42. Diantar Pulang

6.5K 693 18
                                    

Dia, benar. Mau bagaimanapun aku bersikap orang-orang yang tak suka akan tetap tidak suka. Selalu ada yang seperti itu.

Jika dipikirkan lagi, sebenarnya kenapa aku sekuat ini berusaha untuk terlihat sebagai gadis baik penuh sopan santun?

Hahaha... Padahal pembahasannya lagi serius. Tapi bisa-bisanya otak ngawurku menjawab, "Ya kan lebih baik dibenci karena kau baik daripada dibenci karena kau berkelakuan buruk. Dengan begitu orang yang membenci orang yang berkelakuan baik akan dikenal sebagai yang terburuk. Haha..."

Hah... Apa yang kupikirkan.

"Kamu kan gak ngelakuin hal jahat. Saya rasa gak ada yang salah dengan sifat kamu. Mungkin mindset orang-orang atau cara pandang seseorang yang mengharuskan kamu bersikap A atau bersikap B lah yang salah."

Sialan. Kenapa mendadak dia sangat bijaksana begini.

Namun tiba-tiba Aksara berubah panik. "Saya ngomong begini gak bermaksud menjudge kamu juga ya. Saya gak nyalahin kamu kalau selama ini selalu menjaga sikap dengan orang-orang. Kamu pasti punya alasan sendiri. Makanya selalu--"

"Berpura-pura baik dan sopan," lanjutku.

Aksara semakin kalang kabut. "Saya--"

"Gak apa-apa," jawabku lagi. "Saya paham kok. Dan kamu benar. Entah sejak kapan tertanam di pikiran saya kalau sifat asli saya adalah aib. Sesuatu yang gak bisa dimaafkan. Tapi kalau dipikirkan lagi, kenapa saya harus merasa seperti itu? Tidak ada yang salah kok. Saya gak mencuri uang orang. Saya gak merugikan orang lain."

Kadang aku juga memikirkan semua ini. Ingin lebih terbuka dan menunjukkan diriku yang asli. Tapi... Aku tak punya keberanian. Apalagi selama ini aku dikenal sebagai anak yang baik. Sekali anak baik melakukan sesuatu yang tidak seperti biasanya akan dianggap sesuatu yang aneh sekali. Walaupun sesuatu itu bukankah hal yang besar jika dilakukan oleh orang lain.

"Btw, makasih karena gak nganggap saya sebagai orang yang gak pantas." Aku tersenyum. Benar-benar berterima kasih karena dia mau menerimaku.

Akhirnya kami melanjutkan makan kami. Entah aku yang kelaparan atau apa rasanya Nasi Padang ukuran jumbo ini enak sekali. Dalam sekejap mata sudah habis saja.

"Lebih enak makan nasi kan daripada mi. Apalagi kamu gak bisa pegang sumpit," ucap Aksara dengan wajah lucu.

"Saya bisa pakai sumpit."

"Waktu makan sushi itu kamu gak bisa pakai sumpit "

Aku teringat kembali momen itu dan seketika memerah. "Itu kan akting. Masa iya pembantu sederhana kayak Inem jago pakai sumpit dan terbiasa makan sushi."

Tunggu...

Mataku memicing menatapnya, "Waktu itu kamu udah tau siapa saya kan?"

Terdengar suara "pfft" dari mulut Aksara. "Iya, saya udah tau."

KYAAA... Pasti dia puas sekali menertawakan kelakuan bodohku dalam hati.

"Omong-omong mana novel saya?" Iya, aku sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Oh, iya, sekalian aja saya kasih ke kamu sekarang ya."

Setelah membersihkan meja makan aku mengikuti Aksara. Tak kusangka dia tak membawaku ke kamarnya, atau ruang kerja, atau ke ruangan mana pun. Dia malah membawaku ke garasi.

Dia menyimpannya bersama oli dan kunci letter L?

"Kamu mau ke mana?" tanyaku saat dia membuka mobilnya.

"Mau ambil novel kamu."

"Kamu simpan di dalam mobil?"

"Iya." Aksara menarik sebuah paper bag yang dulu kupakai untuk menyimpan novelku. "Ini. Sengaja saya simpan di mobil. Sebenarnya saya berniat langsung mengembalikannya kalau bertemu kamu. Tapi kamu susah sekali dihubungi untuk diajak bertemu. Dan sewaktu di bioskop, kita malah pulang masing-masing."

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang