"Sepertinya dia terlambat." Dengan anggun Oma membuka lengan bajunya sedikit untuk melihat jam, dan menurunkannya kembali.
"Ini baru terlambat satu menit, Ma," Mama membela orang yang nanti akan bergabung bersama kami.
"Mau satu menit, satu jam, atau satu abad, tetap saja terlambat." Oma melirik garang. Tongkat saktinya disandarkan di meja. Siap sedia kalau-kalau benda itu dibutuhkan untuk menggebuk orang.
Mama yang kini menjaga sikapnya agar terlihat lebih anggun masih memberi pembelaan. "Ini kan cuma acara santai. Gak ada aturan juga harus datang tepat waktu." Kaki Mama menjawil-jawilku dari bawah meja. Dapat kutebak wanita cantik dengan sanggul rapi nan heboh itu sedang meminta bantuanku. Namun aku tidak berniat membantu. Siapa suruh membuat acara dadakan begini tanpa meminta persetujuanku. Aku datang saja sudah syukur.
"Datang tepat waktu itu sudah keharusan. Dia kan mau ketemu orang yang jauh lebih tua dari dia, seharusnya punya pemikiran datang lebih dulu daripada kita. Budaya kita ini..." Bla... Bla... Bla... Oma mulai mengoceh mengenai kebiasaan orang-orang di negara ini dan membandingkannya dengan negara lain yang pernah ia datangi. Segala macam cibiran mengenai jam karet dilontarkan. Sampai semua orang menunduk bosan.
Mama masih menyepaki kakiku. Aku mengelak dan alhasil kakiku malah menyepak kaki Granny Widi. Benar, akhir-akhir ini Oma dan Granny Widi sudah seperti kembar dempet. Ke mana-mana selalu sama-sama. Jika tidak ingat dosa dan nama baik, aku pasti sudah memesankan baju couple dengan tulisan "kakak-adik gemoy" dengan motif bunga-bunga untuk mereka pakai berdua.
Granny Widi mendelik, lalu memeriksa kolong meja.
"Kenapa Widi?" tanya Oma.
"Kayak ada yang nyepak kakiku." Granny Widi melirik curiga pada aku dan Mama yang duduk di depan mereka. Oma yang duduk di kepala meja juga melirik kami, tapi dia tak mengatakan apa pun. Jelas sadar salah satu antara anak dan cucunya yang melakukan hal tersebut.
Kemudian pintu ruangan ini terbuka. Seorang wanita muda berkisar tiga puluhan masuk ke dalam.
"Maaf saya terlambat." Dalam balutan gaun peach selutut dia membungkuk sedikit pada kami semua.
Mama yang pertama kali menanggapi, "Gak, masalah. Kami yang datang terlalu cepat. Silakan duduk."
Wanita itu mengangguk. "Terima kasih." Kemudian menunduk sedikit. "Ayo, kasi salam dulu." Dan tampaklah seorang bocah berpipi gemuk. Wajahnya tertekuk masam. Setelah melirik kami satu per satu, anak itu melengos.
"Maaf ya." Dia buru-buru menunduk. "Patih, gak boleh gak sopan gitu."
"Gak apa-apa." Wajah kaku Oma yang sejak tadi terpasang, melunak sedikit. "Namanya anak-anak. Duduk saja."
Wanita itu meminta maaf sekali lagi, kemudian duduk di samping Granny Widi. Saat ingin meletakkan tasnya wanita itu tercenung. Begitu pula aku dan semua orang yang ada di sini. Tas wanita itu sama persis seperti milik Granny Widi. Dialah si setan uang yang waktu itu kupilihkan hadiahnya. Tas kece yang kataku dipakai selebgram terkenal.
"Tas kamu bagus," kata Granny Widi terlihat tidak senang.
Wanita itu tersenyum sopan. "Ini hadiah yang dibelikan adik saya."
Mata Mama seketika membeliak mendengar calon mantunya disebut-sebut. Benar, orang ini Renjana Anandya Widan, kakak perempuan Aksara. Orang yang sangat ingin ditemui Mama sampai membuat acara seperti ini. "Aksara yang pilih?"
"Iya," jawabnya ramah. Tidak. Sebenarnya aku yang memilihnya. Maafkan aku ya, Kakak Ipar.
Lalu wanita itu beralih padaku yang tepat berada di depannya. "Renjana." Dia mengulurkan tangan yang langsung kusambut.
KAMU SEDANG MEMBACA
LADY MAID
ChickLitGara-gara perkara novel panas, Cenora menjadi pembantu rumah tangga. Lah, bagaimana bisa? Cenora yang tersohor itu kan anak konglomerat yang menjadi kiblat sosialita muda. Alasan pertama, Cenora belum mau menikah. Kedua, ada laki-laki gila yang ngeb...