12. Kalila Minna

9.2K 948 14
                                    

"Minna... Ini..."

Apa yang harus kukatakan sekarang?

"Kenapa Mbak ada di sini sekarang dan jadi pembantu?"

Aku merasa tak akan bisa menyangkal. Maksudku dengan tatapan tajamya itu. Yang seolah bisa membelahku menjadi dua. Yang seolah bisa membaca semua yang ada di pikiranku.

"Jadi..."

Apa yang harus kukatakan sekarang. Berkata jujur kalau sebenarnya... Tunggu... Sebenarnya apa alasanku ada di sini.

Tunggu. Tunggu.

Oh, iya. Novel. Aku ingin mengambil novelku kembali.

"Jadi..."

"Udah ke kamar mandinya?" Sosok Kin mendadak muncul di dapur. "Oh, kenapa ini? Lo gak nakut-nakutin Mbak Inem kan?"

"Inem?" Wajah jutek Minna terperangah tak percaya.

"Iya. Nama Mbak ini Inem. Lo gak boleh ngejek dia sementang namanya Inem." Kin memberi nasihat yang tidak perlu.

"Siapa yang ngejek dia?"

"Lo. Barusan. Lo gak liat muka lo yang kaget banget dengar namanya. Walaupun nama dia kampungan banget. Cocok banget sama imej pembantu, tolong jangan lo hina."

Si*lan. Sebenarnya siapa yang menghina siapa.

"Dia gak pantes diejek cuma karena dia pembantu miskin, jelek, dan namanya kuno."

Si*lan (2). Yang duluan menghinaku yang miskin, jelek, dan kuno ini kan dia.

Minna memutar bola matanya malas. "Aku gak menghina siapa pun. Aku cuma kaget. Maaf ya, Mbak I-nem," ucapnya sembari memberi penekanan pada kata Inem. "Lagian bukannya kamu ya yang barusan nyebut dia miskin, jelek, dan kuno."

"Kapan gue kayak gitu?"

"Barusan. Jelas-jelas kamu bilang, Dia gak pantes diejek cuma karena dia pembantu miskin, jelek, dan namanya kuno," Minna mengulang kembali kata-kata jahat itu dengan sangat tepat. Daya ingat yang sungguh tidak diperlukan. "Secara gak langsung kamu yang ngerasa dia miskin, jelek, dan kuno. Aku gak ada ngucapin kata-kata itu sebelumnya. Itu pendapat pribadi kamu. Akui aja."

Aku merasa melihat tanduk imajiner di kepala Kin. "Lagi-lagi lo sok pintar. Sikap lo yang kayak gini itu nyebelin banget tau gak. Makanya gak ada yang mau temenan sama elo."

Sekarang kepala Minna yang muncul tanduk. "Aku punya teman. Kamu aja yang gak tau. Lagian buat apa banyak teman kalau palsu semuanya. Orang yang demi punya banyak teman sampe rela dimanfaatkan itu bodoh banget tau."

Oke, sekarang aku telah dilupakan oleh dua orang ini. Dan di sinilah aku, berdiri seperti orang bodoh menonton drama remaja murahan. Aku curiga tak lama lagi mereka akan mulai berkencan. Biasanya kan setelah benci muncullah perasaan cinta.

"Haduh, Mas sama si Non kok jadi berantem. Gak jadi kerja kelompoknya?" Aku yang tak tahan lagi, berusaha menengahi pertengkaran mereka. Sambil menunjukkan raut prihatin khas wanita baik hati. Meski sebenarnya ingin sekali aku menggetok kepala dua bocah ini.

"Ah, iya," ucap Kin. Lalu ia beralih pada Minna. "Cepat kerjain. Gue malas lama-lama bareng elo." Mereka saling memelototi satu sama lain. Lalu, akhirnya, pergi juga dari dapur. Sebelum benar-benar pergi Minna menyempatkan diri melihatku. Aku meletakkan telunjuk di bibir, lalu kedua telapak tanganku tertaut memohon agar Minna merahasiakan hal ini.

***

Hari ini tentu saja aku gagal lagi menemukan novelku tercinta. Dan punya kewajiban lain untuk menjelaskan situasi yang terjadi pada Minna.

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang