1. Novel Panas Pembawa Petaka

37.8K 1.8K 76
                                    

"Saya gak mau nikah sama kamu!

Hilang sudah semua sikap sopan dan anggun yang berusaha kujaga sejak tadi.

Pria di depanku menyesap kopi hitamnya dengan ketenangan yang menakjubkan. "Pak Nanda sudah menerima lamaran saya."

Aku mengembuskan napas lelah. Si bebal ini terus saja berputar-putar. "Anda mau melamar saya kan, bukan papa saya, seharusnya Anda tanya ke saya dulu dong."

Tadi malam aku dan papa berbicara empat mata. Ia berkata kalau ada seorang pria yang ingin menemuiku hari ini. Jelas awalnya kutolak, tapi papa adalah perayu ulung yang licik. Dia tak pernah menyuruh anaknya dengan paksaan. Dengan lihai papa berbicara dengan lembut dan kebapakan kalau dia ingin aku pergi, kalau dia tak memaksa tapi apa salahnya dicoba, kalau aku tak suka maka tak perlu melakukannya lagi. Sebagai anak baik, mendengar permintaan yang katanya 'hanya coba-coba' aku tak dapat menolak.

Tapi apa pula sekarang ini?

"Lagi pula Papa gak pernah bilang Anda sudah melamar saya."

"Pak Nanda sengaja gak mau membebani kamu. Tapi saya gak punya waktu buat main-main. Akan saya katakan sekali lagi dengan jelas, saya mau nikah sama kamu."

"Anda ini benar-benar dalam keadaan sadar kan?" Orang bodoh mana yang baru bertemu sekali langsung ngajak nikah.

"Saya sangat sadar. Kamu mungkin masih kaget sekarang, tapi tawaran ini sungguhan. Kamu boleh memikirkannya lebih dulu."

Dipikirkan berapa kali pun aku tak akan mau.

"Kenapa Anda mau nikah sama saya?"

"Karena saya butuh istri."

Dia kira istri itu sembako di supermarket. Kalau butuh tinggal beli.

"Terus kenapa Anda mau saya yang jadi istri Anda? Kesepakatan bisnis?" ucapku dengan nada menyindir di kalimat terakhir.

"Pak Nanda gak sedangkal itu. Dia gak akan menjual anaknya demi apa pun."

Tanganku yang sejak tadi bersedekap di dada semakin merapat. "Nyatanya saya sudah merasa dijual tuh." Aku tak menyangka papa menerima lamaran pria tidak dikenal tanpa bertanya dulu padaku. Apa pendapatku memang setidakpenting itu?

"Kamu salah paham. Saya mau menikah sama kamu, ya karena saya mau menikah sama kamu."

Siyi mii minikih simi kimi, yi kirini siyi mii minikih simi kimi. Andai aku bisa berkata begitu tanpa perlu menjaga imej.

Si bebal ini agaknya tak ada niat ingin menyerah.

"Maaf sekali lagi. Tapi saya gak mau nikah sama Anda. Kita bahkan gak saling kenal."

Dia melihatku dengan pandangan aneh. Seolah aku memakai c*l*na d*l*m di kepala atau apa. "Saya Aksara Abimanyu Widan. Saya---"

"Ya, ya, ya," potongku. Orang dangkal ini benar-benar deh. "Bukan itu maksud saya Bapak Aksara yang terhormat. Tapi kita tidak mengenal baik satu sama lain. Kita semacam orang asing." Bukannya aku menyuruh dia mengenalkan diri.

"Kita bisa saling mengenal setelah menikah," sahutnya santai. Sekali lagi menyeruput cangkir kopi yang ingin sekali kutepukkan hingga mengenai gigi dan menyiram seluruh wajahnya. Belum apa-apa aku sudah ingin KDRT pada orang ini.

"Terus bagaimana kalau setelah menikah ternyata kita gak cocok. Cerai?"

"Saya gak ada niat bercerai. Apa pun yang terjadi kamu akan tetap jadi istri saya."

Lamaran yang seharusnya berkesan manis bagaimana bisa terdengar seperti jatuhan hukuman mati. Jelas aku akan tinggal di penjara setelah menikah dengan orang mirip napi ini.

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang