44. Rasanya Berbakti pada Suami

6.4K 680 17
                                    

"Sampai kapan kamu baru siap?" tanya Papa.

Lalu kulihat Aksara juga menatapku. Tampak sorot putus asa di sana. Seolah dia berpikir aku tak akan menerimanya.

Kemudian dia tersenyum maklum. Membuat hatiku semakin tidak keruan.

"Saya sudah siap," jawabku tak kalah mantap.

Entahlah, yang kutahu, sekarang aku tak ingin melihatnya begitu putus asa.

"Kalau Aksara memang mau datang melamar secara resmi, saya sudah siap."

Suasana mendadak berubah sunyi kembali. Aku merasakan setiap orang tersentak kaget. Kutatap mereka satu per satu. Aku curiga mereka sudah tidak bernapas lagi sekarang

Lalu Aksara yang berada di sampingku pun tak kalah kagetnya. Dia memandangiku aneh. "Kamu serius?"

"Serius," ucapku mantap.

"Cenora, ini bukan main-main. Saya berniat melamar kamu dengan tujuan untuk menikah, apa kamu benar-benar sudah yakin?"

Aku kembali berpikir. Aku tahu tujuan pertunangan memang untuk menikah nantinya. Tapi jika ditanya tiba-tiba seperti sekarang... Ternyata aku bingung juga menjawabnya.

"Kalau memang belum siap jangan asal menjawab," sambung Papa. "Jangan menjawab sesuatu hanya karena terdesak. Tanpa berpikir matang lebih dulu." Papa bangkit dari kursinya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Oma, yang sejak tadi diam, pada papa.

"Mau balik," sahut Papa.

"Memangnya ini waktunya kamu pergi gitu aja padahal udah membuat suasana jadi kayak gini?"

Sebagai anak yang penurut Papa langsung duduk kembali.

"Cenora Sayang," ucap Oma. "Kenapa kamu tiba-tiba menjawab seperti itu? Kamu gak merasa terpaksa kan?"

"Enggak," jawabku. Sungguh aku tak merasa dipaksa oleh siapa pun. Memangnya siapa yang bisa memaksaku.

"Walau Oma dan mamamu sangat berharap kamu bisa segera menikah, tapi yang terpenting tetap kebahagiaan kamu. Aksara juga bilang dia mau menunggu kamu sampai benar-benar siap. Kami gak pernah berniat memaksa walau kadang kelihatan begitu. Jadi jangan merasa terbebani."

Dulu mungkin aku akan sangat merasa terbebani dengan lamaran Aksara ini dan tingkah mereka semua yang mendukung. Tapi sekarang, jika kupikirkan lagi, aku sama sekali tak merasa tertekan. Aku tak membenci kenyataan dia ingin melamarku. Malah, kurasa aku sedikit menantikannya.

"Nora gak merasa terbebani kok, Oma."

"Yakin?"

Aku mengangguk mantap. "Iya."

Entah kenapa aku melihat kelegaan di seluruh wajah mereka. Aksara yang sejak tadi tampak tegang pun perlahan mulai santai kembali.

Ketika kulirik sedikit, dia pun melakukan hal yang sama, lalu tersenyum sedikit.

Ya Tuhan, gantengnya.

***

Setelah makan bersama, Papa dan Aksara pergi berdua saja. Mereka duduk di teras samping. Entah membicarakan apa. Aku bisa melihat mereka sebab berbatasan dengan kaca. Namun tak bisa mendengar apa pun yang mereka katakan. Sementara itu aku, Mama, dan Oma duduk bersama.

"Kamu benar-benar yakin?" tanya Mama lagi.

Aku mulai lelah dengan pertanyaan ini.

"Iya, Ma, Nora yakin."

"Yakin banget?"

Ya tuhan...

"Iya, yakin banget."

Lalu mendadak Mama menangis.

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang