34. Penguntit

69 9 0
                                    

Leon, laki-laki itu berdiri di samping Eliza dan menahan tangan gadis itu yang akan dilayangkan pada wajah Divia. Tatapan Leon datar, bukan lagi tatapan yang senantiasa dia itu layangkan pada Eliza.

"Dia keterlaluan, Yon," adu Eliza pada Leon, "aku gak akan ngelakuin ini kalau dia bisa ngejaga mulutnya!"

Leon kemudian menghempaskan tangan Eliza yang tadi ia tahan. Ia kemudian menghadap Eliza sepenuhnya. Menatap netra gadis yang hari ini bukan lagi kekasihnya. "Yang Divia bilang itu, bener. Lo kayak ulet bulu, gatel."

Seakan mengsugesti untuk diam, perkataan Leon mampu membungkam Eliza tanpa bisa berkata-kata lagi. Sakit. Itu yang Eliza rasakan setelah Leon mengatakan itu. Apalagi saat melihat Leon menarik tangan Divia, kemudian keduanya beranjak meninggalkan Eliza dengan perasaan sakit luar biasa.

Seakan menang dan mendapat pembelaan, tentu saja Divia merasa sangat-sangat senang. Sebelum beranjak, ia memamerkan senyum kemenangan pada Eliza saat Leon lebih membelanya.

"Kasihan banget, cowoknya lebih milih cewek lain," ledek Farah.

"Lo lupa? Leon kan udah bukan cowoknya cewek gatel ini lagi." Gelak tawa menggema saat salah satu teman Farah mengatakan hal barusan.

"Girls, mending kita pergi aja, yuk? Gak betah gue lama-lama deket cewek ulet ini, takut gatel-gatel," ajak Farah yang kemudian gadis itu pergi bersama keempat temannya meninggalkan Eliza yang diam dengan tatapan kosong.

Desas-desus kembali terdengar setelah perselisihan itu terjadi. Membicarakan tentang ketidakbenaran mengenai hubungan Eliza dan Leon yang berakhir. Kabar putusnya tentang pentolan sekolah, tentu saja menjadi bahan gosip yang paling panas hari ini. Eliza juga tidak tahu, siapa yang sudah menyebarkan kabar putusnya ia dengan Leon. Berita itu menyebar luas yang membuat Eliza jadi bahan cemoohan semua orang. Kabarnya, ia yang menduakan Leon.

Lucu, memang, mereka mengumbar kesalahan orang lain seakan mereka tahu segalanya. Mencari titik kelemahan dan kesalahan orang lain memang sangat mudah untuk dilakukan, tapi mereka lupa kalau setiap orang punya letak kesalahannya masing-masing. Semua orang seolah berlomba untuk membuktikan kalau orang itu tidak pantas untuk disanjung, dengan berlindung di balik 'kesalahan' seseorang, menjadikan senjata untuk mereka.

Melihat kerumunan di koridor, membuat Farel mempercepat langkahnya. Ia kemudian mengusir murid-murid yang membuat ia kesal karena terus menggunjing Eliza. "Bubar, semuanya!" Dengan sekali bentakan, Farel berhasil mengusir murid-murid tersebut. Kemudian ia melirik Eliza yang hanya diam dengan mata yang memerah seperti hendak menangis. "El—"

Saat Farel akan meraih tangan Eliza, gadis itu langsung melenggang pergi begitu saja meninggalkan Farel yang menatap kepergiannya. "Gue seneng El kalau lo putus sama Leon, tapi gue gak seneng kalau semua orang fitnah lo kayak gini."

---

Embusan angin membuat dasi yang dikenakan Leon beterbangan ke sana-kemari, laki-laki itu tengah berdiri dengan tangan yang bertumpu pada pembatas rooftop. Hilir mudik siswa-siswi SMA Maheswari di lapangan, membuat ia tidak mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Bayangan tentang Eliza terus mengisi kepalanya. Saat pertama kalinya Leon mengungkapkan perasaan tempo dulu pada gadis itu, sekarang ia tidak percaya kalau hubungan yang ia jalin bersama Eliza, pupus begitu saja. Rasanya sakit, sangat sakit. Gadis itu, tega mengkhianatinya dengan laki-laki lain.

Leon menoleh ke sebelah kiri saat Divia memegang tangannya. Gadis itu sedari tadi terus berdiri di samping Leon. Menemani dia yang sekarang tengah berada di atap sekolah.

"Kamu beneran mutusin dia, kan?" tanya Divia.

"Emang kenapa, Div?" Leon melihat raut wajah Divia yang tampak masam, entah kenapa sama gadis itu.

LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang