42-Rumah baru

1.4K 100 34
                                    

Senja terdiam mendengar perkataan sang Ayah. Apa katanya pindah?

Apa maksudnya ini?

Pindah ke mana?

Apa jangan-jangan ....

"Apa maksud Ayah dengan pindah?" ucap lirih Senja.

"Sayang, kamu tahu kan kalau Ayah nggak setiap hari bersama kamu. Ayah punya harus bekerja begitu juga dengan Aezar. Kami hanya ingin kamu mendapatkan pengawasan," ucap Abi menjelaskan maksudnya.

"Pengawasan? maksudnya Ayah Senja nakal?" sahut Senja dengan suara yang pelan.

"Bukan, Ayah hanya mau kamu baik-baik aja, sayang. Jadi, mau kan ikut pindah?"

"Baik-baik aja? apa Ayah bisa jamin bahwa istri Ayah nggak bakal ngapa-ngapain Senja? apa Ayah bisa jamin kalau anggota keluarga Ayah yang lain bakal nerima Senja?" ucap Senja bertubi-tubi dengan suara serak seperti orang menahan tangis.

"Lagi pun aku udah bilang kan, Ayah bisa pilih aku atau istri Ayah. Jika Ayah memilih istri Ayah sebaiknya Ayah tidak kemari lagi, karena aku tidak akan mau meninggalkan rumah ini."

Sungguh ini sulit bagi Abi. Ia sama sekali tak ingin memilih di antara mereka berdua. Keduanya sangat berharga baginya dan memiliki tempat masing-masing di hatinya.

"Sayang, Ayah nggak bisa milih di antara kalian. Ayah tahu ... Ayah nggak bisa jamin semua yang kamu katakan. Kamu benar, tapi Ayah akan usahakan Senja. Ayah tidak ingin kamu merasakan kesepian."

"Begitu ya, jadi tolong beri waktu Senja sendiri." Senja berjalan begitu saja menuju kamarnya tanpa memerdulikan orang yang masih bolak-balik mengangkat barang.

Abi dan Aezar hanya mampu diam melihat punggung Senja semakin jauh hingga tak terlihat. Aezar mengalihkan pandangannya sebentar  ke Abi sebelum meninggalkan tempat tanpa berkata apapun.

Senja berjalan dengan cepat menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya. Dia menangis sejadi-jadinya saat berada di dalam kamarnya.

"A-aku tahu seka-rang Ayah udah nggak a-ada hubungan lagi, selain a-aku anaknya. Tapi, hiks ... hiks .... Aku benar-benar hiks ... tidak i-ingin meninggalkan rumah ini. Hhuuaaa ... hanya hiks ... rumah ini yang me-membuatku seakan hiks ... de-dekat dengan Ibu hiks ...  hu-hu ... hiks ...."

Senja terus terdiam hingga langit senja datang. Setelah puas menangis, Senja berjalan menuju balkon dengan wajah sembab. Matanya menatap langit berwarna oren itu.

Jika Senja diminta memilih antara pagi, siang, sore atau malam dengan tegas ia akan memilih siang hari. Waktu yang membuat dunianya seakam terus bercahaya.

Membuatnya terus bersemangat. Walau terkadang ditutupi oleh awan hitam, tapi matahari mampu kembali dan menyinari dunia seperti  semula. Senja kagum dengannya dan dia berharap bisa melakukannya seperti  matahari yang terus bersinar.

Benar!

Dia tidak boleh menyerah di sini. Apa mungkin pindah adalah keputusan yang tepat? yang pasti Senja tahu bahwa Ayahnya sudah memikirkan ini dengan matang. Tapi, entah kenapa dirinya merasa ragu.

"Sayang!"

Tiba-tiba terdengar suara dan ketukan dari balik pintu. Sepertinya ia Senja tahu siapa orang dibalik pintu itu. "Sebentar!" seru Senja sebagai balasan.

"Ada apa, Bang?" ucap lirih Senja.

"Sekarang kamu makan ya, Abang udah dengar semuanya dari Bang Aezar. Abang juga mengerti kenapa kamu menolak untuk pindah, untuk sekarang jangan pikirin dulu. Sekarang kamu makan dulu biar nggak sakit, okey," ucap panjang Varent.

Senja " Di Siang Hari " Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang