31

258 63 138
                                    

Aku kembali. Ya kali rajin up tapi enggak dikomen.

Happy reading!

31. Diantara bahagia atau tidak

Olin menatap Regan dengan pandangan heran. Tak biasanya lelaki itu hanya diam sembari membagikan selembaran. Biasanya lelaki itu akan membantunya dengan mengambil jatah selembaran milik gadis itu. Atau, dia memberikan sekotak susu cokelat, parahnya, kemaren lelaki itu mau mengelap keringat Caroline dengan jaketnya yang putih.

Tapi, hari ini beda. Tidak ada perlakuan mamis yang diberikan Regan pada Caroline. Hal itu membuat Olin sedikit merasa kehilangan. Sedikit lho ya.

"Tanya, jangan, tanya, jangan, tanya ... jangan." gadis itu menghitung kancing kemeja yang ia kenakan siang ini. "Kalau ditanya tengsin. Kalau enggak, aku kepo. Ish dia itu kenapa sih?" gadis itu berbisik.

Tapi, ada sedikit rasa takut dan ragu mengenai lelaki itu. Ia ragu mengenai sikap lelaki itu, apa Regan tulus padanya? Caroline juga takut. Takut semua sikap manis yang Regan tunjukan hanya untuk memanipulasi sikapnya yang jahat?

"Ngapa lo ngomong sendirian? Cosplay jadi orang gila?" gadis itu terlonjak kaget.

"Enggak."

"Iya."

"Enggak."

"Iya."

"Enggak, Regan."

"Iya, Caroline." Regan terkekeh. "Jadi, apa yang bikin lo ngomong sendiri, hm?"

Caroline menggeleng, "Enggak ada ish!"

Lelaki itu menemukan kebohongan di mata Olin. "Yakin, enggak mau jujur?"

Caroline terlihat ragu. "Janji enggak marah?" Regan menggangguk.

"Aku binggung sama sikap kamu."

Kening Regan mengkerut, "Hah?! Binggung? Binggung kenapa?" tanyanya.

"Kamu itu kemaren-kemaren sikapnya manis. Sekarang diem aja. Kan aku jadi binggung, kamu itu suka apa enggak sama aku." Regan tertawa. "Oh, jadi ceritanya pengen gue manis-manisin?" goda lelaki itu membuat pipi gadis itu bersemu.

"Tapi, gue juga binggung sama lo." kini giliran Regan yang merasa binggung. Kok malah kini keduanya saling binggung sih?

"Kok kamu malah binggung sama aku?" Caroline tak terima.

"Ya habis. Lo anggap gue apa? Manusia atau jemuran? Hobi amat ngegantung gue."

Olin manyun. Kan maksudnya bukan mau ngengantung. Dirinya juga harus memastikan apa lelaki itu benar atau tidak.

"Aku enggak bermaksud ngengantung kamu. Tapi, aku itu masih ragu dan takut juga sama kamu." gadis itu mengeluarkan unek-uneknya.

"Kenapa lo masih ragu juga takut sama gue?" agaknya Regan penasaran dengan hal itu.

Olin menghela napasnya. "Aku ... aku ragu sama kamu. Kamu tulus enggak sama aku. Aku juga takut, takut semua sikap manis kamu cuma manipulasi yang dimana suatu saat hal itu berguna untuk kamu," cicit gadis itu. Ucapan yang Caroline lontarkan membuat Regan merasa sedih. Ia akui dulu dirinya jahat. Tapi, bukannya ada ruang untuk lelaki jahat seperti dirinya?

Regan menarik Caroline menuju bangku yang disediakan di depan toko itu.  Keduanya duduk disana. Regan membungkus tangan kanan Olin dengan kedua tangannya

"Demi apapun. Demi apapun itu gue tulus sama lo. Gue bakal jaga lo gue bakal sayang sama lo. Dan, sikap manis yang gue tunjukin itu murni dari lubuk hati gue sendiri. Bukan manipulasi atau apapun itu." Regan benar-benar tulus pada gadis itu.

Regan menatap tepat di bola mata gadis itu. "Lo bisa cari kebohongan di mata gue," ucap lelaki itu. Olin menurut, ia menatap manik mata Regan. Mencari suatu makna yang tersirat di sana. Ternyata, benar. Lelaki itu tulus. Di mata itu, tidak ada kebohongan yang ia temukan.

"Jadi, gimana? Mau enggak jadi pacar gue?" tanya lelaki dengan pakaian hoodie birunya. Jujur, Regan sudah pasrah. Ia hanya pasrah mengenai jawaban apa yang diberikan Caroline kepada dirinya.

Olin mengangguk kaku seraya tersenyum tipis. Hal itu membuat Regan tersenyum lebar. Ia memeluk Olin dan memutar badan keduanya. Membuat gadisnya berteriak kencang.

Siang itu, panas matahari menjadi saksi dimana sepasang anak adam mengutarakan cintanya.

::::::::::::::::::::::::

Di malam pertama dirinya resmi menjadi kekasih seorang gadis, Regan bersiap menjemput mimpi di pukul sembilan malam. Jujur, itu bukan tipikal Regan. Tapi itu adalah pesan singkat yang Caroline kirim. Gadisnya sangat memperhatikan dirinya.

Pintu kamar lelaki itu terketuk. Seorang pria paruh baya memasuki kamar Regan. Thomas menatap sekeliling kamar putranya. Ini adalah hal yang aneh. Untuk pertama kalinya, Thomas mengunjungi kamar Regan setelah ia memasuki menengah atas.

"Tumben Ayah kesini, ada apa?" tanya Regan.

Thomas mendudukan bokongnya di pinggiran ranjang. Tepat di samping anaknya. "Ayah butuh bantuan kamu."

Regan berdecih. "Kemaren dimarahin sekarang sok-sokan dibutuhin," sarkas lelaki itu.

"Regan! Tolong. Ini demi Ayah, Bunda dan kamu. Apa kamu mau lihat Bunda kamu terus-terusan cape kerja?" tanya Thomas.

Benar juga apa yang dikatakan Thomas. Usia Bundanya sudah tak muda lagi. Keriput dan urat-urat kecil mulai nampak di permukaan kulitnya. Tak mungkin Lana terus bekerja demi membayar hutang suaminya yang tak sedikit itu.

Menimang perkataan Ayahnya Regan berujar. "Apa, apa yang bisa aku bantu?"

"Buat Caroline pergi dari rumah ini dan pulang kerumahnya."

Mata Regan terbelalak. "Yah. Ayah udah gila?! Ayah enggak tahu kan Papanya-"

"Ayah tahu Regan. Ayah tahu. Tapi, Leo sendiri yang meminta hal itu pada Ayah."

Regan menggeleng. "Enggak, Pah. Aku enggak bisa."

Thomas menepuk bahu Regan. "You can do it, boy."

"Batas waktunya, dua hari lagi. Itu batas waktu yang Leo katakan." pria itu meninggalkan Regan dalam kamarnya.

"AARGH! ANJING, BANGSAT, BABI," umpat lelaki itu selepas kepergian Thomas. Kakinya melemas. Apa takdir sejahat itu? Regan tahu dan bahkan sangat tahu jika ia hanya mengusir gadis itu secara halus, Olin pasti sulit untuk keluar dari rumahnya.

Satu-satunya cara adalah kembali seperri dulu. Menjadi jahat demi kebaikan Ayah Bundanya. Apa ini terlihat egois?

"I'm sorry, my girl"

T B C

Ya kali update rajin komen sm vote masi sepi. Sungguh! Yang kalian lakukan itu jahat.

Regan & Caroline (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang