53. Genit

7.5K 759 36
                                    

"Kok dia ada di sini?" tanyaku kaget.

"Aku mau ngobrol lagi sama kamu," ucap Lestari sembari bangkit dari kursinya. "Kalau aku sendiri yang minta kayaknya kamu gak akan mau lagi ketemu samaku."

Aku mencerna kata-kata "aku sendiri yang minta" itu lalu menoleh pada Aksara. Dia hanya mengangguk bahkan sebelum aku bertanya.

Jadi pertemuan ini memang sudah direncanakan oleh mereka berdua?

Kepalaku menggeleng. Tak percaya dengan semua ini. Aku mengingat kembali percakapanku dengan Aksara sore tadi. Semua gombalannya, kata-kata rindunya, hanya ia lontarkan agar aku setuju dengan pertemuan ini. Pertemuan yang kuperkirakan diusulkan oleh Lestari.

Mendadak dadaku rasanya nyeri memikirkan Aksara memang melakukan semua ini untuk Lestari.

"Kurasa gak ada lagi yang harus kita bicarakan." Aku berbalik pergi dan seperti dugaanku Aksara langsung mencegahnya.

"Kamu dengerin dulu apa yang mau dia bicarain."

Kusentak tangan Aksara. "Memangnya Mas tau apa aja yang dia bicarakan sama aku pas makan siang tadi? Dan sekarang Mas mau aku dengerin dia lagi? Bahkan Mas sampai nipu aku kayak gini?"

"Mas gak nipu kamu?"

"Kalau gak nipu terus apa? Mas ada bilang kita datang ke sini untuk ketemu dia?" Aku menunjuk Lestari dari mataku.

"Aku minta maaf kalau bikin kamu salah paham," sambar Lestari. "Tapi aku benar-benar harus bicara sama kamu."

Aksara ikut menambahi, "Iya, Nora, sekali ini aja."

Sialnya hatiku semakin perih saja. Entahlah, rasanya kesal sekali melihat Aksara berusaha sekeras ini membuatku berteman dengan perempuan itu.

Apa bagi Aksara, Lestari begitu penting sampai tak ingin aku berpendapat buruk tentang perempuan itu?

"Aku mohon," ucap Lestari akhirnya. "Habis ini terserah kamu mau memutuskan untuk gak bicara lagi samaku atau enggak. Tapi sekali ini saja, aku butuh bicara sama kamu. Aku mau minta maaf sama apa yang terjadi tadi siang."

Aku tidak tahu apa kata-katanya itu benar atau apa tujuan dia sebenarnya. Tapi aku mulai bisa menebak mengapa Aksara mau mendukungnya. Dia pasti membuat alasan ingin meminta maaf juga agar Aksara mau disuruh melakukan semua ini.

Lalu bagaimana kalau ini adalah jebakan?

Haruskah aku meladeninya atau menghindar dan pulang?

Enak saja. Mau jebakan, bom, ranjau, akan kulewati semua. Tidak akan kubiarkan diriku menjadi pengecut yang pulang begitu saja sambil menangis tersedu-sedu karena merasa ditipu oleh tunangan sendiri.

Bisa saja kalau ini adalah salah satu triknya untuk mengganggu kepercayaan di antara kami.

Jadi aku duduk. Dan menyuruh Aksara ikut duduk juga di sebelahku.

"Gimana kalau kita bicara berdua--"

"Enggak!" tegasku dan Lestari tampaknya tak ada keinginan untuk membantah.

Apa pun yang ingin dia katakan, dia harus mengatakannya di depan Aksara juga.

"Kalau gitu aku mau langsung aja." Lestari melihat padaku. "Aku mau minta maaf."

Aku tak menjawab apa pun. Sampai sini aku masih belum bisa menebaknya. Tulus atau tidaknya yang dia katakan.

"Kurasa kamu benar, aku memang merasa diriku lebih hebat dibanding kamu." Dia tersenyum miris. "Sewaktu dengar Aksa bakal nikah aku langsung cari tahu siapa calonnya. Dan aku benar-benar gak percaya dia pilih kamu. Aku memang gak kenal kamu sebelumnya. Tapi dari semua info yang aku dapat, yang menonjol dari kamu cuma, cantik dan anak orang kaya. Anak manja yang gak pernah ngerasain hidup susah, dangkal, cengeng, dan membosankan. Aku ngerasa gak terima. Kalau perempuan yang Aksa nikahi di atas kertas memang lebih baik, mungkin aku gak akan bisa apa-apa. Tapi aku merasa gak terima kalah dari kamu. Karena benar, aku merasa lebih unggul. Aku merasa perempuan kayak kamu gak akan bisa menyamai apalagi menandingi apa yang sudah kuraih sejauh ini. Dan karena pikiran itu, kupikir Aksa mau sama kamu karena dia gak tahu kalau aku ada rasa sama dia selama ini. Di atas kertas aku unggul, jadi kalau dia tahu perasaanku, mungkin dia bakal lebih milih aku."

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang