Benar-benar sial. Akhir-akhir ini aku lupa dengan misi mendapatkan novelku kembali gara-gara tingkah Aksara. Seharian di rumahnya aku cuma berpikir kapan dia pulang. Rasanya seolah aku ini istri posesif yang tidak bisa ditinggal lama-lama oleh suami yang sedang bekerja.
Dan yang lebih sial lagi. Deathline novelku tinggal dua hari lagi.
UWO...!
"Padahal lusa harus diserahin, kenapa gue malah sempet-sempetnya nanyain Minna tentang adiknya Aksara." Aku tertawa parau. "Emang apa hubunganya sama elo, Cenora, adiknya itu mau ngapain. Urusin aja hidup lo yang gak keurus ini."
Aku terpekur memandangi ponselku dengan posisi telungkup di atas kasur. Mempertimbangkan apakah harus menelepon Malik dan meminta deathline diundur.
Pasti tidak masalah kan? Galak-galak begitu Malik tetap orang baik. Paling telingaku bengkak besok pagi.
Atau... aku mengaku saja pada Aksara. Akhir-akhir ini dia bersikap baik dan akrab padaku. Mungkin dia akan tertawa keras mendengar ide gilaku, lalu mengatai penampilanku sekarang, kemudian kami akan tos bareng dan naskahku kembali dengan selamat.
Iya, maunya sih begitu.
Tapi ada kemungkinan lain yang lebih menakutkan. Aksara hanya baik pada Inem. Saat dia tahu sosok Inem yang bersahaja adalah penipu, yang mana penipu itu adalah orang yang selama ini membuatnya kesal tidak jelas, maka..., maka... Ah, kurasa hidupku bisa langsung berakhir kalau dia tahu. Bukannya kembali dengan selamat, Aksara mungkin langsung mentransfer naskahku ke pembakaran sampah.
"Jadi kamu ini penipu. Kamu menyamar dan mengobrak-abrik rumahku. Bahkan maling semp*k juga. Cenora, ikut aku ke kantor polisi sekarang! Plus, pertunangan kita yang belum jelas itu batal! Aku gak mau berurusan sama perempuan pervert kayak kamu lagi. Jauhi, Kanda. Jauhi!"
Itu adalah sedikit kalimat yang sering kubayangkan akan dikatakan Aksara jika nanti identitasku ketahuan. Dan sialnya, hal ini sudah sampai terbawa mimpi.
"Telepon Malik aja," putusku akhirnya.
Setelah beberapa saat panggilan teleponku diangkat.
"Halo."
"Halo, Malik. Gue..."
"Lo kenapa?"
"Bisa gak deadline-nya diundur?" teriakku cepat sambil memejamkan mata.
Kemudian terdengar suara decakan. "Belum selesai juga? Sebenarnya apa sih kerjaan lo akhir-akhir ini. Sibuk pacaran sama tunangan lo yang kaya raya itu?"
Aku menggeram marah. "Malik gue lagi gak mau berantem sekarang. Masalah gue udah banyak. Jadi bisa gak lo jangan sinis gitu sama gue. Kita emang temenan, tapi sekarang kita bahas pekerjaan. Apa begini cara lo bicara sama penulis-penulis yang lo pegang?"
Lama dia tak menjawab. Kukira Malik akan semakin menjadi-jadi. Tapi nyatanya tidak. "Sori. Gue... Ck, akhir-akhir ini gue juga banyak pikirin. Sori gue jadi melampiaskannya ke elo." Malik terdengar frustrasi. Aku jadi ingin tahu apa masalahnya. Tapi sudahlah. Dia juga tak akan memberitahuku. "Lo butuh waktu berapa lama lagi?"
Eh? "Hm, seminggu?"
"Oke, seminggu."
Wajahku berganti ceria. "Jadi boleh nih?"
"Iya."
Yesss.
Aku merebahkan diri di atas kasur begitu panggilan Malik terputus. Aku harus memberitahu Heidi. Walau nyeleneh, mungkin dia bisa bantu.
Dengan semangat aku membuka ponsel, lalu teringat. Akhir-akhir ini Heidi sulit dihubungi.
Semangatku langsung merosotnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LADY MAID
ChickLitGara-gara perkara novel panas, Cenora menjadi pembantu rumah tangga. Lah, bagaimana bisa? Cenora yang tersohor itu kan anak konglomerat yang menjadi kiblat sosialita muda. Alasan pertama, Cenora belum mau menikah. Kedua, ada laki-laki gila yang ngeb...