"PULANG SAMA SIAPA, LAURA!?" bentak Arasya membuat tubuh gadis itu menjadi kaku dibuatnya.
"Hikss.."
Arasya mencengkram kedua bahu Laura dengan kuat dan menatap tajam wajah Laura.
"Aku gak butuh tangis kamu, aku cuman butuh jawaban dari kamu!" ucap Arasya penuh penekanan.
Kepala Laura masih tertunduk tak berniat untuk melihat balik Arasya, "Hiks.. M-maafin guee. Syaa," lirih Laura.
"Jadi kamu salah, iya? Makanya minta maaf. Tapi aku nanya, kamu pulang sama siapa?" ulang Arasya seraya mengangkat kepala Laura agar mau melihatnya.
Laura masih tetap menangis meskipun volume bicara lelaki itu diturunkan.
"Gue g-gak bisa dibentak kaya tadi, s-sya." Jujur Laura memandang sendu mata lelaki yang ada dihadapannya itu.
"Tadi sehabis p-pulang sekolah gue pergi ke rumah Adami, tapi saat gue pulang ada om-om jahat yang godain gue," jelas Laura.
"Terus?"
"Gue ditolongilah sama Raka, temen sekelas gue disekolah." Sambung Laura menjelaskan dengan cukup jelas.
Tangan Arasya mulai mengendur setelah tadi memegang pipi Laura.
"Kenapa harus nangis kalau emang kamu mau jelasin itu?" tanya Arasya heran.
"Gue gak bisa dibentak, syaa. Lo tau kan rasanya dibentak sama orang itu menyakitkan? Apalagi dibentak sama orang yang kita sayang. Gue ga sanggup masalah ginian, Hikss." sahut Laura dengan suara segukan yang masih tersisa.
Arasya menatap Laura lebih tenang dari sebelumnya, "Masuk kamar dan mandi!" titah Arasya lalu pergi meninggalkan Laura seorang diri.
....
Setelah Laura menyelesaikan ritualnya di kamar mandi ia segera mengemas buku-buku untuk dibawanya esok kesekolah.
"Laura. Aku boleh masuk?" tanya Arasya.
"Yaa,"
Tubuh Arasya sudah masuk sebagian kedalam kamar Laura lalu lebih dekat lagi ke tubuh gadis berpiyama biru yang sedang duduk dimeja belajar.
"Mau apa?" tanya Laura tanpa memandang Arasya.
"Aku minta maaf," urai Arasya melontarkan tujuannya masuk kedalam kamar Laura.
"Tentang?"
"Tentang aku bentak dan marahin kamu tadi," sahut Arasya.
"Gausa dipikirin, gue udah maafin lo kok. Jangan diulangin lagi ya," pinta Laura yang langsung diangguki oleh Arasya.
Laura tersenyum manis melihat Arasya yang masih setia berdiri disamping tubuhnya, "Kapan kita cari Ibu?" tanya Laura lirih.
Jam di dinding telah menunjukan pukul 05.30, Laura segera terbangun dari tidurnya dan bersiap untuk menyiapkan beberapa menu sarapan pagi ini.
"Bi Maè, biar saya aja yang masakin buat Arasya hari ini," ucap Laura disaat Bi Maè sudah mulai mencuci bahan masakan.
"Oh silahkan, non. Tapi bibi juga bantu ya," kata Bi Maè.
Laura dan Bi Maè dengan cekatan memasak di dapur, Laura memasukan beberapa sayuran kedalam air mendidih sedangkan Bi Maè memotong sayurannya.
"Pas gak Bi rasanya kira-kira?" tanya Laura menyuapi kuah sayur yang sudah ditiupnya kedalam mulut Bi Maé.
"Enak pisan atuh ini mah, neng." puji Bi Maè.
"Makasi, Bi"
Setelah selesai menyiapkan hidangan pagi Laura segera membangunkan Arasya dan makan bersama di ruang makan yang berada dibawah tangga.
....
Seperti biasa dan sesuai dengan jadwal, Laura beserta beberapa temannya ikut serta sapa pagi dan tentunya Lauralah yang mengecek kesiapan para siswa dan siswi yang masuk ke dalam gedung sekolah.
"Jangan lupa buat seragamnya dimasukin!" ucap tegas Laura disaat melihat beberapa murid yang masuk.
"Eitss kamu minggir dulu dan eh eh kamu juga," kata Laura menyuruh beberapa siswa untuk menepi sebentar.
"Eh lo juga,"
Laura mendekati beberapa murid tadi seraya memegang penggaris besi ditangannya.
"Kamu kenapa gak masukin baju kedalem celana?" tanya Laura pada siswa kelas sepuluh.
"Maaf k-kak, tadi buru-buru turun dari angkotnya." sahut siswa itu sedikit terbata-bata.
"Alasan klasik," ucapnya lalu berpindah ke siswa yang ada disebelahnya.
"Kamu kenapa gak pake ikat pinggang?" tanya Laura menunjuk celana siswa kelas 10 dengan penggaris besinya.
Siswa itu menunduk sekejap, "Rusak nih kak," sahutnya sambil menunjukan ikat pinggang yang rusak.
"Beli! Kalau gak punya uang gue yang bayarin," titah Laura.
Laura berjalan menuju siswa yang sudah sangat ia kenal di sekolah Bina bangsa ini dan tersenyum miring melihat siswa teladan yang kena razia dirinya.
"Arkana Putra seorang ketua Osis yang terkenal teladan akhirnya kena juga yaa sama gue," ujar Laura seraya menepuk-nepuk penggaris panjang ke telapak tangan miliknya.
"Kenapa lo gak pake DASI?" ucap Laura sambil penuh penekanan dikata 'dasi'.
"Hehe, lupa." jawab polosnya.
"Kalian berdua push up sepuluh kali," titah pada siswa kelas 10.
"Dan lo dua puluh kali,"
Laura pergi meninggalkan beberapa murid menuju tempat awal bersama para guru piket yang ada pada pagi ini.
Triiing...
Bel masukpun berbunyi, Laura segera duduk dibangkunya bersama Adami, sahabatnya.
"Lo udah sehat?" tanya Laura.
"Udah dong makanya bisa dateng lagi ke sekolah juga," sahut Adami.
Laura mengangguk perlahan, "Nanti ada yang mau gue omongin tapi di Cafe biasa aja ya," ucap Laura yang langsung ditanggapi Adami dengan ancungan jempolnya.
TBC
'Please lah Kata Ini Bukan Nama Penyakit'Catatan :
Kalau Ada Typo Disetiap Part Mohon Dikasih Tau Karna Authornya Gak Cek Ulang Lagi :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aktor Itu Suamiku [SELESAI]
Teen Fiction{ŚÉĹÉŚĄÌ} "AWALNYA EMANG MEMBOSANKAN, TAPI DIHARUSKAN UNTUK DIBACA TERUS" Hati Dan Pikirannya Sangatlah Bertolak Belakang, Apalagi Dengan Tujuannya. Banyak Yang Diinginkan Oleh Aktor Muda Itu Dari Perjodohannya Dengan Seorang Gadis Sederhana Berum...