3. Membobol Rumah Cogan

14.5K 1.2K 68
                                    

Temanku Heidi adalah orang yang sama penganggurannya denganku sekarang. Dia memang bukan berasal dari kalangan yang sama denganku. Kami bertemu dan berteman sejak kuliah. Heidi sempat bekerja di perusahaan asuransi selama tiga tahun sebelum berhenti untuk menikah. Meski meragukan, Heidi mengaku sebagai istri yang kompeten mengurus suami. Berhenti di mengurus suami saja.

"Gue ini jago kali ngurus suami. Coba lo tanya lakik gue, puas gak sama pelayanan gue selama ini. Huahaha... Meski kita ini pihak yang didominasi gak ada salahnya paham dan ahli di gaya-gaya..." Bla-bla-bla-bla. Aku malas meneruskan betapa handalnya Heidi menyenangkan suaminya. Isinya tidak lulus sensor semua. Kadang aku heran siapa sih yang penulis novel bejat. Cerita Heidi bisa lebih panas dibanding novel yang kutulis.

Tapi hanya itu yang Heidi bisa banggakan sebagai seorang istri. Sebab ia sangat payah mengurus yang lain. Memasak, bersih-bersih rumah, semua dilakukan pengurus rumah tangganya. Ditambah Heidi dan suaminya sepakat untuk pacaran dulu dan menunda punya anak sampai satu tahun ke depan. Jadilah Heidi punya banyak waktu memikirkan ide bodoh. Salah satunya seperti sekarang ini.

"Kita bobol rumahnya."

Aku terpekur di kursiku. Tanganku masih memegang setir. Mesin mobilku baru saja mati. Sekitar sepuluh meter di depan terdapat sebuah rumah minimalis bergaya kontemporer. Tampak anggun sekaligus maskulin dengan perpaduan warna putih, hitam, dan cokelat dari kayu di beberapa bagian.

"Jadi lo ngajak gue ke rumahnya malam-malam begini buat jadi maling?"

"Gimana lagi coba?"

Aku sendiri juga tidak tahu. Tapi masa jadi maling? Maling ini lho, maling.

"Kalau ketahuan kita bisa dipenjara, Di. Ini lebih malu-maluin lagi kalau gue ditangkap polisi karena bobol rumah orang."

"Tinggal gak ketahuan kan. Lagian asisten rumah tangga Bang Aksa pulang jam delapan malam. Sedangkan dia seringnya pulang lewat tengah malam."

"Dia ngapain aja baru pulang jam segitu? Dugem ya?"

"Sembarangan. Kerja lah. Dia memang agak aneh. Orang-orang biasanya benci kerja, tapi dia senang kerja sampai mirip kecanduan."

Memang aneh sekali orang itu. Kalau dia normal aku pasti tidak akan sesusah ini.

"Bisa aja kan sekarang dia udah pulang dan kerja di rumah."

"Enggak," Heidi mengeluarkan sesuatu dari tas yang ia bawa."Suami gue bilang dia masih di kantor."

Aku lupa suami Heidi salah satu kacung di kantor Aksara.

"Eh, eh, apa itu?" Aku mendelik melihat benda serbahitam yang dikeluarkan Heidi.

"Biar totalitas lo pakai ini ya."

Pakaian maling? Dan apa pula itu? Kupluk? Dia mau aku berdandan seperti maling di film-film. Menerobos masuk rumah bujangan saja sudah keterlaluan.

Kusorong benda itu dari hadapanku."Gue gak mau, Di. Lo gila. Kenapa gak pakai cara normal aja sih. Dia kan abang sepupu lo, elo pasti bisa dong pura-pura datang berkunjung terus nyari di mana novel gue berada."

"Gue belum cerita, ya?"

"Apaan?"

"Semalam gue coba-coba mau jadi pahlawan karena gak ada kerjaan." Tuh, apa kubilang. Perempuan ini begitu luang sampai pikirannya tidak sehat lagi.

"Gue datang bertamu pas Bang Aksa gak di rumah. Walau keluarga, jujur aja gue gak dekat sama dia. Baru kali ini juga gue datang ke rumahnya sendiri. Gue pura-pura mau ke kamar mandi sama Bi Lilis. Nah..."

"Nah apa?" ucapku tanpa sadar sudah maju lima senti ke depan.

"Niatnya sih gue cuma mau pura-pura ke kamar mandi, aslinya mau periksa kamarnya Bang Aksa, tapi gue gak berani. Alhasil gue cuma diam selama tiga puluh menit di kamar mandi sebelum permisi pulang."

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang