuat Ana merasa aman berada di dekat lelaki itu.

Ana masih bergeming, sesaat kemudian, dia merasa sensasi hangat menyelimuti tubuhnya. Theo memeluknya.

"Buat kali ini aja, biarin gue jadi pelindung buat lo," kata Theo.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang