6. Oh My Boss

12.5K 1.1K 11
                                    

Ternyata bekerja menjadi asisten rumah tangga Aksara lebih lelah di batin daripada di badan. Dan hari ini aku tak menemukan naskahku di kamar Aksara. Begitu juga di ruang kerjanya. Memang belum pasti naskah itu tak ada di dua tempat tersebut. Soalnya ada beberapa laci yang terkunci.

Tentu saja. Apa yang kuharapkan sebenarnya. Jika dia mengancam dengan menggunakan novel itu, dia pasti menyembunyikannya di tempat aman. Aku harus mencari kuncinya lain kali. Aku tak bisa cuma fokus mengobrak-abrik kamar majikan, aku punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Dan agaknya hari ini pun aku terancam mengganti rugi belanjaan Aksara. Aku menghancurkan makanan lagi.
Entah setan buncit mana yang merasuki Aksara akhir-akhir ini, dia makan malam di rumah lagi. Dan tak cukup Aksara saja yang membuatku kelimpungan, sejak kemarin pun Malik terus mencariku.

"Halo," jawabku pada panggilan teleponnya yang sebelumnya telah kuabaikan beberapa kali.

"Ada waktu hari ini?"

Dari kemarin nanya ada waktu mulu. Sebelum ini setiap kutanya ada waktu atau tidak, dialah yang selalu sibuk.

"Maaf, Lik, hari ini pun gak bisa."

"Terus gimana naskahnya? Dari dua minggu yang lalu katanya mau dibawa. Sampai sekarang nanti-nanti terus," ucap Malik terdengar kesal. Dia memang laki-laki yang gampang terbawa emosi. Nada bicaranya serius dan cenderung ketus. Tapi anehnya aku terus suka padanya. Wajah Malik cukup tampan. Pendidikan dan karirnya pun lumayan bagus. Selain itu Malik adalah tipe laki-laki yang konsisten dan hanya fokus pada hal yang ditujunya. Mungkin inilah yang membuatku bertepuk sebelah tangan selama tujuh tahun padanya. Saat fokus pada satu hal ia tak akan goyah terhadap hal lain. Malik juga satu-satunya laki-laki yang berteman tulus padaku. Tanpa ada godaan, tanpa ada gombalan. Hal yang jarang---hampir tidak pernah---kudapat dari laki-laki. Ya, di satu sudut hatiku aku berharap dapat menjadi tujuan Malik. Diperlakukan begitu penting tanpa ia pernah goyah padaku.

"Deadline-nya kan masih ada dua minggu lagi." Untuk hal-hal yang kusuka, aku dapat mengerjakannya jauh lebih cepat dibanding waktu yang ditentukan. Tentu saja alasan aku cepat menyelesaikannya juga karena Malik. Begitu selesai lebih cepat aku mempunyai lebih banyak waktu untuk mendiskusikannya dengan Malik. Diskusi yang cukup memalukan sebab jalan ceritanya, tapi ditangani Malik dengan profesional. Hal paling memalukan pun dapat terdengar seresmi sidang PBB kalau didiskusikan dengan Malik. Dengan pede-nya dia selalu berkata apa yang kutulis adalah karya sastra. Hal ini jugalah salah satu penyebab aku gagal move on sampai sekarang. Dia menghargai satu-satunya hal yang dapat kulakukan dengan kemampuanku sendiri. Tanpa pernah mengataiku aneh ataupun tidak pantas.

"Memang. Tapi lo udah minta ketemuan sejak dua minggu lalu."

"Tapi gue akhir-akhir ini belum bisa. Masih banyak urusan lain."

"Urusan dengan teman-teman kaya lo itu," cibirnya. Aku merasa Malik tidak pernah suka aku bergaul dengan anak-anak dari kalanganku. Nada suaranya menyindir, tatapan matanya mencemooh setiap menyangkut topik tersebut.

"Bukan itu. Udah deh, pokoknya nanti begitu ada waktu gue langsung kasih kabar ke elo. Lo santai aja."

Dia tak menjawab dalam waktu cukup lama. "Terserah lo aja." Tanpa basa-basi lagi atau menunggu jawaban dariku sambungan telepon diputus. Aku tak pernah sekesal ini menghadapi tingkah Malik. Tak pernah-pernahnya dia begini sebelumnya.

***

Makan malam hari ini pun hasil pesan antar. Cah brokoli dan ayam goreng ungkep. Satu-satunya yang berhasil kumasak hanya tempe goreng saja. Itu pun setelah menggoreng lima papan tempe. Yang lain hancur lebur. Aku jadi sadar. Saat itu hasil masakanku lumayan karena diawasi. Jika ada yang tidak pas ada yang memberi tahu. Sekarang aku hanya mengandalkan YouTube dan insting, tentu saja hasilnya zonk.

Belajar dari kemarin, makanan hari ini dipesan dari rumah makan yang jauh. Lidah Aksara semalam tidak berbohong. Tongseng tersebut memang dibeli di rumah makan Bu Laras tidak jauh dari sini. Dan tentu saja, hari ini pun aku harus mengganti belanjaan Aksara yang kuhancurkan dalam eksperimen di dapur.

Aku menata meja dengan cukup cekatan. Mangkuk dan piring berisi lauk, baskom nasi, piring dan sendok makan, juga teko dan gelas. Aksara baru datang dan langsung duduk di kursinya. Mengingat kejadian kemarin aku mulai deg-degan sendiri. Hal ajaib apa lagi yang akan terjadi. Begitu selesai mengambilkan makanan untuk Aksara aku buru-buru pergi.

"Tunggu, Nem."

Inem yang patuh berhenti mendengar panggilan tuannya. Lalu berbalik dan bertanya ramah, "Kenapa Mas?"

"Kamu ada waktu gak besok?"

Sial*n.

"Ke-kenapa ya, Mas?"

"Begini, saya mau minta tolong," ucapnya menghadapku. "Kalau ada waktu bisa gak besok kamu temani saya?"

Tidak mungkin. Ini... flirting majikan dan pembantu? Oh my Boss.

"Te-temani nga-ngapain Mas?"

"Saya mau cari hadiah. Tapi gak tau hadiah apa yang disukai perempun. Mungkin kamu bisa bantu saya pilih."

Kutahan mataku yang ingin membeliak dan mulut yang ingin mangap ini sekuat tenaga. Inem tak boleh menunjukkan tanda-tanda sebagai tukang gosip. Mencari hadiah untuk seorang wanita tadi katanya?

"Buat siapa ya, Mas?" tanyaku pelan, acuh tak acuh. Seakan hanya basa-basi biasa.

"Ada deh." Dia tersenyum. Aksara ini aneh. Di depan pembantu dia ramah dan murah senyum begini. Di depan wanita cantik nan anggun dia sekaku papan dan tanpa sopan santun.

"Kalau mau cari hadiah yang tepat, harus tahu dulu dong, Mas, orangnya siapa. Orang tua dan anak muda jelas punya selera yang berbeda." Oke, Nora, bagus banget. Natural sekali untuk mengorek informasi. "Nanti saya rekomendasikan kursi pijat, tapi hadiahnya buat cewek dua puluh tahun, kan gak cocok Mas." Aku tersenyum menang.

"Hmm, kamu benar. Hadiah ini buat perempuan yang seumuran dengan saya."

Wah, informasi yang membantu sekali. Sungguh menjawab semua rasa penasaranku. Dia menjelaskan sosok perempuan itu dengan sangat mendetail. Ha-ha. "Oh. O-oke, Mas." Aku tak bisa bertanya lagi. Kalau banyak pertanyaan aku akan dianggap pembantu tukang gosip yang menyebalkan.

"Jadi gimana? Bisa gak?"

Ah... malas banget. Tapi...

"Saya bisa kok Mas." Bisa saja kan dia beli ini untuk teman kencannya. Jika aku menangkap basah Aksara Widan dengan seorang wanita, ayahku pasti membatalkan pertunangan yang katanya sudah disetujui itu. Atau aku juga bisa mengancam Aksara dengan affair-nya. "Kalau sudah saya pergi ya, Mas."

Aksara mengangguk dan aku pergi dengan perasaan puas.

***
Kira2 buat siapa ya?

Sincerely,

Dark Peppermint

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang