10. Tuduhan Perselingkuhan

10.9K 1K 15
                                    

Aksara duduk berhadapan di meja makan dengan anak SMA tersebut. Aku tidak tahu siapa dia. Perkiraanku sih adik laki-lakinya. Soalnya jika maling seperti yang kulakukan dulu respons Aksara tak akan sesantai ini.

“Ini gak habis diludahin kan?” tanya anak itu dengan tatapan mengejek saat aku meletakkan jus jeruk di atas meja.

“Enggak, Mas,” jawabku selayaknya pembantu sopan dan baik. Walau dalam hati aku menyesal tidak sempat menabur sianida atau sekadar meludahi minumannya.

“Mana tau Mbak juga mau melet saya.”

“Kin!!!” Dari nada suaranya Aksara terdengar geram. “Siapa yang ngajarin kamu bersikap gak sopan gitu.”

Jika tak ingat bagaimana menyebalkannya Aksara pada Cenora, aku pasti percaya dia orang baik. Malahan aku bisa saja kagum padanya. Majikan yang peduli dan bertanggung jawab pada para pekerja di rumahnya. Sayangnya di telingaku Aksara malah terdengar tidak tahu diri menanyakan sopan santun adiknya padahal dia juga sama.

Pemuda di depan Aksara hanya menggembungkan pipi. “Habis Mas gak tau bersyukur sih. Padahal udah dapat Mbak Nora yang cantiknya kayak bidadari, tapi bisa-bisanya masih selingkuh sama pembantu.”

Ekhem. Siapa tadi yang katanya kayak bidadari? Ekhem.

Pemuda itu menoleh dan memberikan tatapan tajam padaku. “Mas pasti buta. Mas gak liat penampilannya. Bi Lilis yang udah hampir enam puluh tahun aja masih lebih cantik daripada dia. Dia mirip gelandangan Mas. Gimana bisa Mas nyium gelandangan.”
Cowok si*l*n. Mulut anak ini benar-benar tak berpendidikan. Dia menghina perempuan yang jauh lebih tua di depan hidungnya tanpa rasa takut.

“Coba ingat gimana cantiknya Mbak Nora. Dia itu cewek yang paling cantik yang pernah ada.”

Ah, si*l*n. Jadi aku harus marah atau senang.

“Mas gak tau berapa banyak cowok yang ngantri buat dapatin dia."

Yah... Aku sendiri pun tak akan ingat jumlahnya. Ekhem.

"Dia kayak tuan putri yang gak tersentuh."

Yah... imej itu memang cocok sekali untukku.

"Cuma ditatap sekilas sama dia aja cowok udah ketar-ketir Mas."

Dasar bocah ini. Suka benar kalau bicara.

"Tapi Mas ngapain di sini? Mas punya fetish sama penampilan gembel? Baju lusuh? Rambut kusut, gitu?”

Sial. Rasanya tetap sakit.

Andai bocah ini tahu perempuan yang dia puji-puji itu sama dengan gembel yang ia hina.

“Kamu salah paham, Kin. Bibir Mas kayak gini karena kopi.”

Alis bocah itu bertaut menyatu. “Sh*t. Kalian ciuman sambil minum kopi?”

“Gak ada yang ciuman,” geram Aksara. “Mas minum kopi yang terlalu panas. Makanya bibirnya melepuh.”

“Aneh banget. Bibir kalian sama-sama melepuh. Jadi kalian minum dari cangkir kopi yang sama?” Bocah ini masih juga belum mau menyerah.

Aku menatap heran kedua orang tersebut yang kini juga menatap padaku.

“Kamu minum kopi saya, Nem?”

Eh.

“Enggak, Mas. Saya minum air di cangkir ini.” Aku mengambil cangkir tadi. “Saya juga gak sadar airnya panas.”

“Gimana bisa gak sadar, Mbak gak bisa bedain air panas dan air dingin?”

Saat menjadi Cenora aku tidak bisa menabok mulut orang yang bicara lancang karena harus menjaga citra baik. Lalu saat jadi Inem aku juga tak bisa melakukannya karena hanya orang rendahan. Gembel.

“Saya pagi ini memang gak fokus, Mas. Maaf.” Aku menunduk penuh rasa bersalah. “Tapi jangan salah paham. Saya dan Mas Aksara gak pernah ciuman. Dari pandangan pribadi Mas Kin pun kan gak mungkin Mas Aksara mau nyium perempuan kayak saya. Saya ini jelek, miskin, lusuh. Yang ada laki-laki itu jijik sama saya. Menghina saya kayak yang Mas Kin lakukan karena saya jelek." Kepalaku semakin menunduk, tanganku menutupi mulut sambil terdengar bunyi tarikan napas berat dari hidungku.

“Kamu harus minta maaf ke Mbak Inem sekarang.” Dari sudut mataku terlihat Aksara yang siap mengomeli adiknya habis-habisan, sementara bocah itu, Kin atau siapalah, tampak merasa bersalah dengan kata-katanya. Baguslah. Setidaknya dia masih punya hati.

“Maaf, Mbak, saya gak bermaksud menghina dan menuduh macam-macam. Saya cuma kesal aja sama Mas Aksara,” ucap bocah itu dengan suara tinggi di kalimat terakhirnya. “Masa udah dapat tunangan secantik itu tetap gak puas. Saya cuma gak nyangka kakak laki-laki saya hidung belang. Makanya tanpa sadar saya juga ikut marah sama Mbak. Jadi Mbak jangan nangis lagi. Saya minta maaf.”
Anak ini pintar sekali bikin bingung. Awal tadi dia jadi bocah menjengkelkan, sekarang dia jadi anak manis yang sedang minta maaf.

“Iya. Gak apa-apa kok Mas.”

“Buat tambahan, Mas gak selingkuh sama siapa pun.” Aksara membela diri. Membuatku hampir muntah. Dia kira karena siapa aku tidak fokus sejak pagi. Sampai aku dapat bukti lebih banyak dia pasti tak akan mau mengaku tentang selingkuhannya yang picik dan gila harta.

“Baguslah,” jawab bocah itu. “Sempat selingkuh Mas bukan manusia.”

Aksara mendelik, tapi bocah itu malah membuang muka. “Jadi ngapain kamu pagi-pagi ke sini?”

Tiba-tiba pemuda itu cengengesan. “Aku gak dapat uang jajan.”

Siapa pun yang tidak memberi anak ini uang jajan, kudoakan diare selama seminggu.

***

Sincerely,
Dark Peppermint

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang