18. Melekat Kuat

8.4K 842 8
                                    

Mulutku mangap tak percaya. Malu bukan main. Tapi terjebak tak bisa melarikan diri. "Itu karena saya kesal."

"Tetap saja kamu gak bisa sembarangan nyentuh dada cowok."

"Argh," jeritku frustrasi. Namun dia benar. Siapa pun yang melihat pasti berpikir aku sedang meraba-raba raksasa jahat ini. Aku menatapnya tajam. Yang dibalas tak kalah jengkel oleh Aksara. Namun aku teringat sesuatu dan buru-buru menunduk. Sedari tadi aku tanpa sadar berdebat sambil melihat wajahnya. Dia tak boleh familier dengan wajahku. Kalau bisa wajah asli Cenora harus menjadi ingatan yang samar di kepalanya.

"Sekarang lepas jas kamu," suruhku sambil menunduk.

"Sekarang kamu suruh saya buka baju?"

Aku harus apakan laki-laki satu ini sih. Kenapa kata-katanya terus bikin salah paham dari tadi. Aku menahan diri untuk tidak kembali berdebat.

"Lepas jasnya biar kita gak di posisi aneh lagi. Kamu mau nempel terus sama saya kayak gini?"

"Tentu gak mau. Tapi... kenapa kamu nunduk terus dari tadi?"

Dia sengaja mengalihkan pembicaraan agar terus kupegang-pegang atau bagaimana sih.

"Lepas aja." Aku menutup mata menahan amarah.

Akhirnya Aksara menuruti. Aksara melepas jas yang ada di tangan kananku. Saat jas itu lolos dari tangannya dan tersentak ke belakang otomatis tanganku ikut terbawa ke sana. Aku menelan ludah melihat tangan tidak sopanku melingkari pinggangnya. Terasa keras dan pan--- Tidak. Tidak. Jangan pikirkan itu, bagaimanapun enaknya dia untuk dipelu---

Ah. Si*l.

Kutarik kembali tangan kananku agar tak perlu menimbulkan pikiran jahat lainnya.

Aksara mencoba melepas jas dari tangan yang satunya. "Tangan kamu nempel ke kemeja saya juga."

APA?

Mulutku kembali terbuka lebar. Mataku berpindah menyorot tempat tangan jahan*m itu menempel. Kemeja putih di balik jas hitam itu ikut tertarik saat aku mencoba menarik tanganku.

Apa aku pura-pura pingsan saja sekarang agar Aksara sendiri yang menderita.

Pikiran konyol.

"Ja-jadi gimana dong?"

Takut-takut aku menatap Aksara.

"Tentu kemejanya harus dibuka juga."

Baiklah. Lihat sisi positifnya. Setidaknya tanganku masih menempel di kemejanya, bukan di balik benda tersebut.

Benar. Hal ini harus disyukuri. Bersyukur membuat cobaan terasa lebih ringan.

Aku menghela dan mengeluarkan napas dalam-dalam. Setelah lebih tenang aku memulai. "Oke," kataku sambil melihat di mana tanganku menempel. "Lepas bajumu. Eh, ke-kemeja."

Sikap tenang yang kudapat dari merilekskan diri tadi menguap entah ke mana. Pipiku panas kembali. Kata-kata lepas bajumu itu tidak enak didengar meski di telingaku sendiri.

"Oke, aku buka ya."

ARGHHHHHH...

"Jangan ngomong yang bikin salah paham gitu dong."

Saat kudengar Aksara tertawa mengejek aku hanya meliriknya sekilas sambil tetap menunduk.

"Ternyata pikiran kamu kotor ya."

"Siapa yang kayak gitu."

"Sesuatu jadi negatif atau tidaknya tergantung cara orang itu memaknai kata-kata tersebut. Kamu pasti mikir yang enggak-enggak kan? Karena saya bilang mau buka baju."

"Jangan cuma nuduh saya. Kalau kamu berpikir saya begitu, artinya kamu juga memikirkan hal yang sama kayak saya." Sekuat tenaga aku terdengar santai dan biasa saja.

"Awalnya enggak."

"Apa?"

Namun Aksara tampak lebih santai lagi. Seolah semua keganjilan ini bukan apa-apa untuknya. "Awalnya saya gak berpikir seperti itu. Karena kamu mendadak merona dan bilang jangan ngomong yang bikin salah paham, saya jadi paham apa yang kamu pikirkan."

Rahangku mengetat karena jengkel. "Lepas aja bajunya."

"Bakal saya lepas asal kamu jangan mikir yang macam-macam."

"Saya gak kayak gitu," ucapku mirip ringisan.

"Iya. Kamu kayak gitu." Dia tersenyum miring.

"Kamu terlalu cepat menyimpulkan."

Kulirik Aksara yang tampak geli sekilas. "Saya gak terlalu cepat menyimpulkan." Wajah Aksara mendekat ke arahku. Udara mendadak menipis dan membuat sesak. "Apa harus saya sebut novel kamu itu," bisiknya di telingaku.

ARGH...

Aksara menjauhkan wajahnya kembali.

"Kamu ngancam saya?" Kini wajahku terangkat menantangnya. Bodoh amat dia tahu aku siapa.

"Saya gak ngancam Cenora. Gak pernah sekalipun. Saya cuma tiba-tiba ingat sama novel itu. Jadi kamu suka bacaan seperti itu?"

Sebelumnya di bioskop dia mengira aku polos bukan main. Kenapa sekarang dia harus ingat catatan dosaku itu.

"Kamu gak seharusnya menghina---"

"Jangan salah paham," potong Aksara. "Saya gak menghina apa pun kesukaan kamu. Itu hak kamu mau baca apa saja."

Aku terdiam cukup lama mendengarnya. Kukira dia akan mengataiku tak pantas atau sebagainya. "Kalau gitu kembalikan novel itu."

"Kalau saya sudah selesai baca, nanti saya kembalikan."

Mataku membola. "Kamu baca?"

Aku pasti salah dengar kan? Tapi tentu saja dia pasti membacanya. Aku pun akan begitu jika berada di posisinya. Apa yang kuharapkan.

"Iya. Setiap malam saya baca beberapa lembar."

Ha?

Dia tidak menjadikan karya sastraku untuk hal aneh-aneh kan? Dia bukan cowok pervert seperti itu kan?

Iya, kan?

"Udahlah. Saya buka kemeja ini dulu. Kita harus cepat selesaikan semua ini. Gosip tentang kita udah menyebar. Mereka bakal mikir yang enggak-enggak kalau kita berdua menghilang terlalu lama." Sebelum aku berkata apa pun Aksara sudah mulai membuka kancingnya.

Aku langsung membuang muka dan memejamkan mata. Berusaha mengalihkan pikiran ke tempat lain.

***

Sincerely,
Dark Peppermint

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang