38-Berusaha bangkit

1.8K 111 8
                                    

Varent masuk dengan sepelan mungkin agar tak menimbulkan suara. Namun, saat mendekat ke tempat tidur ia melihat Senja sudah bangun, tapi hanya diam menatap atap langit-langit.

Varent memilih duduk di tepian kasur dan mulai mengelus lembut surai milik Senja. Tak ada yang memulai percakapan hanya keheningan, tapi terasa sebuah kehangatan hingga merasuk dalam hati Senja.

Entah sejak kapan matanya mulai memanas dan meneteskan air mata. "Hiks ... h-hiks ... hi-hiks ...."

Merasa tangisan Senja semakin keras, Varent mengubah posisinya menjadi berbaring menghadap Senja dan mendekap erat adik sepupu tirinya itu. Bahkan Varent menganggap Senja sebagai adik kandungnya.

Tangisan Senja menggema dalam ruangan, membuat hati Varent seperti tertusuk ribuan jarum. Jika saja ada cara untuk memindahkan kesedihan Senja, Varent akan menerimanya dengan senang hati.

Ia lebih memilih dirinya yang merasakan sakit ketimbang Senja yang harus menerimanya. Dada semakin sesak seperti ingin mengeluarkan sesuatu yang sudah ditahan.

Varent sudah tidak kuat lagi menahannya, perlahan lelehan air jatuh dari matanya. Semakin deras, ketika mendengar tangisan Senja semakin menyayat hatinya.

Mereka menangis berdua dan saling menguatkan dengan cara berpelukan. Senja semakin mengeratkan pegangannya di leher Varent, dia membenamkan wajahnya dalam dada bidang Varent yang sudah basah akan air mata.

Tanpa disadari ada dua orang tepat di depan pintu kamar Senja.

Beberapa menit sebelumnya ....

Aezar dan Abi menatap Varent yang keluar ruangan, tapi tak lama Aezar dan Abi mengikutinya dari belakang dengan diam-diam. Keduanya juga khawatir dengan kondisi Senja, jadi memutuskan untuk mengikuti Varent.

Setelah lima menit tak ada suara itu membuat Abi khawatir. Ia takut terjadi sesuatu pada Putri kesayangannya. Namun, saat akan membuka pintu, Aezar menahannya sembari menggelengkan kepala seakan mengatakan untuk menunggu.

Benar saja samar-samar mulai terdengar suara, tapi bukannya suara obrolan justru tangisanlah yang mereka dengar. Mendengar itu membuat jantung mereka seakan berhenti sesaat. Belum lagi suara tangisan yang semakin menyayat bagian dalam tubuh keduanya.

"Apa Daddy sudah yakin dengan keputusannya?" celetuk lirih Aezar yang tak ditanggapi oleh Abi.

Varent masih berusaha untuk menenangkan Senja yang masih sesenggukan. "Kamu tenang, Sayang!" tangan Senja meremat kuat pakaian Varent.

Dengan setia Varent terus mengelus kepala Senja diikuti kata-kata penenang yang keluar dari mulutnya. "Udah ya!"

Butuh waktu 30 menit hingga Senja benar-benar berhenti menangis. Posisi mereka masih sama tak ada yang berubah, hingga Senja mencoba bangun dan duduk dengan bersandar di sandaran kasurnya.

Varent pun ikut duduk di samping Senja. Ia menatap lekat wajah Senja, walau dengan mata yang bengkak itu tak menyurutkan kecantikannya. Dia tak mengagumi Senja sebagai seorang wanita, dia murni menganggap Senja sebagai adik.

"Abang, tahu kamu sekarang sedih karena Tante Inez udah nggak ada. Tapi, bukan berarti kehidupan kamu juga berakhir. Justru mulai sekarang adalah awal dari kehidupan baru kamu, awal kehidupan kamu bersama kami. Abang, nggak paksa kamu untuk cepat menerima semua, hanya aja Abang mau kamu mengikhlaskan dulu kepergian Tante Inez. Kamu nggak perlu mikirin yang lain dulu," ucap Varent dan mulai meraih pundak Senja agar menatapnya.

"Yang perlu kamu inget adalah Abang, Bang Aezar, Bang Gara, dan Daddy bakal selalu ada di samping kamu hingga kamu mulai bangkit lagi. Kamu nggak perlu takut setelahnya kita akan pergi, karena kami akan selalu ada buat kamu." Varent menatap mata Senja dengan lembut. Ia hanya ingin Senja paham bahwa ia mengatakannya dengan jujur dari hatinya.

Senja " Di Siang Hari " Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang