50

178 31 28
                                    

Peringatan sebelum membaca!

Adegan yang aku tuliskan tidak untuk ditiru. Jadikan edukasi bukan inspirasi di dunia nyata atau real life kalian.

Jangan pelit vote sm komen. Takut kuburannya sempit

Happy reading!!

50. Lagu pengantar tidur

"Anak sialan!"

Suara itu terlontar dari bibir Leo kala ia dan anak gadisnya memasuki pelataran rumah megahnya. Sedari tadi, tatapan tajam milik pria itu terus mengarah pada Caroline. Membuat gadis itu takut sekaligus gugup.

Pria itu memang sengaja menyuruh sekretarisnya untuk membatalkan jadwal rapat dengan kenalannya. Tujuannya, untuk menjemput putri tunggalnya yang kelewat nakal dan memberi sedikit hukuman. Padahal, pihak sekolah sudah menetapkan hukuman dengan tujuh hari atau seminggu skorsing.

Mulanya, pihak keluarga Dyra menginginkan agar Caroline dikeluarkan atau, istilahnya didrop out. Hanya saja, Caroline memiliki jejak prestasi yang baik. Dan, Dyra sendiri memiliki kasus yang lebih memalukan ketimbang gadis itu membuat Pak Aji dan Bu Ratna sepakat untuk memberikan hukuman skors pada Caroline dan menyelidiki lebih lanjut kasus Dyra setelah perempuan itu sadar.

"SEMUA! TINGGALKAN SAYA DAN DIA DI SINI. HANYA BERDUA." Mendengar perintah mutlak dari tuan besarnya, para pekerja di sana langsung pergi menuju kamar mereka masing-masing.

Setelah memastikan hanya ada keduanya, Leo menatap anak gadisnya dengan marah. Jika dalam serial komik atau anime, di bola mata Leo terdapat api atau laser yang bisa saja mematikan siapapun.

"Duduk," titahnya. "Saya perlu bicara dengan kamu. Ini mengenai perilaku kamu yang sangat menyimpang."

Leo membuka jas hitamnya, menarik lengan kemejanya sampai siku dan melonggarkan dari yang sedari pagi mencekiknya. "Apa bisa kamu bersekolah layaknya anak biasa?" tanya pria itu tanpa basa-basi.

"Maksud Papa?"

Leo menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa. "Bisa enggak kamu jangan bikin masalah?"

"Tap-"

Leo menghembuskan napasnya. "Urusan saya itu banyak. Bukan cuma ngurusin kamu, dasar anak enggak tahu diri." Setelah gelar pembunuh dan pencuri, kini Caroline mendapatkan gelar baru. Anak tidak tahu diri.

"Dari kamu kecil, kamu itu selalu nyusahin saya. Ngapain coba kamu dorong teman kamu itu? Mau cari perhatian?! Atau, emang mau jadi pembunuh sekalian?"

Caroline menggeleng. "Bukan, bukan gitu, Pa. Tadi itu dia jatoh bukan gara-gara aku. Tapi dia sengaja," bantah gadis itu. Ucapannya membuat Leo murka. "Masih mau ngelak? Disaat saksi dan teman kamu bilang kamu dorong dia kamu masih mau ngelak?! Masih untung mereka enggak bawa ke jalur hukum."

"Bahkan, saat ini, saya khawatir dengan keadaan gadis itu." Bagai dihantam batu besar, hati Caroline kini remuk. Dalam hidupnya, baru beberapa kali dirinya dikhawatirkan oleh sang Papa. Bahkan, itu terjadi ketika Caroline masih kecil. Tapi kini, seorang gadis yang bahkan baru diketahui sang Papa beberapa jam yang lalu mampu membuat pria itu khawatir.

Caroline menegakan punggungnya. Matanya bersibobrok dengan mata elang milik Leo. "DYRA! DYRA! DYRA! SEMUA AJA KHAWATIR SAMA DYRA. SEMUA AJA MIKIRIN DYRA." Gadis itu berteriak. Membuat Leo murka. "KECILKAN SUARAMU!" teriak pria itu.

Caroline menggeleng. "Kenapa?! Kenapa aku enggak boleh teriak tapi Papa boleh teriak?" tantang gadis itu. Ia mengangkat dagunya tinggi meskipun pelupuk matanya sudah berair.

"Kenapa, kenapa ... Papa enggak percaya sama aku? Kenapa Papa enggak khawatir sama aku?" tanya gadis itu lirih. Lapisan kaca yang ia tahan kini sudah pecah. Tetesan air matanya terus meluruh.

Caroline menghapus air matanya yang terus turun. "Kenapa Papa enggak pernah mikirin perasaan aku? Aku anak kandung Papa, kan?" Leo kehilangan tutur katanya.

Ragu, Leo mengangguk.

"Kalau aku anak kandung Papa, apa Papa tahu makanan kesukaan aku? Apa Papa tahu alergi aku? Apa Papa tahu keadaan aku di sekolah? Apa Papa tahu kapan aku sakit?" tanyanya beruntun.

Gadis itu menggeleng lemah. "Enggak, kan, Pa?"

"Bahkan, hari ini aja, Papa malah ikut nyalahin aku. Bukannya bantuin cari akar permasalahannya."

Leo hendak berucap, namun, lantunan kata dari anaknya membuat dirinya bungkam. "Kalau Papa aja gak percaya, terus gimana yang lain bisa percaya sama aku?" tanyanya retoris.

Caroline mengangguk, "Iya, di sini aku yang salah. Aku salah kenapa aku ada di kehidupan Papa dan Mama." Caroline meninggalkan Leo dengan seribu kebungkamannya.

********

Hal yang paling menyakitkan adalah ketika ekspetasi kita berbanding terbalik dengan realita yang ada.

Sama halnya dengan Caroline. Gadis itu kira dengan berpindahnya ia sang Papa bisa menerimanya. Ia kira, sang Papa sudah mulai memihak dirinya. Ternyata itu semua kira yang yang tak terkira.

Masih dengan seragamnya, Caroline bangkit, gadis itu mengambil selembar kertas, silet, dan pulpen.

Dengan telaten, ia menggambar beberapa orang yang berdiri di sana. Perempuan itu menggambar dengan tetesan air mata yang jatuh.


"Semuanya perlahan pergi, semuanya bohong," ucapnya.

Ia terus menggoreskan pena itu pada kertas yang ia bawa.

"Mama janji enggak ninggalin kamu, sayang."

"Gue mau lo harus bersama gue sampai kapan pun."

"Panggil nama gue tiga kali. Zio, Zio, Zio."

Faktanya semuanya bohong. Ia sangka, Mamanya takkan berpisah dengannya. Ia sangka, Regan tidak akan meninggalkannya. Ia kira Zio akan ada terus untuknya.

Nyatanya, itu hanya ucapan penenang.

Gadis itu mencengkram silet yang ia ambil. Membuat telapak tangannya mengeluarkan darah. Gadis itu berusaha mengendalikan napasnya.

Meskipun darah itu terus keluar, tapi ia belum merasa lega. Hatinya terus merasa sesak.

Tangannya mengambil satu bingkai foto. Netranya menatap wajah dirinya ketika kecil saat dipeluk oleh sang Mama.

"Mama udah enggak ada. Kenapa sekalian kenangannya juga gak ada." Gadis itu membanting bingkai foto tersebut. Membuat beberapa kaca yang pecah berceceran.

Ia mengambil salah satu kaca yang terlihat runcing. "Atau, aku-nya aja yang enggak ada." Caroline berniat untuk menggoreskan ujung kaca itu pada lengan kanannya. "Kata orang, pakai kaca lebih nikmat ketimbang pake silet."

Baru saja ujung kaca itu bersentuhan dengan kulitnya yang putih, satu suara ponsel, menghentikan aksinya. Membuat gadis itu tanpa sadar menjatuhkan kaca itu dan membuka pesan.

Di sana, ada satu pesan suara tanpa nama. Membuat kerutan di dahi Caroline terpampang jelas. "Ini siapa?"

Demi mematikan rasa penasarannya, Caroline mendengarkan pesan suara itu. Ternyata itu lantunan lagu tidur yang biasa dinyanyikan oleh Lusty semasa ia hidup sebelum meninggal. Lagu twinkle-twinkle little stars. "Ini suara ... suara Mama,"lirihnya. Gadis itu terus mendengarkan lantunan itu dengan baik.

Bagai dihipnotis, Caroline merebahkan dirinya di kasur. Mencari posisi nyaman. Dan berakhir dengan terlelap.

Beberapa menit setelah gadis itu terlelap. Satu pesan kembali muncul.

+6282569652xxx
Tidur yang nyenyak, cantik. Sebelum besok kamu gak bisa tidur.

T B C

cuma mo blg jangan pelit sama komentar. Nanti kuburannya sempit. Hehe

See u

Regan & Caroline (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang