"Apa maksud kamu dengan tinggal sendiri?" ucap Hayden mencoba memastikan.
"Bukannya, aku ngomong udah jelas. Aku mau tinggal di rumah aku sendiri, Kak," sahut Senja mengulangi perkataannya.
"Maksud Kakak, kemapa kamu mau tinggal sendiri?"
Senja diam dan bangun dari posisinya sebelum kembali mengangkat suaranya. "Bukankah setelah semua kejadian ini Kakak nggak bisa menyimpulkan kenapa aku mau tinggal sendiri?"
Mendengar hal tersebut membuat Hayden terdiam, bukannya ia tidak mengetahuinya bahkan ia sangat memahami hal tersebut. Namun, ia mencoba untuk mengabaikan fakta tersebut.
"Apa perlu aku perjelas? Selama aku tinggal di rumah ini nggak ada satu hari pun untuk aku merasa sangat nyaman, nggak ada Kak! Setiap hari aku selalu gelisah, memikirkan hal apa yang akan terjadi setelah ini. Apa Kakak tau gimana aku kalo terus-terusan kaya gini, AKU BISA GILA KAK!" sahut Senja dengan emosi.
Semakin ke sini, emosinya tidak mudah ia kontrol. Sesekali ia sering kelepasan saat berbicara dan Senja sadar akan hal itu. Maka dari itu ia memilih untuk meninggalkan rumah yang selalu membuat dadanya tertekan.
Setidaknya Senja ingin satu hari saja tidak ada hal yang dirinya pikirkan. Tidak ada yang menjadi beban pikirannya dan semua kembali normal seperti dulu.
Ah ... Senja lupa bahwa semuanya tidak akan seperti dulu. Saat ini Ibunya sudah tiada, artinya akan ada sebuah perbedaan besar ketika dirinya menempati kembali rumah itu.
Rumah yang menjadi kenangan dirinya bersama Ibunya. Dimana ia menghabiskan waktu bersama Ibunya sembari menunggu sang Ayah kembali.
Namun, sekarang semuanya sudah berubah. Tidak akan ada hari dimana ia terseyum senang pada Ibunya karena mendapat kabar bahwa Ayahnya akan kembali.
Walau begitu, menurut Senja itu akan lebih baik dari pada kembali ke rumah yang besar, tapi tidak ada sebuah ketenangan di dalamnya.
"Kenapa Kakak diem aja?"
"Sayang, lebih baik kita bicarain ini ketika ada Daddy ya. Karena Kakak nggak bisa gitu aja ngomong apalagi Daddy kan juga Ayah kita, lebih baik sekarang kamu tidur nanti kita bicarain lagi ya," ucap Hayden sembari membaringkan Senja yang duduk bersandar.
Tanpa membantah Senja memejamkan matanya yang sebenarnya sangat segar itu. Namun, Senja sangat membutuhkan ketenangan untuk suasana hatinya.
Mungkin saja tidur menjadi jawaban atas lelahnya pikirannya. Untuk sekarang Senja hanya bisa berharap bahwa esok hari suasana hatinya telah membaik dan dapat mengobrol dengan kepala dingin tanpa emosi.
Karena hal ini sudah ia pikirkan sejak lama. Bukan hanya sekali ia berpikir untuk berpisah rumah dengan sang Ayah. Apalagi dengan semua kejadian yang ia alami bahkan sebelum dirinya tinggal bersama Ayahnya.
Hayden yang melihat Senja telah tertidur lelap pun menghela napas lega. Entah jawaban apa yang akan keluar ketika hal ini terus berlanjut. Hayden hanya takut ia tersulut emosi saat mereka berbicara.
Sebenarnya Hayden memahami betul mengapa adik perempuannya memiliki keinginan seperti itu. Perilaku-perilaku yang Senja terima dari Mommynya sendiri yang membuatnya tidak nyaman.
Bingung? Jelas Hayden ragu untuk bertindak, karena menurutnya Ibunya jug merupakan korban sehingga hatinya tersakiti. Mungkin seharusnya dirinya lebih perhatian pada Mommynya agar tidak tersulut emosi.
Hayden pun semakin terlarut dalam pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari rasa kantuk yang datang dan membuat matanya terpejam.
Sinar matahari mulai menembus melewati celah-celah gorden. Hayden yang terganggu pun mulai membuka matanya. Seketika dirinya terkejut ketika melihat waktu yang sudah menunjuk pukul 07.00 WIB pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja " Di Siang Hari "
Teen Fiction(FOLLOW AUTHORNYA DULU OKEY!!) Senja seorang gadis berusia 16 tahun, dia adalah gadis yang ceria dan ramah. Ia memiliki orang tua yang lengkap, namun ada yang yang janggal. Ayahnya tak pernah menginap di rumah selama 16 tahun Senja hidup. Memang set...