Aku langsung kocar-kacir. Tentu saja, apa lagi memangnya yang bisa kulakukan jika tertangkap basah oleh dua orang teman di pusat perbelanjaan dengan kostum kuno begini. Mengatakan halo sambil garuk-garuk kepala. "Ya, ginilah guys, haha, bisnis lagi susah."
Aku tak akan begitu. Biarlah mereka tahu ini aku. Laura dan Andin mungkin saja bisa kubuat mengerti mengapa aku sampai senekat ini. Namun untuk kasus Aksara perkara lain. Apa pun yang terjadi dia tak boleh tahu ini aku---Cenora yang paling bergaya itu.
"Nem. Inem." Aksara menghentikan aksi pelarianku dengan menarik tanganku. "Kenapa kok tiba-tiba pergi?"
Aku berpikir cepat. "Aduh, Mas, saya lupa. Itu..." Itu apa coba. "Itu loh..." Memang aku tak berbakat berpikir cepat. Ayo, otak, tunjukkan kau bukan segumpal jelly lembek. "Itu anak saya..."
Anak apa? Anak jin? Anak monyet?
"Kamu punya anak?" tanya Aksara kaget dengan penuturanku.
"Ah, iya." Bodo amatlah. "Iya, anak saya. Aduh, saya lupa tadi dia telepon minta dibeliin mobil-mobilan. Saya cerita mau ngemolll." Kuucapkan kata ngemolll dengan medok yang berlebihan.
"Oh... Kalau gitu ayo kita cari mobil-mobilannya."
"I-iya, Mas." Oh, tidak. Gagap sialan itu kembali lagi.
Kami benar-benar mencari mobil-mobilan untuk anak imajinerku. Rak-rak di kiri dan kananku penuh dengan truk versi mini, mobil polisi versi mini, ambulan versi mini sampai tayo, dan masih banyak lagi.
"Jadi kamu sudah menikah?"
Hampir. Kan situ yang ngajak nikah.
"Iya, Mas."
"Suami kamu kerja di mana?"
"Nelayan. Tapi dia sudah meninggal, Mas. Tenggelam." Maafkan aku suamiku. Nanti Aksara pasti bertanya lebih lanjut pasal suami kalau tak dibilang meninggal. Mungkin nelayan biasanya pakai kapal apa. Menangkap ikan jenis apa. "Saya janda, Mas."
"Oh, saya minta maaf. Bi Lilis gak bilang apa-apa soal suami dan anak kamu. Jadi kamu punya anak laki-laki?"
"Oh, ah, iya. Waktu itu minta bom bom car, tapi saya yang janda miskin ini mana bisa beli bom bom car." Tadi saja jelly lembek di kepalaku ini tidak bisa berfungsi dengan baik. Sekarang aku malah lancar sekali menjelasan hal tidak perlu.
"Namanya anak laki-laki. Saya dulu juga pengin punya motor-motoran yang bisa dinaikin itu. Sayangnya saya juga gak kesampaian beli itu." Aku menangkap sinar sedih dari mata Aksara. Hanya sekilas sebab sekarang wajahnya sudah kaku dan serius kembali.
"Kenapa bisa gak kesampaian, Mas?" tanyaku tanpa bisa dicegah. Aku tak tahu bagaimana keluarga Aksara. Kalau dia sampai tak kesampain beli benda seperti itu apa artinya dia...
"Keluarga saya gak punya cukup uang untuk beli."
Aku memang tak tahu apa-apa tentang keluarga Aksara. Orang tua dan saudaranya. Yang kutahu hanya dia sepupu Heidi. Itu pun aku baru tahu di pesta pernikahan Heidi sekitar empat bulan lalu. Heidi bisa dibilang cukup berada. Ayahnya adalah salah satu pilot maskapai nasional dan ibunya sempat bekerja di perpajakan. Aku hanya menduga ayah dan ibu Aksara tak jauh-jauh berbeda dengan orang tua Heidi.
***
Aku menjatuhkan tubuh ke atas kasur begitu tiba di apartemen. Kulirik samping kiriku tempat di mana sebuah plastik berisi mainan berada. Aku memilih sebuah mobil Lamborghini kecil yang pintunya bisa terbuka ke atas sebagai hadiah untuk anak laki-lakiku yang belum lahir. Selain membayarkan mobil-mobilan tersebut, Aksara ternyata cukup paham tentang mainan. Dia menyarankan sebuah robot aneh yang dia sebut Gundam jika suatu saat ingin membeli hadiah lain. Dan yang lebih mengejutkan, Aksara melihat Gundam tersebut sambil berbinar-binar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LADY MAID
ChickLitGara-gara perkara novel panas, Cenora menjadi pembantu rumah tangga. Lah, bagaimana bisa? Cenora yang tersohor itu kan anak konglomerat yang menjadi kiblat sosialita muda. Alasan pertama, Cenora belum mau menikah. Kedua, ada laki-laki gila yang ngeb...