02

24.6K 2K 93
                                    

Aston mengusap wajahnya kasar. Dirinya sekarang hanya bisa menatap sang adik dari kaca ruang rawat yang sudah berlumut itu. Penjelasan dokter tadi membuat penyesalannya semakin membesar.

Trauma

Kata - kata tersebut terus terulang dari mulut dokter. Kepala Aston memberat. Ia tidak bisa menopang lagi kepalanya. Kepalanya jatuh tertunduk dengan kedua telapak tangan memegang leher bagian belakangnya.

Aston terisak.

"Maaf," lirihnya, ia berusaha mengadahkan kepala lagi melihat sang adik yang menatap kosong langit - langit ruangan. Para petugas medis terlihat mengelilinginya, membersihkan luka - lukanya yang sempat terbuka. Aston memegang jendela berlumut itu. Terisak lagi.

"Tuan muda," Dion berlari menuju tuan mudanya itu. Dion sempat tertegun sejenak melihat air mata yang meluruh dari kedua mata Aston sebelum memberikan minuman kepada tuan termuda.

"Pindahkan rumah sakitnya," Aston mengusap matanya kasar menghasilkan mata memerah yang terlihat menyeramkan.

"Ya?" Dion seperti tidak mengerti dengan tabiat tuan mudanya itu kali ini.

"Pindahkan rumah sakitnya, buat cepat, jika ayah tidak mau membayarnya, aku akan," Aston mengangkat telapak tangannya menyuruh Dion untuk segera melakukan perintahnya. Dion meski kebingungan tetap menunduk dan berlalu ke meja administrasi.

Setelah Dion meninggalkannya sendiri Aston meminum air yang diberikan oleh Dion tadi dengan cepat. Ia menahan nafasnya beserta amarah yang menyeruak ke ubun - ubun.

PLAK!

Suara plastik yang beradu dengan lantai terdengar begitu keras di lorong yang sepi ini.

"Jika Deshire benar - benar mendorong Angel, tidak akan lepas dia kali ini," Aston berucap dengan penuh ambisi di setiap kata - katanya.

.

.

Angel memandang ruangan sekelilingnya yang terlihat jauh lebih baik ini. Angel tidak bisa mengingat ruangan apa yang ia tempati saat ini. Lantai kamar rawat ini terbuat dari marmer dan bersih, tidak ada kasur bekas milik pasien lain di ruangan ini, sofabed berwarna hitam elegan terletak di ujung ruangan, dan seakan tak cukup mewah, ruangan ini dilengkapi televisi yang menggantung di hadapan kasur rawatnya. Ruangan ini terlihat sangat, sangat mewah.

Nihil.

Tidak ada satupun ingatan Angel yang membawanya ke tempat ini. Seingatnya, setelah ia bangun dari koma, ia hanya menghabiskan waktu penyembuhannya yang membosankan sendirian di rumah sakit tua yang kumuh. Seperti saat ia terbangun tadi.  Namun mengapa sekarang ia berada di sini?

Tangannya mengenggam selimut tebal yang menutupi badannya dengan erat. Selimut ini hangat tidak seperti saat ia di rumah sakit tua itu. Dalam ingatannya, Angel melihat dirinya menggigil kedinginan setiap malam karena selimut tipis yang hanya menutup kedua kaki kecilnya. Tidak seperti selimut tipis saat itu, selimut yang ia kenakan saat ini sangatlah harum tidak ada bau pesing ataupun apek yang dihasilkannya. Angel menaikkan selimut itu sampai ke hidungnya.

'Bahkan selimutnya besar,' pikiran Angel berbicara sendiri mengamati selimut yang sangat nyaman ini untuknya. Angel menghirup aroma deterjen yang harum ini kuat - kuat. Merasa tenang setelah aroma artificial dari deterjen ini memenuhi indra penciumannya.

'Aku belum pernah mencium aroma seharum ini,'

'Apa aku boleh membawa ini nantinya?' Angel berbicara dengan dirinya sendiri. Seketika Angel teringat keadaan rumahnya.

'Aku tidak ingin pulang, bolehkah aku tinggal di sini? Atau aku harus kembali ke kolong jembatan saja? Bukankah itu lebih baik?' Angel meremas selimutnya merasakan ingatan dimana ayahnya menampar dirinya karena 'menuduh' Deshire tepat setelah ia pulang dari rumah sakit. Rasa sakitnya masih diingat oleh Angel. Angel memejamkan matanya erat.

AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang